Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembunuh basoeki abdullah bertutur

Ia divonis 15 tahun dan menyatakan pikir-pikir dulu. kepada tempo ia mengaku "sudah berakhir", dan menuturkan apa sebenarnya yang ia lakukan.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMIRUDIN alias Nanda, 23 tahun, pembunuh pelukis kondang Basoeki Abdullah itu, langsung menundukkan muka. Hakim Moegihardjo dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu, memvonisnya 15 tahun penjara. Nanda terbukti bersalah melakukan pencurian dengan kekerasan sehingga mengakibatkan kematian. Tuntutan jaksa, 20 tahun. Peristiwa itu terjadi pada 5 November 1993, tengah malam. Saat itu terdakwa masuk ke rumah korban di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, mencuri sejumlah jam tangan, sebuah kamera, uang Rp 200.000, sejumlah uang asing, dan walkman. Ketika kepergok korban, terdakwa memukul kepala korban hingga meninggal. Yang memberatkan terdakwa karena yang dibunuh adalah "pelukis maestro kita". Terdakwa pun tak menunjukkan rasa penyesalan. Nanda, jebolan kelas tiga SMP, kini sudah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Saat ditemui TEMPO pekan lalu, lelaki kelahiran Aceh Selatan itu tampak dekil dan kurus. "Jelek- jelek begini, di LP ini, saya juara azan, lo," kata orang yang "masih pikir-pikir" soal vonis hakim ini. Nanda dianggap penjahat kambuhan. Ia pernah membunuh anak majikannya di Aceh tiga tahun lalu. Juga pernah menjarah Toko Pojok Busana di kawasan Blok M, Jakarta. Karena kasus pencurian itu, ia dihukum 5 bulan. Berikut petikan wawancara Nanda dengan wartawan TEMPO Wahyu Muryadi: Bagaimana awal semua ini? Suatu magrib, di rumah yang saya tempati dan biasa dipakai teman-teman kumpul, datang Wahyudi, tukang kebun Pak Basoeki. Ia mengeluh sedang ruwet karena adiknya yang baru saja jadi sopir di tetangga Pak Basoeki menabrak mobil orang lain dan dituntut ganti rugi. Ia juga dituduh menghilangkan STNK mobil Pak Basoeki. Ia lantas minta tolong, dan saya juga kasihan mendengarnya. Kemudian Wahyudi cerita bahwa di rumah majikannya ada uang Rp 280 juta. Kami pun berunding dan sepakat mencuri uang itu. Lalu? Saya masuk rumah lewat lubang pembuangan air sebesar kepala saya. Susah, tapi saya paksakan. Polisi mengira saya punya ilmu, ha-ha-ha.... Lalu saya duduk di kegelapan, dekat kolam renang. Saya lihat istrinya baru datang. Waktu itu sekitar pukul setengah dua. Baru setelah mereka tidur, saya masuk ke ruang dalam. Di situ saya sempat makan apel dan mencoba walkman. Barang itu tak saya ambil, saya geletakkan di atas teras. Pikir saya, kalau sampai ketahuan, ya barang inilah yang akan saya bawa kabur. Di situ saya melihat samurai pendek, tapi tak jadi saya angkat. Cara Anda masuk kamar? Kamar itu berada di lantai bawah dan tidak terkunci. Saya masuk dari ruangan tengah dengan merangkak, supaya tak ada suara. Secara perlahan pintu kamar saya buka. Pak Basoeki tidur hanya memakai singlet putih dan celana kolor kelihatan pulas. Saya buka almari di samping tempat tidur, hanya ada uang sekitar Rp 200.000. Selagi saya asyik mengambil barang yang ada dalam almari, tiba-tiba almarhum terjaga dan kakinya menginjak pantat dan punggung saya. Ia kaget tampaknya, lalu menghardik sambil mencekik leher saya dari belakang: "Siapa kamu! Siapa kamu!" Saya juga kaget dan mencoba kabur, tapi pintu kamar terhalang pintu almari yang baru saya buka. Saya panik. Pak Basoeki teriak: "Maling, maling...!" Saya makin panik, di situlah saya lihat ada senapan angin. Dengan cepat saya ambil, saya hantamkan ke kepalanya. Kena hantam sekali, ia ambruk. Eh, bangun lagi dan teriak "maling" lagi. Saya hantamkan lagi dua kali, sampai gagang senapannya patah. Darah muncrat di baju dan celana saya. Tapi sungguh saya tak merencanakan membunuh. Sebelumnya sudah kenal dengan korban? Belum. Wahyudi hanya menyebut sasaran di rumah Pak Basoeki. Yang namanya Basoeki kan banyak di Jakarta. Apakah Anda tak tahu bahwa Pak Basoeki itu pelukis terkenal? Saya tahu nama, tapi tak tahu orangnya. Makanya setelah memukul korban, di luar kamar tidur saya sempat tercenung melihat ada lukisan Pak Basoeki sekeluarga. Saya berpikir, jangan-jangan dia orang penting. Saya jadi grogi. Kenapa tidak langsung kabur? Itulah, sudah kepalang basah. Saya balik lagi masuk kamarnya. Biar jelas ketahuan mencurinya, saya buka laci almari, dan saya ambil arloji di situ. Dari mana Anda tahu bahwa korban adalah orang penting? Pagi harinya, setelah mendengar berita RCTI. Tahu korban orang penting, saya maki-maki Wahyudi. Saya gemetar. Wah, orang penting dia.... Jadi, Anda gagal mendapatkan uang? Gagal. Kan tak ada uang Rp 280 juta seperti disebutkan Wahyudi tadi? Herannya, sudah tahu gagal begitu, kok Wahyudi malah masuk kerja, spekulasi katanya. Anda pernah bertemu keluarga korban? Ya, waktu rekonstruksi. Istrinya tampak tabah. Yang emosional anaknya. Ia menangis sambil berteriak agar saya meminum darah ayahnya. Kalau sudah begini, saya mengaku salah. Ibaratnya, kalau nyawa saya diminta, saya rela menyerahkannya. Barang hasil jarahan dijual ke mana? Hanya 43 arloji itu, dan yang menjual teman-teman yang kini masih buron. Anda tobat setelah kejadian itu? Orang berbuat jahat itu ada masanya. Dan bagi saya, masa itu telah berakhir dengan tertangkapnya saya ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus