Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lalat-lalat Elektronik Riyadh

Pemerintah Saudi menyasar sejumlah pembangkang. Selain mempekerjakan tentara siber, mereka menggunakan perangkat lunak buatan Israel.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demonstrasi menentang Putra Mahkota Mohamad bin Salman, di Washington, DC, Amerika Serikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Turki bin Abdul Aziz al-Jasser, jurnalis Arab Saudi, ditahan penegak hukum negara kerajaan itu sejak 15 Maret lalu. Setelah tak terdengar kabarnya cukup lama, pria yang aktif di media sosial itu diyakini tewas. “Al-Jasser tewas setelah disiksa pada masa penahanan,” tulis Middle East Monitor, Senin dua pekan lalu.

Kabar ini muncul setelah kolumnis Washington Post asal Saudi, Jamal Khashoggi, dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober lalu. Penyelidik Turki yakin Khashoggi dibunuh secara terencana oleh tim dari Riyadh pada hari kedatangannya ke konsulat. Hingga Kamis pekan lalu, mayat Khashoggi belum ditemukan.

Al-Jasser dan Khashoggi punya banyak kesamaan. Al-Jasser ditangkap karena diduga sebagai pengelola Kashkool, akun Twitter yang banyak mengungkap pelanggaran hak asasi manusia pemerintah Saudi dan keluarga kerajaan. Khashoggi, yang mengasingkan diri ke Amerika Serikat, juga dikenal sebagai pengkritik Riyadh.

Khashoggi pun belakangan diketahui mendukung Geish al-Nahla atau Pasukan Lebah, insiatif warga Saudi pembangkang di pengasingan. Ia menyumbang sekitar Rp 73 juta kepada Pasukan Lebah, gerakan oposisi yang menawarkan perlindungan siber kepada aktivis dan pengkritik Saudi agar aman dari jangkauan pemerintah kerajaan.

Abdul Aziz al-Jasser

Sejumlah media menyebut Al-Jasser dan Khashoggi sebagai target operasi pasukan siber Saudi. Tentara siber, yang juga disebut Lalat Elektronik, ini, menurut New York Times, dibentuk oleh Saud al-Qahtani, penasihat Putra Mahkota Saudi Mohamad bin Salman. Al-Qahtani bersama lima pejabat Saudi lain dipecat setelah kasus kematian Khashoggi terbongkar dan mendapat sorotan tajam internasional.

Perang Saudi terhadap para pembangkang dan pengkritik kerajaan ini dijalankan Lalat Elektronik Saudi dengan berbagai cara: mengintimidasi secara langsung, mencoba mempengaruhi, dan mengarahkan diskusi di dunia maya. Mereka memanfaatkan mata-mata di Twitter untuk mendeteksi identitas pemilik akun pembangkang serta melacak dan memonitor aktivitas mereka dengan Pegasus, perangkat lunak canggih buatan perusahaan teknologi asal Israel, NOS Group.

Menurut New York Times, Saudi juga membentuk gerombolan bandit di Internet alias troll center di sejumlah kantor serta rumah di Riyadh dan sekitarnya. Tugasnya adalah menyaingi atau membungkam percakapan di Internet yang merugikan citra Saudi. Aktivitasnya dimulai pada 2010, setelah muncul gerakan Musim Semi Arab.

Direktur tentara siber ini secara rutin mendiskusikan cara memerangi para pembangkang dan mengendalikan tema-tema sensitif, seperti perang Yaman dan hak perempuan, di media sosial. Mereka mengelola tim spesialis media sosial melalui grup di WhatsApp dan Telegram, mengirimkan daftar orang yang harus diancam, juga membuat cuitan bernada positif tentang pemerintah.

Anggota tim khusus ini direkrut melalui Twitter dengan iming-iming gaji 10 ribu riyal atau sekitar Rp 43 juta per bulan. Cuitan tim tersebut menguasai percakapan di Twitter lewat akun yang mereka kendalikan. Kadang-kadang, ketika ada perbincangan yang menyudutkan pemerintah, mereka memasang foto porno untuk mengacaukannya. Saat satu akun diblokir sejumlah pengguna, mereka menutupnya dan membuat yang baru.

Tentara siber ini juga membungkam perdebatan, misalnya mengenai kritik terhadap perang Arab Saudi di Yaman, dengan menandai tema itu sebagai “sensitif”. Dengan begitu, Twitter akan menyembunyikan tema tersebut dari pengguna lain.

Setelah Saudi mengumumkan langkah-langkah penghematan ekonomi pada 2015 untuk mengimbangi harga minyak yang rendah dan mengendalikan kesenjangan anggaran, perusahaan konsultan McKinsey & Company mengukur pendapat publik di media sosial terhadap kebijakan tersebut. Hasilnya, publik kurang menerima kebijakan itu.

Tiga orang diketahui mendominasi percakapan di Twitter mengenai hal itu: penulis Khalid al-Alkami dan Abdulaziz, aktivis Saudi yang tinggal di Kanada, serta pengguna anonim bernama Ahmad. Setelah laporan McKinsey tersebut keluar, menurut kelompok pegiat hak asasi manusia ALQST, Al-Alkami ditangkap. Abdulaziz diancam dengan memenjarakan dua saudara laki-lakinya dan meretas telepon selulernya. Adapun akun Ahmad ditutup.

Tindakan Saudi itu membuat jeri para pembangkang. Manal al-Sharif, salah satu aktivis Saudi, mengatakan langkah pemerintah makin keras tahun lalu. Sejumlah aktivis ditekan agar menghapus akun mereka atau berhenti mencuit. Beberapa di antaranya ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Beberapa bulan lalu, kata Al-Sharif, dia menerima dua panggilan telepon yang menuntutnya berhenti membuat cuitan miring soal Saudi. “Saya menolak diam,” tulisnya di Washington Post, Jumat dua pekan lalu. Tapi ia sadar bahwa Saudi serius menargetkan para pembangkang ini sehingga banyak di antaranya yang mulai menghapus arsip cuitan mereka. Al-Sharif pun menghapus akun Twitternya, yang saat itu sudah punya 295 ribu pengikut.

Saudi juga ditengarai menanam mata-mata di Twitter. Menurut New York Times, pejabat Twitter mewaspadai potensi penyusupan pada akhir 2015. Saat itu, Twitter diberi tahu badan intelijen negara Barat bahwa Saudi mempersiapkan seorang pekerja, Ali Alzabarah, untuk memata-matai akun-akun milik pembangkang.

Twitter lantas meminta Alzabarah cuti, menginterogasinya, dan melakukan pemeriksaan forensik untuk menentukan informasi apa saja yang dia akses. Mereka tidak menemukan bukti bahwa ia menyerahkan data Twitter kepada Saudi. Tapi Twitter memecatnya pada Desember 2015. Alzabarah lantas kembali ke Saudi dan diketahui bekerja untuk pemerintah negara itu.

Abdul Aziz al-Jasser juga ditangkap setelah identitasnya sebagai pengelola akun Kashkool diketahui. Menurut Al Araby, beberapa sumber melaporkan bahwa pihak berwenang Saudi menemukan identitas aslinya setelah pasukan siber Saudi menyusup ke markas Twitter di Dubai.

Selain mengerahkan tentara siber, Saudi memburu para pembangkang dengan Pegasus. Selasa pekan lalu, Edward Snowden, mantan pegawai Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), mengatakan Saudi menggunakan Pegasus untuk mengintai para pembangkang, termasuk Jamal Khashoggi. Israel menjual perangkat lunak itu selepas serangkaian pertemuan rahasia di Amerika Serikat dan Inggris dengan nilai transaksi US$ 250 juta.

NOS Group membantahnya. “Snowden memfitnah perusahaan teknologi Israel tanpa basis pengetahuan atau pemahaman tentang operasi mereka,” demikian pernyataan mereka, Rabu pekan lalu.

Namun sekelompok akademikus Kanada yang tergabung dalam The Citizen Lab mengungkapkan bahwa mereka mencatat ekspansi signifikan penggunaan Pegasus oleh negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini sebagian besar membidik pembangkang yang tinggal di luar negeri, termasuk Abdulaziz.

Abdulaziz adalah aktivis politik Saudi yang tinggal di Kanada sejak 2009. Berbagai kritiknya terhadap Saudi membuat pemerintah menarik beasiswa belajarnya. Ia lantas mengajukan permohonan suaka dan diberi status penduduk permanen pada 2014. Saudi berusaha menekannya, termasuk dengan menangkap saudara-nya, Agustus lalu. Dia yakin penangkapan itu adalah upaya untuk mencegahnya berbicara lebih jauh.

Pada suatu pagi saat musim panas 2018, Abdulaziz berbelanja di situs belanja online Amazon. Pada hari itu juga ia menerima pesan teks dari seseorang yang mengaku akan mengirim paket dari perusahaan logistik DHL. Curiga terhadap pesan itu, ia mengirimnya ke The Citizen Lab untuk diperiksa. Hasilnya, ponselnya telah diintai oleh Kingdom, penyedia jasa Internet (ISP) yang dicurigai bekerja untuk kepentingan Saudi. Kingdom pula yang membidik pembangkang Saudi di London, Yahya Assiri.

ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, AL ARABY, TIMES OF ISRAEL, JERUSSALEM POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus