Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mahasiswa bergolak lagi

Demonstrasi mahasiswa menuntut tegaknya demokrasi & bersihkan universitas dari antek park, pemerintah mengumumkan berlakunya keadaan darurat perang (kdp). (ln)

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANGKAIAN demonstrasi mahasiswa Korea Selatan berlangsung lagi. Selama 3 hari mereka beraksi di berbagai kota. Dan setelah demonstrasi itu agak mereda, pemerintah Sabtu malam pekan lalu mengumumkan berlakunya 'keadaan darurat perang' (KDP) bagi seluruh wilayah negara itu. Keesokan harinya, militer menangkapi ratusan mahasiswa dan tokoh politik. Baik yang propemerintah maupun yang anti, termasuk Kim Dae - jung, 54, tokoh oposisi terkemuka dan Kim Jong-pil, pendiri KCIA (Pusat Intelijen Korea Selatan). Menteri Penerangan, Lee Kyu-han, mengatakan bahwa KDP akan berlaku terus sampai keadaan tenang dan stabilitas sosial politik pulih. Ia mengumumkan KDP itu setelah selesai sidang kabinet darurat yang dihadiri Presiden Choi Kyu-hah yang baru saja kembali dari perjalanan kenegaraan ke Timur Tengah. Semua universitas dan akademi di seluruh provinsi harus ditutup. Ada larangan bagi kegiatan politik. Bahkan sidang Majelis Nasional, yang semula akan berlangsung Selasa pekan ini, juga dilarang. Serentak dengan pengumuman KDP itu, puluhan kendaraan berlapis baja dan ribuan pasukan bersenjata langsung bergerak menuju Seoul. Mereka menduduki kampus, dan berjaga di sekitar gedung pemerintah dan instalasi vital. Malam itu Seoul nyaris seperti kota militer. Di berbagai jalan tentara sibuk memasangi kawat rintangan untuk mencegah orang memasuki wilayah penting, seperti Istana Biru -- tempat kediaman Presiden - Choi -- dan rumah Perdana Menteri Shin Hyun-hwak. Tentara pada mulaya hampir tidak berbuat apa-apa. Karena pemerintah memberikan semacam kelonggaran bagi mahasiswa untuk melakukan demonstrasi. Meskipun waktu itu terbatas di kampus. Ini berkat perjuangan Menteri Pendidikan, Kim Og-kil, satu-satunya menteri wanita dalam kabinet Shin. Ia pernah mengancam akan mengundurkan diri bila pemerintah menggunakan tangan besi dalam urusan kampus. Memang setelah Presiden Park Chung-hee dibunuh, Oktober lalu, bertumbuh iklim kebebasan di kampus. Berbeda dengan dulu, sekarang mahasiswa memilih langsung anggota Dewan Mahasiswa. Dosen dan mahasiswa yang dulu dipecat sekarang kembali lagi ke kampus. Sebaliknya pejabat universitas yang dulu dikenal antek Park Chunghee diberhentikan. "Saya percaya mahasiswa sudah cukup dewasa untuk memahami situasi," kata Kim Og-kil. Tapi mahasiswa semakin menyadari bahwa kebebasan di kampus saja tidak cukup berarti. Mereka melihat gejala bahwa kelompok militer pada dasarnya tidak menginginkan terciptanya suasana yang lebih demokratis. Para jenderal bersikap tetap ingin. mempertahankan 'keadaan darurat' hanya karena alasan ancaman dari Korea Utara. Ketika mahasiswa mulai bergerak, tuntutan mereka yang pertama adalah 'bersihkan universitas dari antek Park' dan 'tegakkan demokrasi'. Kemudian mereka menuntut supaya 'PM Shin Hyun-hwak dan Jenderal Chun Doohwan' digeser. Jenderal Chun adalah Panglima Komando Keamanan Pertahanan yang juga menjabat Direktur KCIA. Ia selama ini dianggap sebagai tokoh utama di antara 300 jenderal. Keduanya Shin dan Chun berasal dari desa yang sama dengan mendiang Presiden Park. Di Seoul, pada hari pertama sekitar 50 ribu mahasiswa dari 33 universitas dan akademi turun ke jalan. Keesokan harinya jumlah ini semakin membesar diperkirakan mencapai 70 ribu. Belum lagi di kota-kota lain. Menurut sumber di Seoul, lebih dari 100 ribu mahasiswa serentak melakukan aksi protes di seluruh Korea Selatan. Ini adalah demonstrasi mahasiswa yang terbesar dalam sejarah Korea Selatan. Bahkan sekali ini melebihi demonstrasi mahasiswa April 1960 yang menggulingkan Presiden Syngman Rhee, dan yang kemudian membuka jalan bagi Jenderal Park Chung-hee untuk melakukan kudeta, Mei 1961. Praktis Dilumpuhkan Aksi mahasiswa terakhir ini luar biasa berani. Bagaikan pasukan berani mati mereka menyerang polisi anti huru hara yang menggunakan gas air mata. Seorang mahasiswa mengambil alih sebuah bis kota. Dia langsung menyetir bis itu ke arah polisi yang sedang merintangi para demonstran. Bahkan ada pula yang melemparkan bom molotov, juga ke arah polisi. Yang lebih menarik lagi, 20% dari demonstran itu adalah wanita. Sesuatu yang jarang terjadi. PM Shin dalam pidato televisi -- 2 hari setelah aksi itu berlangsung -- menjanjikan suatu perubahan konstitusi secepatnya. Ini sesuai dengan salah satu tuntutan mahasiswa. Ia juga berjanji akan menetapkan waktu yang tepat bagi dicabutnya 'keadaan darurat'. Janji Shin rupanya untuk sekedar menenangkan mahasiswa. Dengan penangkapan tokoh politik yang terjadi Minggu pagi itu, semua kekuatan oposisi praktis dilumpuhkan. Namun mahasiswa di Kwanju, selatan Seoul, masih berdemonstrasi Senin lalu. Da,ri 450 mahasiswa yang mengadakan demonstrasi hari itu 150 mengalami cidera dan 1 orang tewas. Polisi rupanya semakin ganas setelah diumumkannya 'keadaan darurat perang'. Mungkinkah ini akhir suatu perjuangan mahasiswa yang berusaha menegakkan demokrasi? Sejarah Korea Selatan pernah mencatat: "revolusi mahasiswa hanya pembuka jalan bagi suatu revolusi tangsi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus