RUMAH Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung No. 16 Jakarta Pusat
hari-hari ini nampak sunyi. Tak kelihatan kesibukan para tukang,
meskipun sebuah gedung bertingkat yang sedang dibangun mulai
menyembul di sebelah kiri rumah, menyita sebagian besar dari
halaman yang rindang. Buku tamu di rumah jaga juga masih bersih.
Di beranda depan, di salah satu meja rotan, sebuah papan catur
besar lengkap dengan anak catur hitam putih sudah tersusun rapi
. Tapi tak seorang pun menyentuhnya.
"Bapak sedang ke luar negeri," kata seorang penjaga di situ.
Bekas tokoh minyak itu memang dikabarkan sedang ke Eropa,
bersama Ny. Saleha, istrinya. Diduga beberapa negeri akan mereka
kunjungi di tengah musim semi sekarang. "Maklum sudah lama tak
bertemu teman-teman lama," kata seorang bekas anak buahnya.
"Sekarang 'kan sudah bebas, boleh ke mana saja."
Memang sebelum ini Ibnu nampaknya tak bebas penuh. Sebuah sumber
di Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma pekan lalu kepada TEMPO
menerangkan, bahwa Ibnu Sutowo, termasuk orang yang tak boleh ke
luar negeri sejak 1977.
Pertengahan Maret 1977, Ibnu Sutowo memang diberitakan berstatus
ditahan di rumah. Istilah ini secara resmi memang diperhalus.
Jaksa Agung Ali Said misalnya menatakan: "Ibnu Sutowo hanya
diminta kalau sewaktuwaktu diperlukan agar ada di tempat." Tapi
tahun lalu Ali Said pula yang dalam suatu kesempatin di DPR
menerangkan, Ibnu Sutowo sudah tak lagi dikenakan tahanan rumah.
Sekalipun demikian, menurut sumber TEMPO di Halim tadi, nama
Ibnu masih belum dicabut dari lis orang yang dilarang ke luar
negeri. Barangkali soal administrasi yang selalu tak lancar.
Tapi diam-diam di tahun 1978, Ibnu pernah juga ke Jepang. Dengan
catatan: "Itu dengan izin khusus dan diantar sendiri oleh
seorang pejabat penting sampai ke Denpasar," kata sebuah sumber
yang mengetahui.
Ibnu sendiri kini lebih bersikap sebagai orang tua pensiunan.
Dalam usianya yang hampir 66, ia lebih suka santai. "Semua
bisnisnya lebih banyak diserahkan kepada anak-anaknya, di bawah
pimpinan Pontjo," kata seorang bekas pembantu dekatnya. Pontjo
Sutowo, 28 tahun, Ketua Umum HIPMI Pusat, kini lebih banyak
tampil sebagai pemimpin kelompok bisnis keluarga Sutowo .
Tak begitu jelas berapa banyak dan besarnya kekayaan keluarga
Sutowo itu. Pontjo sendiri, selain duduk sebagai komisaris utama
dalam banyak perusahaan, juga menjadi dir-ut dari lebih selusin
perusahaan, yang bernaung di bawah grup PT Adiguna. Sedangkan
sang bapak resminya memang masih berkantor di salah satu
kapling perumahan di daerah Slipi. Hanya dia lebih rajin main
golf ketimbang masuk kantor.
Masih merokok sigaret Lucky Strike tanpa filter (sekalipun tak
sekeras dulu), bekas ketua umum Persatuan Golf Indonesia itu
sering juga kelihatan di lapangan Jagorawi, dekat Cibinong yang
punya 9 holes Handicap-nya: hanya antara 10-12, suatu pertanda
kemahiran yang boleh diandalkan.
Golf memang dunia senggangnya - di samping keluarga. Semasa
jayanya dia gemar membangun lapangan golf. Ada yang bernama Ibnu
Golf Course di Pangkalan Brandan dengan 18 holes. Sebuah di
Prapat bernama Sally, mengikuti nama kecil Ny. Saleha Sutowo.
Dan yang di Bedugul Bali, lapangan golf yang indah mentereng
kesayangan Ibnu Sutowo, memakai nama putrinya ù ang bungsu,
Handara Country Club.
Kegemaran memakai nama keluarga sendiri ini juga melekat di
berbagai kapal. Antara lain dua kapal Pertamina diberi nama Enny
I dan Enny II, panggilan putri sulungnya yang menjadi istri
Udaya Hadibroto, dir-ut PT El Nusa (masih anak perusahaan
Pertamina). Dan ketika raja minyak itu mulai mengarungi bisnis
tanker samudra, tanker pertama yang disewa-beli oleh Pertamina
diberi nama Sally pula. Sedang di bulan Oktober 1974, sebuah
tanker raksasa (134.000 ton) yang diluncurkan dari kota pantai
Gothenburg, Swedia, diberi nama Ibnu.
Meskipun bukan Ibnu Sutowo sendiri yang memilih nama itu, nampak
bahwa ia dengan tenang dan senang, menerima pengakuan bahwa
sukses Pertamina adalah sukses dirinya. Laki-laki berkulit hitam
dan berbadan liat ini memang sedikit bicara. Tapi ia rupanya
punya cara tersendiri untuk menunjukkan kehadirannya.
Ibnu Sutowo adalah putra Raden Sastrodiredjo, Wedana Grobogan,
yang lahir di Ahad Wage 23 September 1914. Menurut primbon Jawa,
demikian antara lain Mara Karma dalam buku berjudul Ibnu Sutowo,
orang yang dilahirkan di hari itu memiliki "kemauan keras,
cita-cita yang tinggi dan segala keinginannya pantang
dirintangi": Gede karepe, yen duwe pikir ora kena dipalangi.
Memang selama di Pertamina tak ada satu pun bawahannya yang
berani menghalangi mimpinya yang besar itu. Kini setelah
mengalami masa yang pahit, ia pasti tak akan lagi disambut
seperti dulu bila bertemu 'teman-teman' lamanya di luar negeri.
Namun begitu, kesan yang ditinggalkan bekas dir-ut Pertamina --
yang bagi banyak anak buahnya dipandang sebagai "sang bapak"
--masih membekas.
Orang-orang penting di Pertamina sekarang, termasuk para
direkturnya, masih menyediakan waktu untuk kumpul-kumpul kalau
Jenderal Ibnu atau istrinya ulang tahun. Seorang sopir di
Pertamina bahkan merasa bangga kalau di hari Lebaran bisa
bersalaman dengan bekas boss-nya itu. Dan di setiap Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Qurban, masih nampak jejeran mobil di
seputar rumah Jalan Tanjung. Tak seramai dulu, memang. Tapi yang
pasti dalam acara salat yang diimami oleh Haji lbnu Sutowo
sendiri, keluarga besar Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Al Quran
(PTIQ) rajin menjadi makmum.
Tak begitu jelas bagaimana orang abangan yang disebut masih
keturunan garis ke-14 dari Prabu Hadiwijoyo, Sultan Kerajaan
Pajang (alias Joko Tingkir) itu kemudian mengikuti cara hidup
seorang santri. Mungkin berkat Ny Saleha, putri Sjafe'ie yang
dibesarkan di daerah Komering, Sumatera Selatan itu yang jadi
pendampingnya. Wanita ini memang sangat akrab dengan para siswa
PTIQ Pendidikan agama anak dan cucu-cucu Ibnu pun diserahkan
kepada para mahasiswa PTIQ.
Ayah dari 7 anak dan kakek dari 11 cucu itu memang di tahun 1972
merupakan salah satu pendiri PTIQ -- satu-satunya perguruan
tinggi khusus Al Quran di dunia. Dalam periode 1972-1977,
bersama Almarhum H.A. Thahir yang kini dihebohkan itu, Ibnu
Sutowo duduk sebagai anggota dewan kurator. Dan dengan gairah
akan kebesaran yang dulu nampak sewaktu ia mengurus Pertamina,
ia kini memesan pula sebuah kltab Al Quran berukuran besar 60
cm x 40 cm. Kitab ini berhiaskan batik, dikerjakan oleh penulis
kaligrafi H. Azhari Noor. Al Quran ini diteliti sampai ke
Universitas Al Azhar di Kairo. Semua biaya dari Ibnu Sutowo
sendiri, dan orang menyebutnya sebagai "Al Quran Ibnu Sutowo"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini