Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Pertamina Sampai Dengan Kitab Suci

Kegiatan ibnu sutowo setelah jatuh dari pertamina, larangan ke luar negeri telah dicabut pemerintah. kharismanya masih membekas di kalangan anak buahnya.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung No. 16 Jakarta Pusat hari-hari ini nampak sunyi. Tak kelihatan kesibukan para tukang, meskipun sebuah gedung bertingkat yang sedang dibangun mulai menyembul di sebelah kiri rumah, menyita sebagian besar dari halaman yang rindang. Buku tamu di rumah jaga juga masih bersih. Di beranda depan, di salah satu meja rotan, sebuah papan catur besar lengkap dengan anak catur hitam putih sudah tersusun rapi . Tapi tak seorang pun menyentuhnya. "Bapak sedang ke luar negeri," kata seorang penjaga di situ. Bekas tokoh minyak itu memang dikabarkan sedang ke Eropa, bersama Ny. Saleha, istrinya. Diduga beberapa negeri akan mereka kunjungi di tengah musim semi sekarang. "Maklum sudah lama tak bertemu teman-teman lama," kata seorang bekas anak buahnya. "Sekarang 'kan sudah bebas, boleh ke mana saja." Memang sebelum ini Ibnu nampaknya tak bebas penuh. Sebuah sumber di Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma pekan lalu kepada TEMPO menerangkan, bahwa Ibnu Sutowo, termasuk orang yang tak boleh ke luar negeri sejak 1977. Pertengahan Maret 1977, Ibnu Sutowo memang diberitakan berstatus ditahan di rumah. Istilah ini secara resmi memang diperhalus. Jaksa Agung Ali Said misalnya menatakan: "Ibnu Sutowo hanya diminta kalau sewaktuwaktu diperlukan agar ada di tempat." Tapi tahun lalu Ali Said pula yang dalam suatu kesempatin di DPR menerangkan, Ibnu Sutowo sudah tak lagi dikenakan tahanan rumah. Sekalipun demikian, menurut sumber TEMPO di Halim tadi, nama Ibnu masih belum dicabut dari lis orang yang dilarang ke luar negeri. Barangkali soal administrasi yang selalu tak lancar. Tapi diam-diam di tahun 1978, Ibnu pernah juga ke Jepang. Dengan catatan: "Itu dengan izin khusus dan diantar sendiri oleh seorang pejabat penting sampai ke Denpasar," kata sebuah sumber yang mengetahui. Ibnu sendiri kini lebih bersikap sebagai orang tua pensiunan. Dalam usianya yang hampir 66, ia lebih suka santai. "Semua bisnisnya lebih banyak diserahkan kepada anak-anaknya, di bawah pimpinan Pontjo," kata seorang bekas pembantu dekatnya. Pontjo Sutowo, 28 tahun, Ketua Umum HIPMI Pusat, kini lebih banyak tampil sebagai pemimpin kelompok bisnis keluarga Sutowo . Tak begitu jelas berapa banyak dan besarnya kekayaan keluarga Sutowo itu. Pontjo sendiri, selain duduk sebagai komisaris utama dalam banyak perusahaan, juga menjadi dir-ut dari lebih selusin perusahaan, yang bernaung di bawah grup PT Adiguna. Sedangkan sang bapak resminya memang masih berkantor di salah satu kapling perumahan di daerah Slipi. Hanya dia lebih rajin main golf ketimbang masuk kantor. Masih merokok sigaret Lucky Strike tanpa filter (sekalipun tak sekeras dulu), bekas ketua umum Persatuan Golf Indonesia itu sering juga kelihatan di lapangan Jagorawi, dekat Cibinong yang punya 9 holes Handicap-nya: hanya antara 10-12, suatu pertanda kemahiran yang boleh diandalkan. Golf memang dunia senggangnya - di samping keluarga. Semasa jayanya dia gemar membangun lapangan golf. Ada yang bernama Ibnu Golf Course di Pangkalan Brandan dengan 18 holes. Sebuah di Prapat bernama Sally, mengikuti nama kecil Ny. Saleha Sutowo. Dan yang di Bedugul Bali, lapangan golf yang indah mentereng kesayangan Ibnu Sutowo, memakai nama putrinya ù ang bungsu, Handara Country Club. Kegemaran memakai nama keluarga sendiri ini juga melekat di berbagai kapal. Antara lain dua kapal Pertamina diberi nama Enny I dan Enny II, panggilan putri sulungnya yang menjadi istri Udaya Hadibroto, dir-ut PT El Nusa (masih anak perusahaan Pertamina). Dan ketika raja minyak itu mulai mengarungi bisnis tanker samudra, tanker pertama yang disewa-beli oleh Pertamina diberi nama Sally pula. Sedang di bulan Oktober 1974, sebuah tanker raksasa (134.000 ton) yang diluncurkan dari kota pantai Gothenburg, Swedia, diberi nama Ibnu. Meskipun bukan Ibnu Sutowo sendiri yang memilih nama itu, nampak bahwa ia dengan tenang dan senang, menerima pengakuan bahwa sukses Pertamina adalah sukses dirinya. Laki-laki berkulit hitam dan berbadan liat ini memang sedikit bicara. Tapi ia rupanya punya cara tersendiri untuk menunjukkan kehadirannya. Ibnu Sutowo adalah putra Raden Sastrodiredjo, Wedana Grobogan, yang lahir di Ahad Wage 23 September 1914. Menurut primbon Jawa, demikian antara lain Mara Karma dalam buku berjudul Ibnu Sutowo, orang yang dilahirkan di hari itu memiliki "kemauan keras, cita-cita yang tinggi dan segala keinginannya pantang dirintangi": Gede karepe, yen duwe pikir ora kena dipalangi. Memang selama di Pertamina tak ada satu pun bawahannya yang berani menghalangi mimpinya yang besar itu. Kini setelah mengalami masa yang pahit, ia pasti tak akan lagi disambut seperti dulu bila bertemu 'teman-teman' lamanya di luar negeri. Namun begitu, kesan yang ditinggalkan bekas dir-ut Pertamina -- yang bagi banyak anak buahnya dipandang sebagai "sang bapak" --masih membekas. Orang-orang penting di Pertamina sekarang, termasuk para direkturnya, masih menyediakan waktu untuk kumpul-kumpul kalau Jenderal Ibnu atau istrinya ulang tahun. Seorang sopir di Pertamina bahkan merasa bangga kalau di hari Lebaran bisa bersalaman dengan bekas boss-nya itu. Dan di setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Qurban, masih nampak jejeran mobil di seputar rumah Jalan Tanjung. Tak seramai dulu, memang. Tapi yang pasti dalam acara salat yang diimami oleh Haji lbnu Sutowo sendiri, keluarga besar Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Al Quran (PTIQ) rajin menjadi makmum. Tak begitu jelas bagaimana orang abangan yang disebut masih keturunan garis ke-14 dari Prabu Hadiwijoyo, Sultan Kerajaan Pajang (alias Joko Tingkir) itu kemudian mengikuti cara hidup seorang santri. Mungkin berkat Ny Saleha, putri Sjafe'ie yang dibesarkan di daerah Komering, Sumatera Selatan itu yang jadi pendampingnya. Wanita ini memang sangat akrab dengan para siswa PTIQ Pendidikan agama anak dan cucu-cucu Ibnu pun diserahkan kepada para mahasiswa PTIQ. Ayah dari 7 anak dan kakek dari 11 cucu itu memang di tahun 1972 merupakan salah satu pendiri PTIQ -- satu-satunya perguruan tinggi khusus Al Quran di dunia. Dalam periode 1972-1977, bersama Almarhum H.A. Thahir yang kini dihebohkan itu, Ibnu Sutowo duduk sebagai anggota dewan kurator. Dan dengan gairah akan kebesaran yang dulu nampak sewaktu ia mengurus Pertamina, ia kini memesan pula sebuah kltab Al Quran berukuran besar 60 cm x 40 cm. Kitab ini berhiaskan batik, dikerjakan oleh penulis kaligrafi H. Azhari Noor. Al Quran ini diteliti sampai ke Universitas Al Azhar di Kairo. Semua biaya dari Ibnu Sutowo sendiri, dan orang menyebutnya sebagai "Al Quran Ibnu Sutowo"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus