Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di rantau dikejar gaddafi

Rencana pembunuhan terhadap kaum oposisi/golongan anti gaddafi di luar negeri, sedang di dalam negeri sendiri kaum oposisi makin ditindas. (ln)

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOLONEL Muammar Gaddafi sungguh pemberang. Tidak bisa lagi ia mentolerir kecaman kaum oposisi yang secara terus menerus dari luar negeri. Ia telah memperingatkan mereka agar kembali ke Libya atau menghadapi kematian di perantauan. Suatu pilihan yang mungkin sama sulitnya buat mereka. Di Libya sendiri kaum oposisi semakin ditindas. Dalam beberapa bulan terakhir ini pemerintah Libya sudah menahan sekitar 2.000 orang. Termasuk para perwira, pejabat penting dan kalangan bisnis. Gaddafi ternyata tidak main-main dengan ancamannya itu. Selama dua bulan terakhir ini 6 orang Libya yang berdiam di London, Roma dan Bonn tewas akibat pembunuhan berencana oleh agen Gaddafi. Di London, seorang wartawan Libya yang selalu menyerang Gaddafi, Mohammad Mustafa Ramadan, dlbunuh pertengahan April. Kemudian tewas pula seorang pengacara Abu Salem Nafa, yang selama ini dikenal dekat dengan peabat Libya. Menyebar Pamflet Tahun lalu, Nata kembali ke Libya untuk menghadiri perkawinan sepupu Gaddafi, Sayed Gaddaf Addam yang juga dikenal sebagai kepala Intelijen Libya. Rupanya Nafa memainkan peran dua muka. Secara diam-diam ia membantu dana bagi penerbitan kaum oposisi. Ia juga menjalin hubungan baik dengan kelompok Mayor Omar Meheishi yang melakukan kegiatan anti-Gaddafi di Mesir. Korban pembunuhan lainnya adalah Mohammad Salem Retani. Pengusaha Libya ini menetap di Roma setelah perusahaannya diambilalih pemerintah. Tak lama setelah Retani terbunuh akhir Maret, direktur perusahaan penerbangan Libya, Arab Airlines di Roma diculik. Sebulan kemudian Aref Abdul Jalil, seorang pengusaha angkutan, ditembak mati seketika. Pembunuhnya, yang kemudian ditangkap polisi Roma, menuduh Jalil 'mengkhianati Libya'. Di Bonn, seorang pemuda Libya juga tangkap setelah menembak orang sebangsanya pekan lalu. Polisi belum bersedia menyebut nama korban dan pembunuhnya. Si pembunuh mengaku alasan pembunuhan itu karena pinjaman yang belum dibayar. Namun polisi tetap curiga bahwa aksi itu ada hubungannya dengan kampanye pembunuhan terhadap lawan politik Gaddafi. Di beberapa negara Eropa Barat dan AS polisi terpaksa terus disiagakan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pembunuhan baru. Soalnya sejak April suatu kelompok mahasiswa Libya --pendukung Gaddafi -- yang berdiam di AS menyebarkan pamflet yang berisikan anjuran untuk membunuh semua kaum oposisi yang berdiam di luar negeri. Dan sebuah koran berbahasa Arab yang terbit di London awal Mei membocorkan daftar nama orang yang akan dibunuh Mengutip sumber intelijen Libya, koran itu juga menyebut nama sekitar 20 orang Libya yang berdiam di AS sebagai sasaran pembunuhan. Aksi di perantauan ini tidak bisa dilepaskan dengan keresahan yang semakin meluas di dalam negeri Libya sendiri. Frustrasi terhadap rezim Gaddafi terutama menonjol sekali di kalangan klas menengah dan intelektual. Dan belakangan ini perwira militer dan kaum teknokrat yang selama ini memegang kendali dalam bidang perminyakan juga gelisah. Gaddafi melakukan penangkapan secara besar-besaran dengan tuduhan korupsi dan penyuapan. Namun sumber di Tripoli melihat itu sekedar alasan saja untuk membungkam lawan politiknya. Keresahan, menurut seorang pengamat, bersumber pada kegagalan rezim Gaddafi dalam mengatasi masalah politik dan ekonomi. Sejak nasionalisasi perusahaan swasta, komite rakyat memegang kendali perekonomian negara. Komite ini gagal untuk memperlancar masuknya barang kebutuhan pokok, termasuk makanan. Sementara pemerintahan Gaddafi lebih mengutamakan pembelian senjata dan peralatan militer lainnya, distribusi pangan tersendat. Mungkin untuk mcngatasi semua ini, Gaddafi bersikap keras terhadap lawan politiknya. Januari lalu, ia memberhentikan 5 menteri, termasuk Menteri Minyak Ezzadin Mabrouk. Akibat tindakan Gaddafi di perantauan, hubungan Libya dengan Inggris dan Amerika Serikat tampak semakin memburuk. Terutama sejak AS mengusir 4 diplomat Libya karena melakukan intimidasi terhadap orang Libya yang berdiam di AS. Sementara Inggris juga mengusir 4 diplomat Libya. Bahkan seorang pejabat Inggris mengatakan bahwa pemerintahnya sedang mempertimbangkan kemungkinan pemutusan hubungan diplomatik dengan Libya. Tapi AS tampaknya lebih berhati-hati, karena ada 2.000 warga AS yang bekerja di Libya dan Libya mensuplai 10% dari semua keperluan impor minyak AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus