Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam pesawat dari Tokyo ke Roma, 26 November 2019, Paus Fransiskus berbicara tentang investasi dana gereja. Menurut dia, dana Sedekah Santo Petrus—sumbangan sukarela umat Katolik dari seluruh dunia yang dikirim langsung ke Vatikan—boleh diinvestasikan sejauh investasi itu meyakinkan.
“Pertama-tama, dalam administrasi yang baik sudah biasa ada sejumlah dana yang berasal dari Sedekah Santo Petrus. Dan apa yang harus saya lakukan? Menyimpannya di laci? Tidak, itu administrasi yang buruk,” ucap Paus kepada para wartawan di pesawat. “Saya berinvestasi, dan... bila ada keperluan, dalam setahun, Anda ambil. Nilai modalmu tak berkurang, mungkin sama atau tumbuh sedikit,” tuturnya, seperti dikutip CNA.
Investasi untuk sebuah gedung apartemen juga baik, menurut dia, asalkan aman. Bila tidak, kata Paus lagi, menjawab pertanyaan wartawan tentang investasi di London, Inggris, “Terjadilah skandal. Mereka melakukan hal-hal yang tampak tidak bersih.”
Vatikan sedang dilanda skandal keuangan. Pertengahan November lalu, kepolisian Vatikan menangkap dua direktur perusahaan yang terdaftar di London yang mengelola investasi itu. Pada Oktober, Menteri Luar Negeri Vatikan Pietro Parolin menyatakan investasi di London itu “kabur”. Tapi Kardinal Angelo Becciu, yang mengelola investasi selama menjabat di Kementerian Luar Negeri, menyebutkan investasi itu “praktik yang dapat diterima”.
Paus Fransiskus telah meneken surat perintah investigasi terhadap sejumlah pejabat Vatikan. Pada 1 Oktober, polisi menggerebek kantor Kementerian Luar Negeri dan Otoritas Informasi Keuangan (AIF)—pengawas keuangan internal Vatikan. Lima pejabat dinonaktifkan dan dilarang masuk Vatikan, termasuk Tommaso Di Ruzza, Direktur AIF. AIF juga dinonaktifkan oleh Egmont Group, kelompok yang menaungi 164 otoritas intelijen keuangan tempat berbagi informasi dan berkoordinasi.
Menurut Paus, Di Ruzza dinonaktifkan karena dugaan administrasi yang buruk. “AIF tampaknya tidak mengontrol kejahatan yang lain sehingga gagal menjalankan tugasnya. Saya harap mereka tak terbukti demikian karena toh ada asas praduga tak bersalah,” ujarnya.
Skandal ini terbongkar antara lain melalui laporan wartawan majalah Italia, L’Espresso, pada pertengahan Oktober lalu. Berdasarkan dokumen penyelidik Vatikan yang mereka peroleh, media itu menyatakan Vatikan telah menggunakan dana dari sumbangan umat untuk membeli sebuah gedung apartemen megah seluas 3,7 hektare di 60 Sloane Avenue di Chelsea, London, seharga US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun.
Menurut mereka, Kementerian Luar Negeri mengelola sekitar Rp 10 triliun dana tahunan Sedekah Santo Petrus. Ternyata dana itu diselewengkan ke bisnis spekulatif dan 77 persen disetor ke Credit Suisse, jasa investasi keuangan multinasional berbasis di Swiss. Dokumen penyelidik menyatakan penggunaan dana senilai Rp 7,8 triliun dinilai janggal dan mengkhawatirkan.
Pembelian apartemen yang terletak tak jauh dari Istana Buckingham ini berawal pada 2012, ketika Raffaele Mincione, pengelola keuangan Italia, menawari Vatikan berinvestasi senilai US$ 200 juta di sebuah perusahaan minyak di Angola. Menurut L’Espresso, rencana ini adalah gagasan Giovanni Angelo Becciu—saat itu orang nomor dua di Kementerian Luar Negeri dan mantan Duta Besar Vatikan di Angola. Becciu kini kardinal dan duduk di Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa Vatikan.
Perusahaan minyak Angola itu adalah Falcon Oil milik Antonio Mosquito. Pengusaha Angola itu punya hubungan dekat dengan Becciu, ketika Becciu menjadi ambasador di Angola pada 2001-2009. Mosquito-lah yang mendekati Vatikan agar berinvestasi.
Alberto Perlasca, pejabat senior kementerian saat itu, mengakui Mosquito berhubungan dengan Becciu. “Kardinal Becciu telah bertemu dengan Mosquito di Angola. Catat baik-baik: Mosquito-lah yang mengontak kementerian, bukan kementerian yang menghubungi Mosquito,” ujar Perlasca, yang kini dimutasi Paus Fransiskus ke pengadilan tinggi, kepada Financial Times.
WRM, kantor dana investasi milik Mincione, diminta melakukan uji kelayakan terhadap rencana investasi di Angola tersebut. “Credit Suisse, atas nama Vatikan, meminta WRM melakukan uji kelayakan terhadap investasi potensial senilai US$ 200 juta. Uji kelayakan kami mendalam dan membawa kami merekomendasikan kepada Credit Suisse dan Vatikan untuk tidak mengejar investasi ini,” kata WRM.
Kementerian akhirnya membatalkan rencana investasi di Angola. Mincione lantas mengusulkan investasi dialihkan ke real estate di London dengan membeli bekas gudang toko Harrod’s yang diubah menjadi apartemen mewah. Vatikan setuju dan membeli 45 persen saham properti itu. Namun harga properti yang turun karena isu Brexit membuat keuntungan tak sesuai dengan harapan. Pada 2018, di bawah monsinyur Venezuela, Edgar Peña Parra—orang nomor dua di Kementerian Luar Negeri—Vatikan memutuskan menarik diri dari dana Athena Capital Global yang dikelola Mincione.
Sebagai jalan keluar, Vatikan membeli 55 persen saham properti yang tersisa dalam transaksi pada November 2018. Keputusan ini diambil oleh Monsinyur Alberto Perlasca, pejabat penting di kementerian kala itu yang kini ditunjuk Paus Fransiskus menjadi jaksa di pengadilan tertinggi Vatikan, Apostolic Signatura. Dari bisnis properti tersebut, Mincione meraup pendapatan senilai Rp 2,3 triliun.
Satu-satunya pemrotes pembelian properti itu adalah Gian Franco Mammì, Direktur Jenderal Institut untuk Karya-karya Agama (IOR), yang dikenal sebagai Bank Vatikan. Protes itulah yang memicu investigasi atas kasus ini. Jaksa Vatikan kemudian mengajukan gugatan resmi pada 2 Juli lalu yang berbuntut pada penonaktifan lima pejabat, termasuk Tommaso Di Ruzza, dan berujung pada mundurnya Domenico Giani, komandan kepolisian Vatikan.
Sementara itu, Vatikan menyerahkan kendali atas investasi di London kepada Gianluigi Torzi, pengelola keuangan asal Italia. Torzi sebenarnya sedang diselidiki dalam kasus dugaan mengganti kunci sebuah vila di tepi pantai tanpa izin. Akibatnya, Vatikan tidak secara langsung memiliki saham apartemen di London, tapi melalui perusahaan Torzi di Luksemburg.
Bukan sekali ini Vatikan kecolongan. Tahun lalu, Angelo Caloia, Presiden Bank Vatikan kala itu, didakwa telah menggelapkan dana senilai 57 juta euro melalui penjualan properti Vatikan. Caloia didakwa bersama Gabriele Liuzzo, pengacaranya, dan Lelio Scaletti, mantan Direktur Jenderal Bank Vatikan. Scaletti juga diselidiki dalam kasus penjualan 29 properti Vatikan di Roma dan Milan sepanjang 2001-2008.
Bank Vatikan selama ini memang menjadi sorotan. Di Italia, dalam 30 tahun terakhir, masyarakat memandang Bank Vatikan sebagai gudang pengusaha kakap, politikus korup, dan kejahatan terorganisasi karena statusnya sebagai offshore bank.
Para kardinal sempat memperdebatkan transparansi bank ini saat audiensi umum sebelum pemilihan Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus Fransiskus pada 2013. Paus Fransiskus sendiri berkali-kali menegaskan bahwa dia dipilih dengan mandat membersihkan keuangan Vatikan.
Namun usaha Vatikan membenahi banknya tidaklah mudah. Skandal pembelian properti di London belakangan kembali menampar negara itu. Meski demikian, Paus Fransiskus menilai laporan korupsi yang berasal dari dalam Vatikan menunjukkan bahwa kendali terhadap bank itu berjalan. “Tolong, ini pertama kalinya... ini ditemukan dari dalam,” tuturnya.
IWAN KURNIAWAN (CNA, IRISH TIMES, REUTERS, L’ESPRESSO, CRUX, FINANCIAL TIMES)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo