MISTERI harta karun H.A. Thahir minggu ini masuk sidang pleno
DPR. Perkara bekas asisten umum direktur utama Pertamina bersama
Ny. Kartika Ratna, istri muda almarhum ini7 31/ bulan yang lalu
diungkapkan harian The Asian Wall Street Journal oleh
korespondennya di Jakarta (lihat Media). Dan serta merta orang
pun teringat akan riwayat hitam Pertamina.
Kasus almarhum Haji Thahir, yang ternyata memiliki deposito
bersama sebesar US$ 35 juta di Bank Sumitomo cabang. Singapura
itu, memang suatu bagian dari seluruh krisis yang menimpa
Pertamina, yang membuat Indonesia berutang US$ 10,5 milyar.
Korupsi yang didakwakan pada Thahir bahkan perkara kecil, bila
dibanding dengan riwayat Pertamina yang hampir bangkrut,
ditindih utang semahameru.
Krisis yang akhirnya mengakibatkan kejatuhan Dir-Ut Pertamina
Ibnu Sutowo ini mulai pecah di bulan Februari 1975, Ketika itu
sebuah bank yang tak tergolong besar di Amerika, First Republic
Bank of Dallas, mengumumkan bahwa Pertamina tak mampu memenuhi
cicilan utangnya. Bagaikan petir yang menyambar jadi api,
pengumuman dari bank di Dallas, negara bagian Texas itu pun
merembet dengan cepatnya, memhuat sejumlah bank asing di AS,
Eropa dan Jepang ribut berteriak utang.
Ternyata semua itu antara lain bermula di bulan Maret 1972.
Ketika itu tercapai perjanjian Indonesia dengan Dana Moneter
Internasional (IMF): selama setahun diadakan suatu batas
tertinggi bagi semua pinjaman luar negeri. Dan agaknya karena
cemas, suatu pembatasan khusus dikenakan terhadap Pertamina yang
suka berutang itu. Pertamina, demikian bunyi perjanjian itu, tak
lagi diizinkan untuk membuat utang-utang berjangka menengah
antara 1 sampai 15 tahun.
Ibnu Sutowo sendiri menilai pembatasan yang dikenakan terhadap
Pertamina itu sama dengan membatasi laju perusahaan raksasa yang
sedang mekar di bawah kekuasaannya. "Ketika itu saya juga sudah
mengajukan pada Presiden dan Dewan Komisaris bahwa ketentuan ini
sama saja dengan melarang kita mencari kredit. Kita praktis
sudah tak boleh melakukan investasi lagi," kata Ibnu Sutowo
dalam sebuah wawancara khusus dengan TEMPO. "Justru kredit yang
kita perlakukan, dan umumnya mudah didapat, berkisar antara 5
sampai 8 tahun." (TEMPO, 17 Januari 1976).
Maka untuk melanjutkan proyek-proyeknya yang umumnya di luar
kegiatan mencari minyak, Pertamina yang tersohor di luar negeri
itu pun melancarkan gerakan membuat utang berjangka pendek.
Utang itu, yang kurang dari setahun. Jangka pengembaliannya,
dibebani dengan bunga yang amat tinggi, berkisar antara 15
sampai 20%. Bahkan ada juga y ang jatuh waktu 6 bulan, dengan
beban bunga sekitar 30%.
Betapa besar akibat utang jangka pendek itu semakin terungkap
ketika Bank Indonesia mengambil oper urusan pembayaran kembali
-- yang nyaris menguras seluruh cadangan devisa Indonesia.
Secara resmi jumlah itu baru diumumkan agak terlambat. Pada
mulanya adalah keterangan pemerintah yang dibawakan oleh Menteri
Ekuin Widjojo Nitisastro di depan sidang pleno DPR pertengahan
Juni 1975. Menurut Prof. Widjojo, beban utang jangka pendek itu
mencapai US$ 850 juta. Delapan bulan kemudian Menkeu Ali
Wardhana meralatnya utang itu sudah bertambah menjadi US$ 1
milyar. Tapi para juruhitung pemerintah beberapa bulan setelah
itu datang lagi dengan angka baru. Sang utang sudah menggapal
US$ 1,3 milyar. Kalau mau ditarik terus, bisa saja utang jangka
pendek, yang secara jorjoran diberikan sejumlah bank-bank asing
itu, mencapai US$ 1,5 milyar. Persis menyamai cadangan devisa BI
waktu itu.
Sebagian besar dari utang jangka pendek yang umumnya sudah jatuh
waktu itu kemudian berhasil dilunasi oleh Bl. Untuk mengganjel
kekosongan cadangan devisa, Bl menambalnya dengan pinjaman
berjangka 5 tahun dengan bunga sekitar 8,25% setahun, dari
sekelompok bank di Eropa dan AS melalui konsorsium yang dipimpin
Morgan Guarantee Trust yang terkenal itu. Sebagian pinjaman
juga datang dari suatu konsorsium perbankan Jepang di bawah
pimpinan Bank of Tokyo.
TAPI tiba-tiba apa yang terjadi?ù Gubernur Bl Rachmat Saleh di
beritahu bahwa utang jangka pendek yang dibuat Pertamina sudah
demikian abnormal, sehingga mencapai US$ 1,9 milyar.
Bisa dimengerti kalau Menteri Pertambangan Dr. Moh. Sadli waktu
itu menjadi lemas. Akibat kekeliruan yang dibuat Pertamina
sungguh fatal rupanya. "Pertamina terlalu besar dalam
perekonomian negara. Kalau sesuatu terjadi dengan Pertamina,
maka pengaruhnya kepada sektor-sektor lain dari perekonomian
kita segera akan kita rasakan: pengaruh terhadap anggaran
belanja pemerintah, pengaruh kepada cadangan devisa dan dengan
demikia.n kepada kokohnya kurs rupiah, pengaruh kepada
batas-batas penyediaan kredit oleh Bank Sentral dan bank-bank
pemerintah, pengaruh kepada kesempatan kerja dan lain-lain
lagi," kata Sadli.
Akibat krisis Pertamina memang serupa dengan operasi penyehatan
suatu negeri yang habis perang. Selain berulang-ulang menyesali
timbulnya utang-utang besar itu, Presiden pun segera menurunkan
berbagai Keppres untuk ditangani sejumlah menteri. Terlalu
banyak untuk disebutkan satu demi satu masalah dan proyek apa
saja yang membuat Pertamina itu sampai terbenam dalam sumur
gelap itu. Beberapa di antaranya yang bisa disebutkan di sini:
Perkara Krakatau Steel: Inilah contoh proyek yang membuat
Pertamina terjerat dalam serangkaian utang jangka pendek. Proyek
warisan pemerintah Rusia dan Soekarno itu ketika diserahkan
kepada Pertamina, menurut rencana tak akan menelan lebih besar
dari US$ 1 milyar. Ini akan dibiayai separuh oleh Departemen
Perindustrian dan separuhnya oleh Pertamina. Proyek raksasa itu
dibagi dalam tiga tahapan, dimulai tahun 1973 dan diharapkan
selesai komplit tahun 1983. Ternyata di bawah Dir-Ut Marjoeni
Warganegara, PT Krakatau Steel itu banyak membangun halhal yang
tak punya hubungan dengan membuat besi baja.
Tiga kontraktor Jerman Barat yang dipasrahi membangun
bagian-bagian penting dari proyek itu, yaitu perusahaan
Klockner, Ferrostahl dan Siemens AG ternyata memompa pembiayaan
proyek itu hingga menggelembung jadi US$ 3,5 milyar. Sebagian
dari pembiayaan proyek berjangka panjang itu, seperti diakui
Ibnu Sutowo kepada TEMPO, berasal dari utang-utang jangka
pendek.
Ketika itu Ibnu Sutowo, yang menjabat Komisaris Utama PT
Krakatau Steel, optimistis Pertamina akan beroleh suatu pinjaman
jangka panjang selama 20 tahun, dengan bunga yang tergolong
"lunak". Jumlah seluruhnya yang dijanjikan melalui sebuah bank
di London itu berjumlah US$ 1,7 milyar. Jadi penggunaan utang
jangka pendek untuk proyek-proyek jangka panjang seperti
Krakatau Steel dan Pulau Batam itu, menurut Ibnu, hanya "untuk
bridging," menjembatani utang jangka panjang itu.
Tapi semua usaha itu menjadi berantakan. Janji utang yang US$
1,7 milyar itu tak kunjung datang. "Fatamorgana," kata Ibnu
Sutowo. Peristiwa KIakatau Steel itu memang merupakan suatu
pukulan buat Ibnu. Tapi yang juga menarik adalah soal tuduhan
korupsi yang baru kemudian muncul Kasus Haji Thahir.
Pertamina, yang oleh hakim ketua Pengadilan Tinggi Singapura
sudah diputuskan sebagai pihak penggugat, telah menyampaikan
suatu pernyataan gugatan (statement of claim) tertanggal 12 Mei
yang baru lalu. Di situ antara lain disebutkan, bahwa di samping
bekas dir-ut Pertamina, adalah Thahir yang dalam setiap soal
penting di Krakatau Steel bertindak sebagai perumus
kebijaksanaan yang utama (main policy maker).
KONTRAKTOR Jerman Klockner diduga telah memberikan "komisi"
atau "uang sogok" melalui Haji Thahir, dari bagian
proyeknya di PT Krakatau Steel yang meliputi DM 469juta (US$
269,2 juta) menurut nilai tukar belakangan ini.
Praktek semacam ini boleh dibilang sudah rutin. Apalagi
Krakatau Steel, yang menurut Menteri PAN Sumarlin sendiri, telah
menggelembungkan biaya-biaya itu jauh lebih besar dari nilai
sebenar -- nya. Sekalipun demikian dalam kasus
Thahir-Kartika itu, belum terbukti Klockner telah nain "suap".
Pihak Klockner tentu saja sudah membantah.
Tapi benarkah tak ada permainan kotor? Konon, Ibnu Sutowo
baru-baru ini mengakui bahwa dia mengetahui perihal deposito di
Bank Sumitomo itu.
Dan Ibnu, menurut sebuah sumber yang mengetahui di Singapura,
juga menyebut dua kontraktor Jerman lainnya ikut memberi
"komisi". Tak begitu jelas apakah pengakuan Ibnu Sutowo itu
dituangkan pula dalam suatu pernyataan tertulis di bawah sumpah
(affidavit). Sebab dalam affidavit yang dibuat Ibnu Sutowo untuk
Pengadilan Tinggi di Singapura, ia menyatakan tak tahu menahu
mengenai soal harta karun itu. "Andaikata sewaktu menjabat
dir-ut Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito itu, pasti
akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk Pertamina,"
demikian Sutowo.
Perkara Tanker: Jauh sebelum terkuaknya kasus Haji Thahir, bekas
dir-ut Pertamina juga pernah memberikan affidavit. Ketika itu
sedang gencar-gencarnya berlangsung "perang" antara Pemerintah
Indonesia -- di bawah pimpinan Menteri PAN Sumarlin dan Menteri
Perdagangan Radius Prawiro -- melawan pengusaha tanker Bruce
Rappaport. Pemerintah yang merasa dirugikan oleh persekongkolan
broker tanker internasional itu, menolak untuk membayar tagihan
yang mencapai milyaran dollar itu. Ini akibat Pertamina
menyewa-beli sejumlah 35 tanker dari Rappaport.
Dalam pernyataan tertulis di bawah sumpah, yang
ditandatanganinya 15 November 1976, Ibnu mengakui bahwa:
Ia telah menandatangani 1600 perjanjian utang berupa surat
promes (promissory notes) yang disodorkan Bruce Rappaport, tanpa
membacanya terlebih dulu.
Ia telah minta pinjaman US$ 2,5 juta dari Rappaport, yang ia
depositokan a/n rekening pribadinya dan belum pernah dibayar
kembali.
Dengan melawan ketentuan UU Pertamina, ia telah duduk dalam
dewan penasihat Inter-Maritime Bank di Jenewa, Swiss, yang
sebagian sahamnya milik Rappaport.
Affidavit itu adalah akibat desakan pemerintah dalam "perang
tanker" antara Rappaport yang menuntut uang dari Pertamina
--setelah Ibnu dibebastugaskan -- dengan pemerintah RI. Perang
itu begitu sengitnya hingga Rappaport, sahabat dan partner
bisnis Ibnu itu, dianggap "musuh RI".
Tapi akhirnya kompromi tercapai juga. Pembatalan kontrak-kontrak
sewabeli tanker-tanker samudra, yang memang tak menguntungkan
Indonesia bila diteruskan, diterima juga oleh Rappaport. Sampai
Maret 1980, dari ganti rugi kontrak sewa-beli tanker yang
berhasil ditekan hingga US$ 336 juta, pemerintah telah membayar
US$ 264 juta. Kini sisa utang terhadap Rappaport tinggal US$ 72
juta lagi.
Berkat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, utang Pertamina
saat ini tinggal US$ 1,7 milyar, dan US$ 1,5 milyar di antaranya
berupa utang dagang Pertamina. Dan sampai sekarang tak kurang
dari 758 kontrak Pertamina yang sudah berhasil dirundingkan
kembali. Tak ada yang menyangkal bahwa operasi penyehatan yang
dilakukan pemerintah, meskipun terasa sakit, toh efektif. Namun
banyak yang masih bertanya-tanya: Siapa yang sebenarnya paling
bersalah ?
Banyak telunjuk menuding ke arah Ibnu Sutowo, yang sebagai
Dir-Ut Pertamina waktu itu seolah-olah bisa membikin apa saja
dengan uang minyak. Seraya gemar menanam uang di berbagai bidang
di luar minyak, struktur organisasi Pertamina jadi memiliki
rentang kendali terlalu luas. Setelah Ibnu, lewat Keppres No.
44, organisasi Pertamina diubah sedemikian rupa sehingga lebih
sederhana strukturnya. Tadinya, sebelum ada perbaikan, setiap
Divisi, Dinas dan PU (pimpinan unit) berdiri sendiri-sendiri
--dan masing-masing punya hubungan langsun dengan Dir-Ut.
Kepala Divisi Pemeliharaan misalnya. yang waktu itu dipegang
oleh Kol. Haji Sjarnubi Said, bisa saja langsung berhubungan
dengan Dir-Ut. Begitu pula kepala divisi lain yang seluruhnya
berjumlah 9.
Kini jumlah divisi yang tadinya berkelompok dalam satu bagian,
dipisahkan sesuai dengan fungsinya. Maka setiap Direktorat hanya
membawahkan 3 divisi. Terlalu banyak untuk disebutkan satu demi
satu tentang perubahan organisasi dalam tubuh Pertamina itu.
Tapi bagaimana sebenarnya kedudukan Dewan Komisaris sendiri?
Sebagai lembaga yang berhak mengawasi Dir-Ut, dewan yang terdiri
dari sejumlah menteri penting itu waktu itu memang kurang
berfungsi. Terdiri antara lain dari Menteri Pertambangan,
Keuangan, Perindustrian, Menteri Ekuin, Dewan Komisaris kabarnya
baru satu kali berhasil rapat dengan Ibnu Sutowo.
Salahkah dewan? Itu pun sulit dikatakan. Sebab, setiap kali
diminta datang Dir-Ut Pertamina waktu itu tak mengubrisnya.
Salah satu alasan yang kuat, agaknya adalah ini: Dir-Ut
Pertamina --seperti juga Dir-Ut Garuda -- langsung diangkat oleh
Presiden, sehingga merasa tak perlu bertanggungjawab kepada
instansi lain kecuali Presiden. Apalagi Ibnu Sutowo dalam banyak
hal berbeda pendapat dengan para tehnokrat yang jadi Komisaris.
Bertolak Belakang
Terkenal suka bertindak cepat, figur seperti Ibnu Sutowo merasa
terlalu diikat kalau harus tunduk pada prosedur yang
berbelit-belit. Dalam suatu organisasi yang sederhana, cara
mengambil keputusan yang langsung begitu masih mudah dikontrol.
Buat mencegah salah urus yang berkepanjangan, suatu sistem yang
saling mengecek memang perlu ditegakkan.
Maka dibandingkan dengan dulu, yang terjadi sekarang nampaknya
bertolak belakang. Seorang yang lama bekerja di Pertamina, dan
kritis terhadap gaya manajemen Ibnu Sutowo, toh merasakan di
zaman Dir-Ut Piet Haryono banyak soal diputuskan "di luar
Pertamina". Salah satu contoh yang menonjol, barangkali adalah
rencana proyek hydrocracker di Dumai. Rencana proyek US$ 850
juta yang mulai dibicarakan sejak dua tahun lalu lebih banyak
diurus oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro
daripada oleh Dir-Ut Pertamina. Dan Pertamina, seperti kata
seorang di sana, dibatasi peranannya sebagai pelaksana.
Ini mungkin sistem yang baik agar Pertamina tak lagi lepas
kendali seperti dulu. Namun begitu, terlalu banyak tangan yang
ingin ikut mengatur, sebaliknya akan membuat setiap urusan
berjalan lamban. Sedang bisnis minyak, di mana pun, menghendaki
suatu tindakan yang serba cepat. Kesalahan Ibnu Sutowo
barangkali karena ia ingin terlalu cepat dan terlalu banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini