RANGKAIAN demonstrasi mahasiswa Korea Selatan berlangsung lagi.
Selama 3 hari mereka beraksi di berbagai kota. Dan setelah
demonstrasi itu agak mereda, pemerintah Sabtu malam pekan lalu
mengumumkan berlakunya 'keadaan darurat perang' (KDP) bagi
seluruh wilayah negara itu. Keesokan harinya, militer menangkapi
ratusan mahasiswa dan tokoh politik. Baik yang propemerintah
maupun yang anti, termasuk Kim Dae - jung, 54, tokoh oposisi
terkemuka dan Kim Jong-pil, pendiri KCIA (Pusat Intelijen Korea
Selatan).
Menteri Penerangan, Lee Kyu-han, mengatakan bahwa KDP akan
berlaku terus sampai keadaan tenang dan stabilitas sosial
politik pulih. Ia mengumumkan KDP itu setelah selesai sidang
kabinet darurat yang dihadiri Presiden Choi Kyu-hah yang baru
saja kembali dari perjalanan kenegaraan ke Timur Tengah.
Semua universitas dan akademi di seluruh provinsi harus
ditutup. Ada larangan bagi kegiatan politik. Bahkan sidang
Majelis Nasional, yang semula akan berlangsung Selasa pekan ini,
juga dilarang.
Serentak dengan pengumuman KDP itu, puluhan kendaraan berlapis
baja dan ribuan pasukan bersenjata langsung bergerak menuju
Seoul. Mereka menduduki kampus, dan berjaga di sekitar gedung
pemerintah dan instalasi vital.
Malam itu Seoul nyaris seperti kota militer. Di berbagai jalan
tentara sibuk memasangi kawat rintangan untuk mencegah orang
memasuki wilayah penting, seperti Istana Biru -- tempat kediaman
Presiden - Choi -- dan rumah Perdana Menteri Shin Hyun-hwak.
Tentara pada mulaya hampir tidak berbuat apa-apa. Karena
pemerintah memberikan semacam kelonggaran bagi mahasiswa untuk
melakukan demonstrasi. Meskipun waktu itu terbatas di kampus.
Ini berkat perjuangan Menteri Pendidikan, Kim Og-kil,
satu-satunya menteri wanita dalam kabinet Shin. Ia pernah
mengancam akan mengundurkan diri bila pemerintah menggunakan
tangan besi dalam urusan kampus.
Memang setelah Presiden Park Chung-hee dibunuh, Oktober lalu,
bertumbuh iklim kebebasan di kampus. Berbeda dengan dulu,
sekarang mahasiswa memilih langsung anggota Dewan Mahasiswa.
Dosen dan mahasiswa yang dulu dipecat sekarang kembali lagi ke
kampus. Sebaliknya pejabat universitas yang dulu dikenal antek
Park Chunghee diberhentikan. "Saya percaya mahasiswa sudah cukup
dewasa untuk memahami situasi," kata Kim Og-kil.
Tapi mahasiswa semakin menyadari bahwa kebebasan di kampus saja
tidak cukup berarti. Mereka melihat gejala bahwa kelompok
militer pada dasarnya tidak menginginkan terciptanya suasana
yang lebih demokratis. Para jenderal bersikap tetap ingin.
mempertahankan 'keadaan darurat' hanya karena alasan ancaman
dari Korea Utara.
Ketika mahasiswa mulai bergerak, tuntutan mereka yang pertama
adalah 'bersihkan universitas dari antek Park' dan 'tegakkan
demokrasi'. Kemudian mereka menuntut supaya 'PM Shin Hyun-hwak
dan Jenderal Chun Doohwan' digeser. Jenderal Chun adalah
Panglima Komando Keamanan Pertahanan yang juga menjabat Direktur
KCIA. Ia selama ini dianggap sebagai tokoh utama di antara 300
jenderal. Keduanya Shin dan Chun berasal dari desa yang sama
dengan mendiang Presiden Park.
Di Seoul, pada hari pertama sekitar 50 ribu mahasiswa dari 33
universitas dan akademi turun ke jalan. Keesokan harinya jumlah
ini semakin membesar diperkirakan mencapai 70 ribu. Belum lagi
di kota-kota lain. Menurut sumber di Seoul, lebih dari 100 ribu
mahasiswa serentak melakukan aksi protes di seluruh Korea
Selatan.
Ini adalah demonstrasi mahasiswa yang terbesar dalam sejarah
Korea Selatan. Bahkan sekali ini melebihi demonstrasi mahasiswa
April 1960 yang menggulingkan Presiden Syngman Rhee, dan yang
kemudian membuka jalan bagi Jenderal Park Chung-hee untuk
melakukan kudeta, Mei 1961.
Praktis Dilumpuhkan
Aksi mahasiswa terakhir ini luar biasa berani. Bagaikan pasukan
berani mati mereka menyerang polisi anti huru hara yang
menggunakan gas air mata. Seorang mahasiswa mengambil alih
sebuah bis kota. Dia langsung menyetir bis itu ke arah polisi
yang sedang merintangi para demonstran. Bahkan ada pula yang
melemparkan bom molotov, juga ke arah polisi. Yang lebih menarik
lagi, 20% dari demonstran itu adalah wanita. Sesuatu yang jarang
terjadi.
PM Shin dalam pidato televisi -- 2 hari setelah aksi itu
berlangsung -- menjanjikan suatu perubahan konstitusi
secepatnya. Ini sesuai dengan salah satu tuntutan mahasiswa. Ia
juga berjanji akan menetapkan waktu yang tepat bagi dicabutnya
'keadaan darurat'.
Janji Shin rupanya untuk sekedar menenangkan mahasiswa. Dengan
penangkapan tokoh politik yang terjadi Minggu pagi itu, semua
kekuatan oposisi praktis dilumpuhkan.
Namun mahasiswa di Kwanju, selatan Seoul, masih berdemonstrasi
Senin lalu. Da,ri 450 mahasiswa yang mengadakan demonstrasi hari
itu 150 mengalami cidera dan 1 orang tewas. Polisi rupanya
semakin ganas setelah diumumkannya 'keadaan darurat perang'.
Mungkinkah ini akhir suatu perjuangan mahasiswa yang berusaha
menegakkan demokrasi? Sejarah Korea Selatan pernah mencatat:
"revolusi mahasiswa hanya pembuka jalan bagi suatu revolusi
tangsi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini