Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lain di meja lain di laut

Cina berambisi menguasai kep.spratly dan laut Cina selatan. namun usulan Cina dibentuknya forum sino-asean ditolak dalam pertemuan dengan Menlu Asean.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA, Cina sedang menjalankan politik dua muka, yakni berkaitan dengan Kepulauan Spratly. Di meja pertemuan para menteri luar negeri ASEAN pekanlalu, di Manila, Menteri Luar Negeri Cina yang hadir sebagai tamu mengusulkan dibentuknya forum konsultatif Sino-ASEAN. Forum ini, kata Menteri Qian Qichen,bisa dipakai misalnya untuk mengadakan kerja sama di bidang ilmu dan teknologi. Meski tak jelas dikatakan, tentunya forum ini pun bisa dipakai untuk membicarakan soal kepulauan di Laut Cina Selatan yang menjadi sengketaitu. Waktu itu Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Abdullah Ahmad Badawi, segera menanggapi. Usul Cina kalau diterima akan menjadi preseden baru bagi ASEAN,katanya. Karena itu, "Kami mesti memikirannya dengan hati-hati." Kemudian,sebagaimana tersirat dalam deklarasi para menteri luar negeri ASEAN di hariterakhir pertemuan, Rabu pekan lalu, tampaknya usul Cina ditolak secara halus. Deklarasi tersebut tak menyinggung soal forum itu. Di situ hanya dinyatakan bahwa perkara Kepulauan Spratly hendaknya diselesaikan oleh yang bersangkutan secara damai. Vietnam, sebagaimana Cina mengklaim seluruh Spratly adalah miliknya, segera memberikan tanggapan. Menteri luar negerinya, Nyuyen Manh Cam, yang jugadiundang sebagai tamu di Manila, sangat mendukung deklarasi tersebut. Malahan ia mendesak agar pertemuan untuk membicarakan hal itu segera diadakan."Deklarasi itu akan menjadi dasar untuk mencari jalan keluar dengan berpegang pada prinsip perdamaian, stabilitas, keamanan, dan keuntungan regional," kataCam. Yang kemudian membuat para pengamat mencap Cina bermuka dua, ternyata tanggapan Menteri Qian kurang mendukung. Kepada pers ia hanya menyatakan,"menghargai beberapa prinsip deklarasi", sambil juga mengatakan bahwa ia tetap ingin ada forum SinoASEAN. Kalau Cina memang benar menginginkan penyelesaian damai, mestinya ia tak perlu mempersoalkan dalam forum apamasalah Spratly didiskusikan. Tanpa membuka forum baru, mestinya masalah ini bisa dibicarakan secara baikbaik tanpa memberi kesempatan pihak luar campur tangan. Adanya forum baru yang menjadikan Cina anggota sahnya sama halnya menjadikan masalah regional ini menjadi masalah internasional. Karena, di luar tiga negara ASEAN (Brunei, Malaysia, dan Filipina), Cina, dan Vietnam yangmengklaim sebagian atau seluruh Spratly adalah wilayahnya, Taiwan pun punya kliam itu. Menjadikannya sengketa ini resmi sebagai masalah internasional,kata seorang pejabat Malaysia pada Asian Wall Street Journal, sama halnya dengan membuka kotak Pandora: cuma mendatangkan penyakit. Antisipasi pejabat Malaysia itu tampaknya tepat. Dalam pertemuan selanjutnya yang dimulai Jumat pekan lalu, dialog ASEAN dengan tujuh negara sahabat, Menteri Luar Negeri James Baker menawarkan diri menjadi penengah sengketa Spratly. Tentu, usul ini segera ditolak. Laut Cina Selatan adalah kawasan lalu lintas Asia Tenggara, sebisanya persoalan itu diselesaikan secara regional.Selain itu, adanya kontrak antara Cina dan perusahaan Amerika untuk mencari minyak lepas pantai di Spratly tentunya menjadi pertimbangan penolakan ini pula. Cina, menurut seorang ahli pertahanan Cina di Jepang, memang berniat menguasai Spratly, bukan cuma untuk memiliki minyaknya, tapi juga untuk menguasai Laut Cina Selatan. Itulah tujuan politik muka duanya. Bukan rahasialagi bahwa Cina Februari lalu punya undangundang baru yang menyatakan bahwa Spratly masuk wilayah Cina, dan untuk mempertahankannya, kekuatan militer sahdigunakan. Dengan melihat anggaran pertahanan Cina dan undangundang baru itu, mudah disimpulkan bahwa Cina memang merencanakan ini semua. Lihat saja, pada 1990anggaran pertahanan Cina meningkat 15% dari tahun sebelumnya. Dan anggaran itu terus naik, tahun ini angkanya lebih besar 14% daripada tahun lalu. Selainitu, memang ada pandangan baru di Cina terhadap Laut Cina Selatan. Tampaknya, setelah berakhirnya perang dingin, Cina tak lagi melihat datangnya bahaya dariperbatasannya dengan Rusia. Bahaya itu kini, menurut Negeri Naga itu,datangnya dari Laut Cina Selatan. Dan menurut seorang Jepang ahli pertahanan Cina tadi, negeri itu berani menyatakan begitu karena Amerika pun tak lagimempunyai pangkalan di Asia, setelah Subic di Filipina ditutup. Maka, sehubungan dengan itu, pengiriman tim riset Cina untuk meninjau galangan kapal di Ukrania yang sedang membangun kapal induk adalah soal serius. Konon, RRC juga berniat membeli 24 pesawat tempur Sukhoi-27 buatanRusia, di samping telah memesan 80 MiG-29 dan MiG-31. Ketiga jenis pesawat itu adalah mesin perang tercanggih yang diproduksi Rusia. Rupaya, Cina memanfaatkan obral senjata di bekas Uni Soviet. Seminar bilateral AS Jepang di Tokyo barubaru ini memperingatkan, "Modernisasi militer Cina dan pembelian kapal induk pasti akan punya dampak hebat terhadap kawasan Asia Tenggara." Semua itu dimungkinkan karena Cina sukses menjual senjata bikinannya ke,antara lain, beberapa negara Afrika dan Timur Tengah. A. Dahana (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus