TAK banyak negara yang berani melawan negara superkuat Amerika Serikat. Tapi penguasa Haiti rupanya tak peduli akan pengaruh dan kekuatan sang superpower. Rabu pekan lalu, di bawah bayang- bayang intervensi Amerika, penguasa militer yang saat ini mengendalikan Haiti menantang dengan mengangkat Emile Jonassaint sebagai presiden baru Haiti, negeri mini di Laut Karibia yang cuma berpenduduk 6 juta itu. Pengangkatan Jonassaint sebagai presiden memang layak menimbulkan amarah dunia, terutama Amerika. Sudah sejak September 1991, Amerika bersitegang dengan Letnan Jenderal Raoul Cedras, orang yang bisa disebut sebagai penguasa Haiti sebenarnya saat ini. Kala itu, Jenderal Cedras menggulingkan presiden terpilih Jean Bertrand Aristide lewat sebuah kudeta. Aristide, yang kemudian kabur dan berdiam di Washington, berusaha menggalang dukungan dunia untuk merebut kembali kekuasaannya. Amerika, seperti biasa, jelas mendukung Aristide, yang dianggapnya demokratis. Berbagai tekanan dan ancaman, yang juga dilakukan lewat Dewan Keamanan PBB, sempat menggiring Cedras ke meja perundingan. Juli tahun lalu, Cedras setuju menerima kembali Aristide menjadi presiden. Tapi belakangan terbukti bahwa perjanjian itu cuma akal- akalannya. Aristide tak diizinkan kembali. Bahkan 193 tentara Amerika dan 25 pasukan Kanada yang sudah ada di pelabuhan Port Au Prince, ibu kota Haiti, diusir. Sejak itu pertentangan Jenderal Cedras melawan Amerika Serikat, yang didukung masyarakat dunia, menjadi-jadi. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan PBB sebenarnya praktis sudah melumpuhkan Haiti. Namun, Jenderal Cedras tetap bergeming. Bahkan, itu tadi, ia mengangkat Emile Jonassaint, bekas hakim agung, yang ternyata juga tak kurang galaknya. "Penyakit yang dibawa orang-orang kulit putih sudah hilang. Kita sudah sembuh dan terbebaskan," demikian pidato Jonassaint pada upacara pelantikannya. Isu nasionalisme di kalangan orang Haiti memang kuat, yang akhirnya membuat penguasa militer ini punya pendukung cukup banyak. Dunia ternyata bingung juga melihat kenekatan penguasa Haiti. Dewan Keamanan PBB pun bersidang dan menyetujui sebuah sanksi embargo total terhadap Haiti. Embargo ini berlaku mulai 21 Mei, akhir pekan ini. Namun, pemerintah Haiti tampak asal-asalan menangani persoalan tanpa peduli apa akibatnya. Itu tampak dari salah satu tugas utama Presiden Jonassaint: mencetak uang baru untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, termasuk membayar gaji yang sudah dua bulan tertunda. Uang baru yang makin banyak jelas akan mendongkrak harga yang buntutnya mencekik rakyat. Kehidupan yang makin sengsara di Haiti akan memicu gelombang pengungsi ke pantai Florida. Diperkirakan, dalam dua bulan ini, 5.000 hingga 10.000 pengungsi Haiti akan membanjiri pantai- pantai Amerika. Pemerintahan Clinton, yang tadinya mengizinkan pengungsi ini mendarat untuk diproses, juga sudah menyiapkan penangkal baru. Para pengungsi Haiti akan diperiksa di atas kapal khusus yang disewa oleh pengawal pantai. Diam-diam AS sudah mulai memperhitungkan sebuah intervensi militer untuk memecahkan persoalan Haiti. Langkah ini sebenarnya mudah. Dua ribu pasukan bersenjata lengkap dengan dukungan helikopter penyerang akan mampu mengalahkan 7.000 tentara Haiti yang miskin peralatan. Tapi banyak pihak di Amerika yang masih gamang. Pengalaman pahit di Somalia membuat mereka betul-betul berhitung. Buat Amerika, Haiti memang sebuah dilema. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini