Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Balik Dollar Yang Gemerlapan

Utang pertamina kini telah berkurang, di duga terjadi permainan kotor (kasus h. thahir). tanker dan proyek krakatau steel menambah utang pertamina.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MISTERI harta karun H.A. Thahir minggu ini masuk sidang pleno DPR. Perkara bekas asisten umum direktur utama Pertamina bersama Ny. Kartika Ratna, istri muda almarhum ini7 31/ bulan yang lalu diungkapkan harian The Asian Wall Street Journal oleh korespondennya di Jakarta (lihat Media). Dan serta merta orang pun teringat akan riwayat hitam Pertamina. Kasus almarhum Haji Thahir, yang ternyata memiliki deposito bersama sebesar US$ 35 juta di Bank Sumitomo cabang. Singapura itu, memang suatu bagian dari seluruh krisis yang menimpa Pertamina, yang membuat Indonesia berutang US$ 10,5 milyar. Korupsi yang didakwakan pada Thahir bahkan perkara kecil, bila dibanding dengan riwayat Pertamina yang hampir bangkrut, ditindih utang semahameru. Krisis yang akhirnya mengakibatkan kejatuhan Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo ini mulai pecah di bulan Februari 1975, Ketika itu sebuah bank yang tak tergolong besar di Amerika, First Republic Bank of Dallas, mengumumkan bahwa Pertamina tak mampu memenuhi cicilan utangnya. Bagaikan petir yang menyambar jadi api, pengumuman dari bank di Dallas, negara bagian Texas itu pun merembet dengan cepatnya, memhuat sejumlah bank asing di AS, Eropa dan Jepang ribut berteriak utang. Ternyata semua itu antara lain bermula di bulan Maret 1972. Ketika itu tercapai perjanjian Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF): selama setahun diadakan suatu batas tertinggi bagi semua pinjaman luar negeri. Dan agaknya karena cemas, suatu pembatasan khusus dikenakan terhadap Pertamina yang suka berutang itu. Pertamina, demikian bunyi perjanjian itu, tak lagi diizinkan untuk membuat utang-utang berjangka menengah antara 1 sampai 15 tahun. Ibnu Sutowo sendiri menilai pembatasan yang dikenakan terhadap Pertamina itu sama dengan membatasi laju perusahaan raksasa yang sedang mekar di bawah kekuasaannya. "Ketika itu saya juga sudah mengajukan pada Presiden dan Dewan Komisaris bahwa ketentuan ini sama saja dengan melarang kita mencari kredit. Kita praktis sudah tak boleh melakukan investasi lagi," kata Ibnu Sutowo dalam sebuah wawancara khusus dengan TEMPO. "Justru kredit yang kita perlakukan, dan umumnya mudah didapat, berkisar antara 5 sampai 8 tahun." (TEMPO, 17 Januari 1976). Maka untuk melanjutkan proyek-proyeknya yang umumnya di luar kegiatan mencari minyak, Pertamina yang tersohor di luar negeri itu pun melancarkan gerakan membuat utang berjangka pendek. Utang itu, yang kurang dari setahun. Jangka pengembaliannya, dibebani dengan bunga yang amat tinggi, berkisar antara 15 sampai 20%. Bahkan ada juga y ang jatuh waktu 6 bulan, dengan beban bunga sekitar 30%. Betapa besar akibat utang jangka pendek itu semakin terungkap ketika Bank Indonesia mengambil oper urusan pembayaran kembali -- yang nyaris menguras seluruh cadangan devisa Indonesia. Secara resmi jumlah itu baru diumumkan agak terlambat. Pada mulanya adalah keterangan pemerintah yang dibawakan oleh Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro di depan sidang pleno DPR pertengahan Juni 1975. Menurut Prof. Widjojo, beban utang jangka pendek itu mencapai US$ 850 juta. Delapan bulan kemudian Menkeu Ali Wardhana meralatnya utang itu sudah bertambah menjadi US$ 1 milyar. Tapi para juruhitung pemerintah beberapa bulan setelah itu datang lagi dengan angka baru. Sang utang sudah menggapal US$ 1,3 milyar. Kalau mau ditarik terus, bisa saja utang jangka pendek, yang secara jorjoran diberikan sejumlah bank-bank asing itu, mencapai US$ 1,5 milyar. Persis menyamai cadangan devisa BI waktu itu. Sebagian besar dari utang jangka pendek yang umumnya sudah jatuh waktu itu kemudian berhasil dilunasi oleh Bl. Untuk mengganjel kekosongan cadangan devisa, Bl menambalnya dengan pinjaman berjangka 5 tahun dengan bunga sekitar 8,25% setahun, dari sekelompok bank di Eropa dan AS melalui konsorsium yang dipimpin Morgan Guarantee Trust yang terkenal itu. Sebagian pinjaman juga datang dari suatu konsorsium perbankan Jepang di bawah pimpinan Bank of Tokyo. TAPI tiba-tiba apa yang terjadi?ù Gubernur Bl Rachmat Saleh di beritahu bahwa utang jangka pendek yang dibuat Pertamina sudah demikian abnormal, sehingga mencapai US$ 1,9 milyar. Bisa dimengerti kalau Menteri Pertambangan Dr. Moh. Sadli waktu itu menjadi lemas. Akibat kekeliruan yang dibuat Pertamina sungguh fatal rupanya. "Pertamina terlalu besar dalam perekonomian negara. Kalau sesuatu terjadi dengan Pertamina, maka pengaruhnya kepada sektor-sektor lain dari perekonomian kita segera akan kita rasakan: pengaruh terhadap anggaran belanja pemerintah, pengaruh kepada cadangan devisa dan dengan demikia.n kepada kokohnya kurs rupiah, pengaruh kepada batas-batas penyediaan kredit oleh Bank Sentral dan bank-bank pemerintah, pengaruh kepada kesempatan kerja dan lain-lain lagi," kata Sadli. Akibat krisis Pertamina memang serupa dengan operasi penyehatan suatu negeri yang habis perang. Selain berulang-ulang menyesali timbulnya utang-utang besar itu, Presiden pun segera menurunkan berbagai Keppres untuk ditangani sejumlah menteri. Terlalu banyak untuk disebutkan satu demi satu masalah dan proyek apa saja yang membuat Pertamina itu sampai terbenam dalam sumur gelap itu. Beberapa di antaranya yang bisa disebutkan di sini: Perkara Krakatau Steel: Inilah contoh proyek yang membuat Pertamina terjerat dalam serangkaian utang jangka pendek. Proyek warisan pemerintah Rusia dan Soekarno itu ketika diserahkan kepada Pertamina, menurut rencana tak akan menelan lebih besar dari US$ 1 milyar. Ini akan dibiayai separuh oleh Departemen Perindustrian dan separuhnya oleh Pertamina. Proyek raksasa itu dibagi dalam tiga tahapan, dimulai tahun 1973 dan diharapkan selesai komplit tahun 1983. Ternyata di bawah Dir-Ut Marjoeni Warganegara, PT Krakatau Steel itu banyak membangun halhal yang tak punya hubungan dengan membuat besi baja. Tiga kontraktor Jerman Barat yang dipasrahi membangun bagian-bagian penting dari proyek itu, yaitu perusahaan Klockner, Ferrostahl dan Siemens AG ternyata memompa pembiayaan proyek itu hingga menggelembung jadi US$ 3,5 milyar. Sebagian dari pembiayaan proyek berjangka panjang itu, seperti diakui Ibnu Sutowo kepada TEMPO, berasal dari utang-utang jangka pendek. Ketika itu Ibnu Sutowo, yang menjabat Komisaris Utama PT Krakatau Steel, optimistis Pertamina akan beroleh suatu pinjaman jangka panjang selama 20 tahun, dengan bunga yang tergolong "lunak". Jumlah seluruhnya yang dijanjikan melalui sebuah bank di London itu berjumlah US$ 1,7 milyar. Jadi penggunaan utang jangka pendek untuk proyek-proyek jangka panjang seperti Krakatau Steel dan Pulau Batam itu, menurut Ibnu, hanya "untuk bridging," menjembatani utang jangka panjang itu. Tapi semua usaha itu menjadi berantakan. Janji utang yang US$ 1,7 milyar itu tak kunjung datang. "Fatamorgana," kata Ibnu Sutowo. Peristiwa KIakatau Steel itu memang merupakan suatu pukulan buat Ibnu. Tapi yang juga menarik adalah soal tuduhan korupsi yang baru kemudian muncul Kasus Haji Thahir. Pertamina, yang oleh hakim ketua Pengadilan Tinggi Singapura sudah diputuskan sebagai pihak penggugat, telah menyampaikan suatu pernyataan gugatan (statement of claim) tertanggal 12 Mei yang baru lalu. Di situ antara lain disebutkan, bahwa di samping bekas dir-ut Pertamina, adalah Thahir yang dalam setiap soal penting di Krakatau Steel bertindak sebagai perumus kebijaksanaan yang utama (main policy maker). KONTRAKTOR Jerman Klockner diduga telah memberikan "komisi" atau "uang sogok" melalui Haji Thahir, dari bagian proyeknya di PT Krakatau Steel yang meliputi DM 469juta (US$ 269,2 juta) menurut nilai tukar belakangan ini. Praktek semacam ini boleh dibilang sudah rutin. Apalagi Krakatau Steel, yang menurut Menteri PAN Sumarlin sendiri, telah menggelembungkan biaya-biaya itu jauh lebih besar dari nilai sebenar -- nya. Sekalipun demikian dalam kasus Thahir-Kartika itu, belum terbukti Klockner telah nain "suap". Pihak Klockner tentu saja sudah membantah. Tapi benarkah tak ada permainan kotor? Konon, Ibnu Sutowo baru-baru ini mengakui bahwa dia mengetahui perihal deposito di Bank Sumitomo itu. Dan Ibnu, menurut sebuah sumber yang mengetahui di Singapura, juga menyebut dua kontraktor Jerman lainnya ikut memberi "komisi". Tak begitu jelas apakah pengakuan Ibnu Sutowo itu dituangkan pula dalam suatu pernyataan tertulis di bawah sumpah (affidavit). Sebab dalam affidavit yang dibuat Ibnu Sutowo untuk Pengadilan Tinggi di Singapura, ia menyatakan tak tahu menahu mengenai soal harta karun itu. "Andaikata sewaktu menjabat dir-ut Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito itu, pasti akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk Pertamina," demikian Sutowo. Perkara Tanker: Jauh sebelum terkuaknya kasus Haji Thahir, bekas dir-ut Pertamina juga pernah memberikan affidavit. Ketika itu sedang gencar-gencarnya berlangsung "perang" antara Pemerintah Indonesia -- di bawah pimpinan Menteri PAN Sumarlin dan Menteri Perdagangan Radius Prawiro -- melawan pengusaha tanker Bruce Rappaport. Pemerintah yang merasa dirugikan oleh persekongkolan broker tanker internasional itu, menolak untuk membayar tagihan yang mencapai milyaran dollar itu. Ini akibat Pertamina menyewa-beli sejumlah 35 tanker dari Rappaport. Dalam pernyataan tertulis di bawah sumpah, yang ditandatanganinya 15 November 1976, Ibnu mengakui bahwa:  Ia telah menandatangani 1600 perjanjian utang berupa surat promes (promissory notes) yang disodorkan Bruce Rappaport, tanpa membacanya terlebih dulu.  Ia telah minta pinjaman US$ 2,5 juta dari Rappaport, yang ia depositokan a/n rekening pribadinya dan belum pernah dibayar kembali.  Dengan melawan ketentuan UU Pertamina, ia telah duduk dalam dewan penasihat Inter-Maritime Bank di Jenewa, Swiss, yang sebagian sahamnya milik Rappaport. Affidavit itu adalah akibat desakan pemerintah dalam "perang tanker" antara Rappaport yang menuntut uang dari Pertamina --setelah Ibnu dibebastugaskan -- dengan pemerintah RI. Perang itu begitu sengitnya hingga Rappaport, sahabat dan partner bisnis Ibnu itu, dianggap "musuh RI". Tapi akhirnya kompromi tercapai juga. Pembatalan kontrak-kontrak sewabeli tanker-tanker samudra, yang memang tak menguntungkan Indonesia bila diteruskan, diterima juga oleh Rappaport. Sampai Maret 1980, dari ganti rugi kontrak sewa-beli tanker yang berhasil ditekan hingga US$ 336 juta, pemerintah telah membayar US$ 264 juta. Kini sisa utang terhadap Rappaport tinggal US$ 72 juta lagi. Berkat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, utang Pertamina saat ini tinggal US$ 1,7 milyar, dan US$ 1,5 milyar di antaranya berupa utang dagang Pertamina. Dan sampai sekarang tak kurang dari 758 kontrak Pertamina yang sudah berhasil dirundingkan kembali. Tak ada yang menyangkal bahwa operasi penyehatan yang dilakukan pemerintah, meskipun terasa sakit, toh efektif. Namun banyak yang masih bertanya-tanya: Siapa yang sebenarnya paling bersalah ? Banyak telunjuk menuding ke arah Ibnu Sutowo, yang sebagai Dir-Ut Pertamina waktu itu seolah-olah bisa membikin apa saja dengan uang minyak. Seraya gemar menanam uang di berbagai bidang di luar minyak, struktur organisasi Pertamina jadi memiliki rentang kendali terlalu luas. Setelah Ibnu, lewat Keppres No. 44, organisasi Pertamina diubah sedemikian rupa sehingga lebih sederhana strukturnya. Tadinya, sebelum ada perbaikan, setiap Divisi, Dinas dan PU (pimpinan unit) berdiri sendiri-sendiri --dan masing-masing punya hubungan langsun dengan Dir-Ut. Kepala Divisi Pemeliharaan misalnya. yang waktu itu dipegang oleh Kol. Haji Sjarnubi Said, bisa saja langsung berhubungan dengan Dir-Ut. Begitu pula kepala divisi lain yang seluruhnya berjumlah 9. Kini jumlah divisi yang tadinya berkelompok dalam satu bagian, dipisahkan sesuai dengan fungsinya. Maka setiap Direktorat hanya membawahkan 3 divisi. Terlalu banyak untuk disebutkan satu demi satu tentang perubahan organisasi dalam tubuh Pertamina itu. Tapi bagaimana sebenarnya kedudukan Dewan Komisaris sendiri? Sebagai lembaga yang berhak mengawasi Dir-Ut, dewan yang terdiri dari sejumlah menteri penting itu waktu itu memang kurang berfungsi. Terdiri antara lain dari Menteri Pertambangan, Keuangan, Perindustrian, Menteri Ekuin, Dewan Komisaris kabarnya baru satu kali berhasil rapat dengan Ibnu Sutowo. Salahkah dewan? Itu pun sulit dikatakan. Sebab, setiap kali diminta datang Dir-Ut Pertamina waktu itu tak mengubrisnya. Salah satu alasan yang kuat, agaknya adalah ini: Dir-Ut Pertamina --seperti juga Dir-Ut Garuda -- langsung diangkat oleh Presiden, sehingga merasa tak perlu bertanggungjawab kepada instansi lain kecuali Presiden. Apalagi Ibnu Sutowo dalam banyak hal berbeda pendapat dengan para tehnokrat yang jadi Komisaris. Bertolak Belakang Terkenal suka bertindak cepat, figur seperti Ibnu Sutowo merasa terlalu diikat kalau harus tunduk pada prosedur yang berbelit-belit. Dalam suatu organisasi yang sederhana, cara mengambil keputusan yang langsung begitu masih mudah dikontrol. Buat mencegah salah urus yang berkepanjangan, suatu sistem yang saling mengecek memang perlu ditegakkan. Maka dibandingkan dengan dulu, yang terjadi sekarang nampaknya bertolak belakang. Seorang yang lama bekerja di Pertamina, dan kritis terhadap gaya manajemen Ibnu Sutowo, toh merasakan di zaman Dir-Ut Piet Haryono banyak soal diputuskan "di luar Pertamina". Salah satu contoh yang menonjol, barangkali adalah rencana proyek hydrocracker di Dumai. Rencana proyek US$ 850 juta yang mulai dibicarakan sejak dua tahun lalu lebih banyak diurus oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro daripada oleh Dir-Ut Pertamina. Dan Pertamina, seperti kata seorang di sana, dibatasi peranannya sebagai pelaksana. Ini mungkin sistem yang baik agar Pertamina tak lagi lepas kendali seperti dulu. Namun begitu, terlalu banyak tangan yang ingin ikut mengatur, sebaliknya akan membuat setiap urusan berjalan lamban. Sedang bisnis minyak, di mana pun, menghendaki suatu tindakan yang serba cepat. Kesalahan Ibnu Sutowo barangkali karena ia ingin terlalu cepat dan terlalu banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus