KHMER Merah pamer kekejaman lagi Selasa pekan lalu. Sekitar 30 tentaranya tiba-tiba masuk ke Desa Phum Tuk Meas sambil berteriak keras, "Kami ke sini untuk membunuh orang Vietnam!" Tentara itu lalu menyerbu ke rumah penduduk dan memerintahkan penghuninya keluar. Setelah mencaci maki, mereka langsung memberondong delapan orang Vietnam dengan peluru. Sebelumnya seorang bayi berusia tujuh hari ditarik paksa dari gendongan ibunya, dan menurut Reuters, lalu dibanting ke tembok. Dan aksi Khmer Merah di masa setelah perjanjian damai di Paris, Oktober lalu, bukan baru kali ini. Menurut laporan majalah Far Eastern Economic Review, tentara Khmer Merah memberondong sejumlah penghuni Desa Kompong Chnang April dan Mei lalu. Kebencian Khmer Merah terhadap orang Vietnam memang bisa dimaklumi: karena bantuan tentara Vietnam yang menyerbu Kamboja, 1979, kekuasaan Khmer Merah runtuh, dan mereka terpaksa lari ke hutan. Dengan aksi pembantaian itu Khmer Merah tampaknya hendak membuktikan kebenaran tuduhannya bahwa tentara Vietnam masih ada di Kamboja. Meski belum tentu korban pembantaian di desa yang mayoritasnya orang Vietnam itu adalah tentara. Yang pasti, dengan alasan antara lain masih adanya tentara Vietnam di Kamboja, Khmer Merah menolak melaksanakan salah satu ketentuan dalam perjanjian Paris. Yakni soal penyerahan senjata dan pembubaran sebagian pasukannya. Mereka pun menolak pemeriksaan oleh pasukan Pemerintahan Transisi PBB (UNTAC). Pasukan perdamaian PBB itu, antara lain dari Indonesia, ditolak masuk ke wilayah yang dikuasai Khmer Merah di Provinsi Batambang, kecuali tanpa senjata. Pengingkaran Khmer Merah terhadap Perjanjian Paris itu rupanya membuat Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk menjatuhkan sanksi. Soalnya, Ketua Otoritas UNTAC Yasushi Akashi sudah berkali-kali menegaskan bahwa tentara Vietnam tak ada lagi di Kamboja. Akashi pernah menugasi pasukan PBB mencari tentara Vietnam di kawasan yang disebutsebut oleh Khmer Merah. Tapi pasukan PBB yang terbang dengan helikopter itu balik ke markas dengan nihil. Maka di hari Khmer Merah meneror warga Phum Tuk Meas itulah sanksi dari Dewan Keamanan PBB dijatuhkan: menghentikan bantuan ekonomi senilai US$ 1 milyar kepada Khmer Merah. Tapi benarkah tentara Vietnam masih ada di Kamboja? Tahun 1979, dekat setelah Khmer Merah jatuh, pemerintah Kamboja yang baru memberi kesempatan sekitar 700.000 orang Vietnam tinggal di Kamboja. Mereka diharapkan bisa membantu memutar roda ekonomi Kamboja yang runyam akibat eksperimen Khmer Merah yang mencoba membangun masyarakat sama rata dari titik nol. Waktu itu Khmer Merah menuduh kebijaksanaan itu hanyalah cara untuk menyembunyikan tentara Vietnam di Kamboja, untuk memperkuat pasukan pemerintah. Konon sebagian dari orang Vietnam itu adalah veteran. Pengingkaran Khmer Merah terhadap perjanjian Paris bukan hanya itu. Faksi yang sulit di antara empat faksi di Kamboja yang berebut kekuasaan itu menilai UNTAC tidak adil. Sebab, dalam Pemerintahan Transisi yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara sampai pemilu tahun depan itu sebagian aparatnya adalah bekas aparat pemerintahan lama. Yakni pemerintahan yang dikendalikan oleh Hun Sen dan Heng Samrin, salah satu faksi lain dari empat faksi itu. Hal itu dibenarkan oleh Menteri Luar Negeri Muangthai Arsa Sarasin. "Khieu Samphan pernah mengadu kepada saya, kata dia orangorang Hun Sen masih berkuasa," kata Sarasin kepada TEMPO. Lebih dari itu, Khmer Merah menuntut bendera dan lambang nasional Kamboja diubah dan lagu kebangsaan serta mata uangnya diganti. Di balik semua tuntutan itu tampaknya sasaran Khmer Merah adalah pemilu tahun depan. Seperti yang ditulis oleh Nayan Chanda, wartawan Far Eastern Economic Review, dengan politiknya itu Khmer Merah ingin menarik simpati masyarakat di pedalaman. Apakah isu tentara Vietnam dan tidak adilnya UNTAC akan membuat sebagian rakyat Kamboja bersimpati pada Khmer Merah adalah soal lain. Jadi? Menurut menteri luar negeri Muangthai, bila sasaran Khmer Merah hanyalah merebut simpati untuk pemilu mendatang, perundingan dengan faksi pimpinan Khieu Samphan itu masih bisa diharapkan. Tapi bila maksudnya adalah mengacaukan dan membatalkan perdamaian, Khmer Merah sudah tak bisa diharapkan lagi. Menteri luar negeri Muangthai itu tak menjelaskan apakah dengan demikian perdamaian bisa dicapai di Kamboja tanpa menyertakan Khmer Merah. Sukumbhand Paribatra, ahli politik luar negeri di Universitas Chulalangkorn, Bangkok, berpendapat seperti itu. "Mereka bakal terpojok dan lamalama terpaksa menyerah. Sekarang saja banyak pasukan Khmer yang membelot dan menyerah kepada UNTAC," Sukhumband menuturkan. Yang tak enak, masalah Khmer Merah ini menimbulkan pertentangan sendiri dalam UNTAC. Yakni mengambil sikap tegas dengan menggunakan kekerasan terhadap Khmer Merah ataukah tetap memilih jalan perundingan. Jenderal John Sandersen dari Australia, komandan pasukan perdamaian PBB, tetap ingin menggunakan jalan perundingan walau apa pun yang terjadi. Tapi wakilnya, Jenderal Michel Loridon dari Prancis, lebih suka menggunakan kekerasan untuk memaksa Khmer Merah menaati perjanjian Paris. Loridon akhirnya mengundurkan diri. "Saya tinggalkan Kamboja karena tak dapat melaksanakan mandat UNTAC," katanya. Kini kebijaksanaan Ketua Otoritas UNTAC ditunggu. Bila soal Khmer Merah tak segera diselesaikan dan pemilu terpaksa ditunda, itu berarti UNTAC harus menambah bujet. Itu bila mandat UNTAC yang 18 bulan kini, yang akan berakhir pertengahan tahun depan, diperpanjang. Tapi melihat perkembangan pelaksanaan perjanjian Paris, tampaknya tak ada jalan mundur bagi UNTAC. Sebab ketiga faksi yang lain, yakni faksinya Hunsen, Son Sann, dan faksinya Sihanouk, sudah memulai menyerahkan senjata dan membubarkan sebagian pasukan. Mungkin Sukumbhand benar bahwa perdamaian bisa dicapai tanpa Khmer Merah. Dengan konsekuensi, bila Khmer Merah membuat kekacauan dan menghalangi proses pemilu, pasukan PBB mesti menghadapinya dengan kekerasan. Sanksi ekonomi terhadap Khmer Merah diduga tak akan ada efeknya walau Cina, pendukung Khmer Merah, kabarnya tak lagi mengirimkan bantuan. Provinsi Battambang di perbatasan Muangthai, yang dikuasai Khmer Merah, kaya dengan permata dan kayu. Khmer Merah sejauh ini bisa menjual permata dan kayu konon karena perlindungan tentara Thai belakangan pihak Thai menolak sinyalemen ini. Khmer Merah konon meraih keuntungan sedikitnya US$ 100 juta setiap tahun dari bisnis kayu dan permata itu. Didi P. (Jakarta) & Yuli I. (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini