Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOREA Selatan, yang dipuja-puji pertumbuhan ekonominya, yang budaya popnya telah menggoyang seluruh dunia, ternyata belum siap untuk film tentang seorang ibu rumah tangga. Belum pernah ada film Korea Selatan yang mendapat serangan kebencian begitu masif seperti Kim Ji-young: Born 1982. Akun Instagram aktris Jung Yu-mi dibanjiri ribuan komentar kecaman karena dia menerima peran utama sebagai Kim Ji-young. Sebuah petisi dilayangkan kepada Presiden Korea Selatan untuk membatalkan penayangan film ini. Saat dirilis, Kim Ji-young mendapat ponten 6,6 dari 10 oleh hampir 40 ribu pengguna Naver Movie, situs populer pemberi rating film di Korea Selatan. Tapi coba perhatikan proporsi pemberi rating-nya. Penonton perempuan rata-rata memberi nilai 9,5 dari 10 untuk Kim Ji-young. Sedangkan penonton laki-laki hanya sudi memberi angka 2,72. Ada apa?
Kontroversi tersebut sebenarnya muncul sejak buku Kim Ji-young, Born 1982 karya Cho Nam-joo, yang menjadi dasar film ini, diterbitkan pada 2016. Nam-joo, becermin pada pengalaman pribadinya, menulis tentang perempuan Korea 30-an tahun yang menghadapi diskriminasi gender dalam tiap tahap kehidupannya. Puncaknya adalah saat Kim Ji-young menjadi ibu, yang makin menunjukkan bahwa ketimpangan tuntutan peran antara perempuan dan laki-laki memang nyata dan menekan.
Begitu buku Cho Nam-joo terbit, ego para lelaki di negara yang menempati peringkat ke-118 dari 144 negara dalam indeks kesetaraan gender Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) itu tersulut. Perempuan kesayangan mereka yang tergabung dalam grup-grup idola K-Pop, seperti Irene “Red Velvet”, Sooyoung “Girls’ Generation”, dan Sulli (meninggal bulan lalu), yang ketahuan membaca Kim Ji-young, Born 1982 segera dihujani dengan ujaran kebencian. Sekelompok pria menggalang dana untuk menerbitkan buku tandingan berjudul Kim Ji-hoon, 1990, buat membuktikan bahwa laki-laki Korealah yang menerima diskriminasi karena harus ikut wajib militer dan lain-lain.
Yang dilakukan Kim Ji-young, dalam buku ataupun film, adalah menempatkan pengalaman keseharian perempuan di dalam nampan agar dapat dihidangkan dan diamati baik-baik oleh masyarakat yang masih mendewakan lelaki sebagai kasta manusia tertinggi. Saat Kim Ji-young lahir, ibunya meminta maaf kepada mertuanya karena melahirkan anak perempuan, bukan laki-laki. Saat masih bocah, Ji-young melihat saudara laki-lakinya mendapat kasih sayang melimpah dari seluruh keluarga, sementara ia membersihkan meja. Menjadi siswa, Ji-young dibuntuti laki-laki menyeramkan pada malam hari, tapi malah dia yang disalahkan ayahnya karena terlalu menarik perhatian. Di dunia pekerjaan, Ji-young yang cemerlang tak mendapat promosi karena, sebagai perempuan, ia akan menikah dan punya anak sehingga produktivitasnya dikhawatirkan menurun. Terdengar akrab? Karena tentu saja pengalaman Kim Ji-young adalah representasi kita-kita, para perempuan. Setidaknya ada satu-dua pengalaman hidup Ji-young yang pernah dialami juga oleh perempuan mana pun.
Bukan hanya pengalamannya sendiri, Kim Ji-young berperan seperti spons yang menyerap kisah para perempuan lain di sekitarnya. Hampir tak ada yang dilewatkan. Kisah perempuan putus sekolah agar bisa bekerja menopang keluarga? Ada. Kisah perempuan karier yang dianggap gagal mengurus anak karena lebih mengutamakan pekerjaan? Ada. Kisah perempuan menjadi korban pelecehan seksual tapi videonya malah disebar di antara lelaki mesum? Ada. Maka tak mungkin tak sesak dada saat menonton film ini. Isak tertahan dan suara menyedot ingus terdengar dari segala arah di bioskop saat saya menon-tonnya.
Cerita Kim Ji-young lebih-lebih sangat akrab dengan penonton Indonesia karena tradisi keluarga Korea Selatan sedikit-banyak mirip dengan budaya kita. Karena itu, Kim Ji-young menjadi jauh lebih kuat dibanding film Tully, misalnya. Tully mengangkat pengalaman baby blues seorang ibu (Char-lize Theron), tapi dibuat dengan perspektif Barat sehingga terasa kurang dekat.
Jika melihat dengan adil, pendekatan yang diambil film ini tidaklah provokatif. Pengalaman—untuk tak menyebutnya penderitaan—perempuan dihadirkan dengan subtil. Kim Ji-young jarang meluapkan amarah atau frustrasi. Dia hanya memandang kosong dan bertanya-tanya kenapa saat matahari terbenam ia sering merasa lelah. Tapi penonton perempuan akan berkaca pada hidup Ji-young dan tersadar bahwa pengalaman yang kita terima sebagai kewajaran boleh jadi adalah bagian dari ketidakadilan konstruksi nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Penonton laki-laki, bila merasa film ini melebih-lebihkan, sebaiknya pulang dan mengecek daftar privilese yang sudah terselip di kantong semenjak dilahirkan.
Kim Ji-young: Born 1982 adalah film yang perlu ada, dan perlu dibuat sebanyak-banyaknya. Hari-hari ini makin banyak perempuan bersuara dan saling mendukung berkat gelombang #MeToo yang meriak di berbagai belahan dunia. Suara-suara itu perlu diamplifikasi lewat buku, film, atau produk budaya lain dan harus diduplikasi sebanyak mungkin. Seperti Hollywood yang nyaris memuakkan dengan Oscar yang terus mengunggulkan film bertema segregasi kulit putih dan kulit hitam, misalnya 12 Years a Slave, Black Panther, Hidden Figures, dan Green Book, karya-karya tentang ketidakadilan terhadap perempuan juga sebaiknya dibuat terus sampai orang muak karena itu satu-satunya cara agar didengar dan terjadi perubahan.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
koreanfilm.or.kr
Judul: Kim Ji-young: Born 1982
Sutradara: Kim Do-young
Skenario: Berdasarkan buku Kim Ji-young, Born 1982 oleh Cho Nam-joo
Pemain: Jung Yu-mi, Gong Yoo, Kim Mi-kyung, Kim Sung-cheol
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo