Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tahun silam, dalam konferensi pers Fantastic Beasts and Where to Find Them, J.K. Rowling menyatakan ide mengembangkan jagat Harry Potter sebagai prekuel lahir karena tumbuhnya populisme di berbagai pojok dunia, termasuk di Amerika Serikat.
Para penggemar fanatik karya Rowling pasti sudah tahu betapa seringnya Rowling mengkritik Presiden Donald Trump, secara terbuka, karena sikap Trump yang xenophobic, sektarian, dan anti-imigran.
Maka tak aneh jika lahirnya serial Fantastic Beasts and Where to Find Them bisa dianggap sebagai saluran kemarahan Rowling terhadap tren politik dunia beberapa tahun terakhir. Bagi penggemar novel dan film Harry Potter, penghidupan jagat ini—yang semula terbit sebagai buku tipis yang menjadi bagian “buku pelajaran Hogwarts”—tentu disambut dengan girang. Tak mengapa pula dalam serial baru ini tokoh Harry Potter tak akan pernah muncul karena, seperti yang diutarakan Rowling, film ini dimulai di New York 80 tahun sebelum kita mengenal Potter dan kawan-kawannya.
Tak apa. Dalam seri kedua inilah kita bertemu dengan Jude Law sebagai Dumbledore muda yang cakep betul.
Film Crimes of Grindelwald langsung membuka dirinya dengan tokoh Gellert Grindelwald (Johnny Depp) yang dikurung di penjara dengan penjagaan ketat. Begitu dia dipindahkan ke penjara lain, tentu saja kesaktiannya dan bantuan anak-anak buahnya membuatnya bisa kabur. Dia menghilang ditelan awan.
Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald -IMDB
Grindelwald tentu saja seseorang yang menakutkan, meski wajahnya yang terlihat seperti disiram tepung terigu itu tak cukup mengerikan dibanding Voldemort. Grindelwald harus segera ditangkap lagi karena dia sedang mengumpulkan pengikutnya—gaya Voldemort memanggil para hambanya—untuk mendukung propagandanya menjadikan dunia sebagai dunia sihir “pure blood”. Tonjokan pertama kepada para pemimpin dunia nyata yang tidak hanya xenophobic, tapi juga rasis. Tak mengherankan J.K. Rowling sejak awal memutuskan tidak hanya menjadi bagian dari tim produser, tapi juga menjadi penulis skenario.
Sementara hampir semua skenario film Harry Potter dipercayakan kepada Steve Kloves, yang mampu memeras novel-novel tebal bertabur banyak tokoh dan peristiwa magis itu menjadi film 120 menit, J.K. Rowling tampak sulit membuang bagian yang bisa disederhanakan dalam bentuk visual. Rowling adalah seorang maestro kata; seseorang yang mampu menggerakkan jutaan pembaca di dunia masuk ke jagat yang luar biasa ajaib; seorang master yang bisa menghidupkan berbagai makhluk yang “tidak biasa” atau ilmu-ilmu sihir yang tak terbayangkan penulis mana pun sebelumnya. Tapi menuangkan cerita itu dalam bentuk layar besar untuk 120 menit sementara penonton duduk untuk menyerap dan memasuki jagatnya adalah “permainan” yang berbeda dengan pergumulan kata-kata.
Dalam seri kedua Fantastic Beasts ini, Rowling dan sutradara David Yates terlalu banyak melahirkan subplot. Misalnya ada kisah pertentangan dua bersaudara Newt dan kakak lelakinya serta Tina (Katherine- Waterston) dan Queenie Goldstein (Alison Sudol). Belum lagi kita harus memperhitungkan egomaniak macam Grindelwald yang sepanjang film terus-menerus mengejar Credence Barebone (Ezra Miller). Siapakah Barebone dan mengapa identitasnya menjadi pusat perhatian film ini? Saya belum juga menyebutkan tokoh-tokoh pendukung macam pasangan Queenie dan Jacob (Dan Fogler), pasangan kesayangan penonton sejak film seri pertama keluar, atau Leta Lestrange (Zoe Kravitz) yang adatnya sungguh bertolak belakang dengan Lestrange- satu lagi di dunia Harry Potter.
Dan, yang paling penting, tokoh utama Newt Scamander (Eddie Redmayne) yang sepanjang film sibuk menggerundeng, menyimpan kalimat-kalimat dalam bibir serta menyimpan rasa cinta kepada Tina Goldstein, bisa begitu lepas bebas ketika berkomunikasi dengan binatang-binatang purba peliharaannya baik di darat maupun di dalam laut. Scamander seperti terjerembap di dalam pusaran pertarungan politik. Dan, sialnya, dia pula yang ditugasi Dumbledore karena sang Guru Besar mengaku “tak mungkin bertarung melawan Grindelwald”. Mengapa? Beberapa tahun lalu, J.K. Rowling sudah mengumumkan bahwa Albus Dumbledore seorang gay. Dan dalam film ini akan jelas bagaimana hubungan Dumbledore dengan Grindelwald di masa lalu. Kita belum juga masuk ke sosok Nagini, ular milik Voldemort, yang ternyata di masa lalu berwujud seorang perempuan (Claudia Kim). Bagaimana Nagini ini konon datang dari Indonesia? Hanya J.K. Rowling dan rumput bergoyang yang paham.
Harus diakui, sinematografi film ini yang seolah-olah melukiskan keganjilan sirkus dan kemampuan para penyihir lelaki ataupun perempuan sudah membuat kita gembira. Apalagi diberi akhir film yang mengejutkan, meski tak konklusif mengenai identitas Credence sesungguhnya (yang tetap saja melahirkan debat di kalangan para penggemarnya yang hafal silsilah semua tokoh Harry Potter).
Untuk mereka yang sama sekali tak pernah menyentuh novel atau film Harry Potter, tokoh-tokoh ini akan muncul begitu saja tanpa kesan dan tanpa referensi. Ini memang film khusus untuk para penggemar Potter. Oh, iya, dan soal binatang-binatang ganjil yang menjadi judul serial besar ini: hampir semuanya seperti hiasan cantik, kecuali si Nifler yang punya kaitan dalam cerita.
Mudah-mudahan, dalam seri ketiga, J.K. Rowling dan sutradara Yates tega memangkas subplot yang tidak terlalu penting, karena pada akhirnya kita membutuhkan kisah yang lebih kental.
LEILA S. CHUDORI
Sutradara: David Yates
Skenario: J.K. Rowling
Pemain: Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Alison Sudol, Ezra Miller, Johnny Depp
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo