Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mahabarata Jawa, Mahabarata Animasi

Menonjolkan penggunaan multimedia, Teater Koma menyajikan asal-muasal Semar, Togog, dan Batara Guru. Seperti menonton teater dicampur bioskop.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Teater Koma dalam lakon Mahabarata, Asmara Raja Dewa, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15 November 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HYANG Jengger Kinanti. Cikal-bakal para binatang bersayap itu sosoknya ayam jago raksasa. Ia berada di dalam sebuah kerangkeng di Margasatwaloka. Leluhur ayam tersebut dibangunkan tidurnya oleh empat dewa putra Sang Hyang Wenang, pencipta alam semesta. Mereka adalah Antaga, Ismaya, Manikmaya, dan Manan. Empat saudara itu ingin bertanya mana yang lebih dulu tercipta, Hyang Jengger Kinanti atau telur emas. Hyang Jengger Kinanti sembari berkokok menelengkan muka ke bawah, menatap lebih jelas paras para dewa muda nan ganteng itu.

Adegan dalam pementasan Teater Koma, Mahabarata, di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu menarik lantaran Hyang Jengger Kinanti muncul dalam bentuk visual animasi sebesar dinding belakang panggung. Adapun empat putra Sang Hyang Wenang dimainkan oleh Budi Ros, Rangga Riantiarno, Zulfi Ramdoni, dan Bayu Dharmawan. Dialog antara empat aktor dan animasi ayam di dinding itu tentunya membutuhkan latihan berkali-kali agar posisi blocking dan interaksi pas.

Hyang Jengger Kinanti mengajukan pertanyaan yang kemudian membuat keempat dewa itu saling berkelahi. “Siapa yang paling tua di antara paduka sekalian, dialah yang bakal mewarisi kekuasaan Sang Hyang Wenang.”

Sudah sangat sering Riantiarno, sutradara Teater Koma, mementaskan pertunjukan menggunakan idiom-idiom tokoh wayang. Katakanlah Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Semar Gugat, Kala, Republik Bagong, Republik Togog, Republik Cangik, dan Republik Petruk. Semuanya merupakan komedi politik aktual yang dibungkus dengan lakon wayang carangan. Tapi agaknya ia menyimpan obsesi mementaskan sebuah Mahabarata versi Jawa secara urut yang tak “politis”. Ia melakukan riset terhadap berbagai teks Mahabarata versi Jawa, dari gubahan Yasadipura, Mangkunegara VII, sampai Ronggawarsito.

Dan, dalam pementasan yang berlangsung 16-25 November ini, Nano—sapaan Riantiarno—menampilkan awal mula jagat dewata di dunia kayangan sebelum Semar dan Togog diturunkan ke bumi Jawa.  Perkelahian keempat dewa di atas adalah genealogi dari semua cerita wayang di Jawa. Ismaya, Manikmaya, Antaga, dan Manan sesungguhnya lahir dari satu telur. Mereka lalu menerima hukuman. Antaga dan Ismaya, yang paling sengit beradu, wajahnya berubah buruk. Antaga menjadi Togog. Ismaya menjadi Semar. Manikmaya kemudian menjadi Batara Guru. Manan menjadi Batara Narada.

Sejak pementasan tahun lalu, Gemintang, yang bercerita mengenai seorang astronom di Bandung yang jatuh cinta kepada alien, Nano tertarik mengeksplorasi medium multimedia atau digital animasi. Dan kini unsur multimedia ini dimaksimalkan. Dari awal sampai akhir, set sepenuhnya dibantu oleh visualisasi animasi. Citraan--citraan tata surya dan galaksi memulai eksplorasi digital yang ditangani penata artistik Deden Bulqini. Selanjutnya, kita melihat multimedia dipenuhi cuplikan peperangan kolosal, visual gunung-gunung berlahar dan bersalju, sampai set-set istana. Citraan-citraan ini gambarnya berbau science fiction. Bangunan istana pun mirip reruntuhan pilar-pilar Yunani, tapi futuristis.

Upaya menggabungkan unsur film atau multimedia ke dalam teater agaknya sedang dicoba di mana-mana. Dua kelompok teater dari Inggris yang beberapa bulan lalu tampil di Taman Ismail Marzuki, misalnya, berusaha meleburkan film dengan teater. Salah satu kelompok,  Imitating the Dog, secara paralel menyuguhkan  adegan yang sama antara aktor di panggung dan di film dengan maksud  memprovokasi penonton agar melihat mana yang lebih dulu terjadi, adegan di panggung atau di layar. Pementasan Frogman oleh Curious Directive lebih canggih. Penonton diminta mengenakan headset kacamata realitas virtual. Melalui kacamata ini, ke mana saja menoleh, penonton bisa menyaksikan adegan masa lalu tokoh yang dipersoalkan. Adapun tatkala headset dicopot, penonton menyaksikan adegan masa kini sang tokoh yang tengah dipercakapkan seorang aktor di panggung. Interaksi antara realitas virtual yang maya dan dunia riil terjadi. Dibanding penampilan dua grup teater dari Inggris di atas, pertunjukan Koma masih tergolong konvensional. Pertunjukannya masih menempatkan animasi sebagai sebatas ilustrasi, bukan sebuah cara berpikir. 

Betapapun demikian, animasi cukup menggigit pada babak pertama. Terutama saat perkelahian sengit terjadi antara Ismaya dan Antaga. Tiba-tiba layar tipis diturunkan di depan pemain. Dari situ muncul visual kilatan-kilatan yang merupakan wujud adu kesaktian kedua dewa itu. Adapun pada dinding di belakang pemain tetap ditampilkan serangkaian gambar bergerak. Para aktor diapit imaji animasi. Permainan Budi Ros, Rangga Riantiarno, Zulfi Ramdoni, dan Bayu Dharmawan mampu menghidupkan konflik. Saat tiba-tiba Budi Ros dan Bayu Dharmawan, yang memainkan Ismaya dan Antaga, berganti topeng berkuncung Semar dan mulut mancung seperti bebek Togog, mereka cukup lihai. Di sini Nano berhasil meyakinkan penonton bahwa imajinasi Mahabarata Jawa berbeda dengan Mahabarata India. Dewa-dewa tertinggi dalam Mahabarata India, seperti Wisnu, Brahma, Indra, dan Bayu, dalam versi Jawa hanyalah anak Batara Guru.

Di babak kedua—yang kemudian cukup melelahkan, entah apakah penyebabnya citraan-citraan multimedia atau animasi yang terlalu royal hingga tak lagi mengagetkan—kita melihat asal-muasal lahirnya Petruk dan Gareng. Keduanya adalah jin yang menyerbu kayangan. Babak kedua terutama diisi serangkaian adegan mengenai kutukan terhadap Batara Guru. Batara Guru digambarkan lemah terhadap perempuan dan hasrat seks. Batara Guru membawa istrinya, Dewi Umiya, menumpangi lembu Andini keluar dari istana Janggring Salaka. Di ketinggian, ia ingin bersanggama tapi ditolak Umiya. Spermanya pun jatuh ke laut Nusakambangan dan ditelan seekor ikan barakuda. Dari ikan itu kemudian muncul seorang anak yang kelak diberi nama Batara Kala.

Visual kawah yang memuntahkan lahar muncul saat panggung menghadirkan kisah ratu jin Umarantiki yang tinggal di pusat kawah Mahameru. Sang Ratu digambarkan terpesona oleh Batara Guru. Melalui putri perempuannya yang lincah, Dewi Gading Permoni, ia ingin memikat Batara Guru. Dari sini muncul adegan awal mula Batara Guru memiliki empat tangan. Dua tangan tambahan itu adalah hasil semadinya agar mampu menangkap Dewi Gading Permoni (dimainkan dengan renyah oleh Sekar Dewantari) yang lincah meloncat ke sana-kemari. Tirai tipis kembali diturunkan di depan untuk menyorotkan sosok maya dewi berselubung api yang meloncat ke segala arah itu.

Nyanyian-nyanyian yang menjadi ciri khas Teater Koma tak syak menjadi kekuatan pentas. Mengasyikkan melihat tiba-tiba semua pemain Koma di panggung berhenti berdialog dan kemudian dalam posisi statis menyanyi bersama-sama. Sebuah cara menghadirkan nyanyian oleh Nano yang inspirasinya diambil dari teknik jejer dalam wayang kulit.  Yang jadi soal, belum ada nyanyian di Mahabarata ini yang membekas secara melodius, sehingga tak bisa membangkitkan kesegaran saat pertunjukan sudah memakan waktu tiga jam. Mungkin diperlukan aransemen yang serius agar lagu-lagu Teater Koma betul-betul menjadi theme song yang menjaga gairah penonton agar bugar sampai akhir pertunjukan (dan kemudian bisa direkam serta dipasarkan sendiri).

Selain animasi, satu-dua properti mengejutkan masih disodorkan di panggung. Di antaranya patung lembu Andini yang tak dinyana bisa meluncur sendiri. Juga patung gajah besar (mastodon) sebagai kendaraan perang. Pertunjukan diakhiri dengan perkawinan Batara Kala dan Dewi Gading Permoni, perkawinan yang kelak melahirkan anak-cucu kejahatan dan kegelapan.

Mungkin Nano pada tahun-tahun mendatang akan melanjutkan Mahabarata Jawa ini dengan sekuel-sekuel berikutnya. Apa yang disajikan empat jam ini masih cerita awal. Bila merujuk pada buku Mahabarata Jawa yang sudah diterbitkannya, pertunjukan ini masih jauh untuk sampai ke Baratayuda, apalagi zaman Parikesit naik takhta. Entah apakah Nano memiliki rencana memanggungkan semua itu. Dan dengan strategi apa lagi.

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus