KOLONEL Muammar Gaddafi sungguh pemberang. Tidak bisa lagi ia
mentolerir kecaman kaum oposisi yang secara terus menerus dari
luar negeri. Ia telah memperingatkan mereka agar kembali ke
Libya atau menghadapi kematian di perantauan. Suatu pilihan yang
mungkin sama sulitnya buat mereka.
Di Libya sendiri kaum oposisi semakin ditindas. Dalam beberapa
bulan terakhir ini pemerintah Libya sudah menahan sekitar 2.000
orang. Termasuk para perwira, pejabat penting dan kalangan
bisnis.
Gaddafi ternyata tidak main-main dengan ancamannya itu. Selama
dua bulan terakhir ini 6 orang Libya yang berdiam di London,
Roma dan Bonn tewas akibat pembunuhan berencana oleh agen
Gaddafi. Di London, seorang wartawan Libya yang selalu menyerang
Gaddafi, Mohammad Mustafa Ramadan, dlbunuh pertengahan April.
Kemudian tewas pula seorang pengacara Abu Salem Nafa, yang
selama ini dikenal dekat dengan peabat Libya.
Menyebar Pamflet
Tahun lalu, Nata kembali ke Libya untuk menghadiri perkawinan
sepupu Gaddafi, Sayed Gaddaf Addam yang juga dikenal sebagai
kepala Intelijen Libya. Rupanya Nafa memainkan peran dua muka.
Secara diam-diam ia membantu dana bagi penerbitan kaum oposisi.
Ia juga menjalin hubungan baik dengan kelompok Mayor Omar
Meheishi yang melakukan kegiatan anti-Gaddafi di Mesir.
Korban pembunuhan lainnya adalah Mohammad Salem Retani.
Pengusaha Libya ini menetap di Roma setelah perusahaannya
diambilalih pemerintah. Tak lama setelah Retani terbunuh akhir
Maret, direktur perusahaan penerbangan Libya, Arab Airlines di
Roma diculik. Sebulan kemudian Aref Abdul Jalil, seorang
pengusaha angkutan, ditembak mati seketika. Pembunuhnya, yang
kemudian ditangkap polisi Roma, menuduh Jalil 'mengkhianati
Libya'.
Di Bonn, seorang pemuda Libya juga tangkap setelah menembak
orang sebangsanya pekan lalu. Polisi belum bersedia menyebut
nama korban dan pembunuhnya. Si pembunuh mengaku alasan
pembunuhan itu karena pinjaman yang belum dibayar. Namun polisi
tetap curiga bahwa aksi itu ada hubungannya dengan kampanye
pembunuhan terhadap lawan politik Gaddafi.
Di beberapa negara Eropa Barat dan AS polisi terpaksa terus
disiagakan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pembunuhan
baru. Soalnya sejak April suatu kelompok mahasiswa Libya
--pendukung Gaddafi -- yang berdiam di AS menyebarkan pamflet
yang berisikan anjuran untuk membunuh semua kaum oposisi yang
berdiam di luar negeri. Dan sebuah koran berbahasa Arab yang
terbit di London awal Mei membocorkan daftar nama orang yang
akan dibunuh Mengutip sumber intelijen Libya, koran itu juga
menyebut nama sekitar 20 orang Libya yang berdiam di AS sebagai
sasaran pembunuhan.
Aksi di perantauan ini tidak bisa dilepaskan dengan keresahan
yang semakin meluas di dalam negeri Libya sendiri. Frustrasi
terhadap rezim Gaddafi terutama menonjol sekali di kalangan klas
menengah dan intelektual. Dan belakangan ini perwira militer dan
kaum teknokrat yang selama ini memegang kendali dalam bidang
perminyakan juga gelisah.
Gaddafi melakukan penangkapan secara besar-besaran dengan
tuduhan korupsi dan penyuapan. Namun sumber di Tripoli melihat
itu sekedar alasan saja untuk membungkam lawan politiknya.
Keresahan, menurut seorang pengamat, bersumber pada kegagalan
rezim Gaddafi dalam mengatasi masalah politik dan ekonomi.
Sejak nasionalisasi perusahaan swasta, komite rakyat memegang
kendali perekonomian negara. Komite ini gagal untuk memperlancar
masuknya barang kebutuhan pokok, termasuk makanan. Sementara
pemerintahan Gaddafi lebih mengutamakan pembelian senjata dan
peralatan militer lainnya, distribusi pangan tersendat.
Mungkin untuk mcngatasi semua ini, Gaddafi bersikap keras
terhadap lawan politiknya. Januari lalu, ia memberhentikan 5
menteri, termasuk Menteri Minyak Ezzadin Mabrouk.
Akibat tindakan Gaddafi di perantauan, hubungan Libya dengan
Inggris dan Amerika Serikat tampak semakin memburuk. Terutama
sejak AS mengusir 4 diplomat Libya karena melakukan intimidasi
terhadap orang Libya yang berdiam di AS. Sementara Inggris juga
mengusir 4 diplomat Libya.
Bahkan seorang pejabat Inggris mengatakan bahwa pemerintahnya
sedang mempertimbangkan kemungkinan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Libya. Tapi AS tampaknya lebih berhati-hati,
karena ada 2.000 warga AS yang bekerja di Libya dan Libya
mensuplai 10% dari semua keperluan impor minyak AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini