Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Seusai Pemakaman Daphne

Kasus pembunuhan jurnalis Daphne Caruana Galizia terbongkar berkat kerja konsorsium 45 jurnalis dan keluarga. Perdana Menteri Malta Joseph Muscat akhirnya mundur.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rentetan peristiwa akhir November lalu tak memberikan banyak pilihan bagi Perdana Menteri Malta Joseph Muscat selain mengundurkan diri. Orang dekat yang juga kepala stafnya, Keith Schembri, mundur pada 25 November lalu karena dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan jurnalis investigasi Daphne Caruana Galizia. Schembri ditangkap polisi keesokan harinya, meski dilepas dua hari kemudian.

Schembri mundur setelah ada pengungkapan, berdasarkan investigasi wartawan dan penyelidikan polisi Malta, soal hubungannya dengan Yorgen Fenech, pengusaha kaya Malta. Fenech ditangkap polisi pada 20 November lalu dan didakwa sebagai otak pembunuhan Daphne. Pengacara Fenech mengatakan ada bahan soal keterlibatan Schembri dalam konspirasi ini.

Uni Eropa, yang mengirim misi mengawasi penyelidikan pembunuhan jurnalis, juga memperingatkan Malta. “Seharusnya tidak ada impunitas, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan tidak ada pelaku yang lolos dari pengadilan,” kata anggota Partai Liberal, Sophie, yang memimpin misi, dalam cuitannya di Twitter. “Karena (anggota) Uni Eropa, Malta harus menegakkan hukum.”

Krisis politik akibat pembunuhan Daphne telah memaksa Joseph Muscat lengser. Dalam pidato yang disiarkan di televisi pada 1 Desember lalu, ia menyatakan akan tetap duduk di kursi perdana menteri sampai pemimpin Partai Buruh baru ditetapkan pada 12 Januari 2020. “Keadilan sedang ditegakkan,” ujarnya. “Penyelidikan belum selesai. Tidak ada yang di atas hukum.”

Kabar baik itu tak memuaskan massa yang berdemonstrasi di luar gedung parlemen Malta sejak sehari sebelumnya. Mereka berteriak “kamu memalukan” dan “pembunuh” setelah mendengar pernyataan Muscat. Massa yang marah melempari mobil menteri dengan telur dan koin saat mereka pergi. Perdana Menteri bisa bebas melenggang pergi karena dilindungi polisi saat keluar dari gedung parlemen.

Pengunduran diri yang tertunda itu tak memuaskan keluarga Daphne. Mereka menuduh Muscat selama dua tahun ini berusaha menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut. “Sampai ia mengundurkan diri, kami akan menggunakan semua upaya hukum untuk memastikan Muscat tidak terlibat lebih lanjut dalam penyelidikan dan proses pidana kasus ini,” tulis keluarga Daphne.

Krisis yang dihadapi Joseph Muscat bermula dari peristiwa nahas yang menimpa Daphne, jurnalis kelahiran 26 Agustus 1964 yang banyak menulis laporan investigasi korupsi pemerintah. Hidupnya berakhir saat bom yang ditanam di bawah kursi mobil Peugeot 108 miliknya meledak di Jalan Bidnija, jalan di dekat rumahnya, 16 Oktober 2017 pukul 15.00.

Pembunuhan itu mengejutkan Eropa dan mengungkap praktik kekerasan di negara kepulauan dengan populasi 493 ribu jiwa tersebut. Pada 4 Desember 2017, dalam proses penyelidikan yang banyak dikritik karena lambat, polisi menangkap setidaknya sepuluh orang, termasuk tiga orang yang diyakini sebagai eksekutornya: Vincent Muscat, George Degiorgio, dan Alfred Degiorgio.

Uni Eropa memperingatkan soal lambatnya penyelidikan. Perkembangan ini juga mendorong konsorsium 45 jurnalis internasional yang tergabung dalam Forbidden Stories meluncurkan The Daphne Project pada April 2018. Ini adalah kolaborasi untuk menyelesaikan investigasi yang dimulai oleh Daphne, termasuk mengusut pembunuhannya.

Sebelum kematiannya, Daphne menulis di blog Running Commentary tentang sejumlah kasus yang melibatkan petinggi Malta. Pada 2016, ia menulis soal Menteri Energi Konrad Mizzi dan Keith Schembri yang memiliki bisnis di Selandia Baru. Ia juga menyelidiki dugaan penyalahgunaan program penjualan “paspor emas” Malta kepada investor asing kaya, yang kebanyakan dari Rusia, yang memberi akses kepada pemegang paspor untuk perjalanan bebas visa di Eropa.

Perdana Menteri Malta Joseph Muscat memberikan pernyataan terkait dengan investigasi kasus pembunuhan Daphne Caruana, di Valleta, Malta, 22 November 2019./ Reuters/GUGLIELMO MANGIAPANE

Selain itu, Daphne menyelidiki perusahaan misterius di Dubai, 17 Black Limited, yang diduga membayar ke perusahaan cangkang milik Konrad Mizzi dan Keith Schembri. Mizzi dan Schembri sebelumnya mengaku tidak tahu hubungan 17 Black Limited dengan Yorgen Fenech atau rencana pembayaran itu.

Meski sudah ada tiga orang yang didakwa karena pembunuhan Daphne, hanya sedikit informasi yang muncul tentang siapa yang memerintahkan pembunuhannya. Baru pada November 2019, ada perkembangan mengejutkan, yaitu pengakuan Melvin Theuma soal keterlibatan Fenech.

Theuma ditangkap akibat perjudian ilegal. Saat ditahan, dia menawarkan informasi tersebut untuk meringankan dakwaannya. Pengakuan itulah yang kemudian berujung pada penangkapan Fenech, saat ia hendak berlayar meninggalkan Malta dengan kapal pesiar mewahnya pada 20 November lalu.

Theuma mengungkap peran Fenech, juga Schembri, dalam sidang pada 4 Desember lalu. Menurut dia, seperti dilansir Times of Malta, plot pembunuhan itu dimulai beberapa bulan sebelum pemilihan umum pada Juni 2017. Ia mengaku ditelepon Fenech dan bertemu di luar restoran Blue Elephant di Hilton, St. Julian. Fenech meminta Theuma menghentikan Daphne yang akan mempublikasikan informasi tentang pamannya, Ray, pemimpin kelompok usaha Tumas Group.

Tumas Group memiliki beberapa properti penting, termasuk bangunan tertinggi di Malta, Menara Bisnis Portomaso, serta Hotel Hilton, kasino, dan Marina Portomaso. Grup ini juga punya bisnis perjudian, perhotelan, dan pengembangan properti.

Saat pemilihan umum, Theuma ditelepon Fenech dan menerima pesan, “Aku ingin membunuh Daphne.” Fenech memberinya uang “untuk pembunuhan” sebesar 150 ribu euro atau setara dengan Rp 2,3 miliar. Setelah itu, Fenech kerap mengontak Theuma untuk segera mengeksekusi rencana tersebut karena takut informasinya bocor. Theuma menilai bahwa informasi yang ditakutkan Fenech akan dipublikasikan Daphne adalah bukan soal pamannya, melainkan tentang dia. Fenech menjadi Kepala Eksekutif Tumas Group sejak ayahnya meninggal pada 2014.

Menurut kesaksian Vincent Muscat kepada polisi, seperti dilansir Reuters, awalnya pembunuhan akan dilakukan dengan penembakan. Senapannya bakal dipasok dari Italia dan eksekutornya Alfred Degiorgio. Mereka pun mulai mengamati gerak-gerik Daphne, membuntuti mobilnya, dan mengamati rumahnya. Mereka pernah mengikuti Daphne dalam perjalanan keluarga ke Hotel Phoenicia di Ibu Kota Valletta serta ke bandar udara ketika Daphne dan suaminya, Peter, melakukan perjalanan ke luar negeri.

Namun mereka menilai terlalu sulit untuk menembak Daphne. Rencana itu diabaikan. Mereka mengembalikan senapan kepada pemasoknya, lalu mendapatkan bom dan diberi petunjuk cara meledakkannya.

Daphne tinggal di Desa Bidnija, sekitar 15 kilometer dari Valetta. Rumahnya di dalam kompleks berpagar. Daphne biasanya memarkir mobilnya di dalam, yang menyulitkan calon pembunuhnya memasang bom di kendaraannya. Namun, pada malam 15 Oktober 2017, mereka melihat mobil itu diparkir di luar gerbang. Keesokan paginya, Degiorgio dan Muscat pun memasang bomnya.

Theuma menyatakan ia mengetahui ledakan itu dari televisi. Ia dan komplotannya juga mendapat peringatan awal soal penangkapan terhadap mereka, yang kemudian terjadi pada 4 Desember 2017. Setelah mereka ditangkap, Theuma, yang masih berada di luar penjara, membagi-bagikan uang 100 euro per bulan kepada tiap keluarga ketiga orang itu. “Mereka butuh uang untuk bertahan hidup,” katanya. “Saya khawatir mereka akan mengungkap semuanya.”

Suatu hari Theuma menerima panggilan telepon dari Kenneth, yang mengaku bekerja di kantor Perdana Menteri Malta. Saat bertemu, Kenneth memberi tahu Theuma agar mengabari ketiga tersangka yang sudah di dalam penjara soal rencana pembebasan dengan uang jaminan. Namun, saat waktu yang disebutkan tiba, uang jaminan itu tidak datang. Theuma pun mulai ketakutan dan khawatir terhadap keselamatannya sehingga akhirnya buka mulut kepada polisi.

Times of Malta memuat tulisan tangan Theuma yang menunjukkan keterlibatan Yorgen Fenech dan Keith Schembri. “Saya melakukan ini karena saya menyadari bahwa dua orang ini, Yorgen Fenech dan Keith Schembri, berusaha menyingkirkan saya juga. Jadi saya menyiapkan bukti ini sehingga, jika saya dihilangkan, Anda akan tahu seluruh ceritanya,” ujar Theuma.

ABDUL MANAN (TIMES OF MALTA, REUTERS, THE GUARDIAN, THE NEW YORK TIMES, INDEPENDENT.COM)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus