FERDINAND E. Marcos masih bisa memperpanjang kediamannya di
Istana Malacanang. Lebih dari 88% pemilih masih menghendakinya
memimpin Filipina. Minimal untuk jangka enam tahun. Ia
mengalahkan 11 kandidat presiden lainnya.
Kaum oposisi meragukan kemenang an Marcos yang luar biasa ini.
"Marcos telah berlaku curang," kata calon Partai Nacionalista
Alejo Santos. Pengikutnya konon telah menyita sejumlah kotak
suara yang diisi kartu pemilihan palsu untuk memenangkan Marcos.
Kecurangan itu, menurut Santos, terutama diketemukan di Provinsi
Bulacan. Ia akan mengajukan protes kepada panitia pemilihan.
Tapi tuduhan seperti itu diduga akan tenggelam. Sedang Marcos
tetap direncanakan akan dilantik lagi dan memperbaharui
sumpahnya sebagai presiden akhir Juni ini.
Marcos, 63 tahun, menghuni Istana Malacanang sejak tahun 1965.
Ia menggantikan Diosdado Macapagal -- tokoh yang mendukung
gagasan Maphilindo (penyatuan Malaya, Filipina, dan Indonesia)
dari almarhum Presiden Soekarno. Tahun 1969, Marcos kembali
berhasil memperpanjang mandat kepresidenan. Waktu itu pemilihan
presiden di Filipina dilakukan empat tahun sekali - sama seperti
di Amerika Serikat -- dan warganegara boleh dipilih jadi
presiden maksimum dua kali saja.
Menjelang akhir masa jabatannya, Marcos mengumumkan berlakunya
Undang-undang keadaan darurat di Filipina. Sehingga situasi dan
kondisi memungkinkannya tetap bertahan di tampuk pemerintahan.
UU keadaan darurat itu baru dicabut Marcos sembilan tahun
kemudian, Januari lalu. Dan April lalu Marcos melakukan
plebisit. Rakyat ternyata merestui jabatan presiden selama enam
tahun tanpa ada pembatasan pemilihan ulang. Maka pekan lalu
berlangsung pemilihan presiden "gaya baru" Filipina.
Tak ada kandidat yang berbobot mengimbangi Marcos. Dari 11
penantang, selain Santos, hanya pengacara Bartolome C.
Cabangbang yang dapat dukungan lumayan. Cabangbang tampil dengan
tema kampanye: menjadikan Filipina sebagai negara bagian ke- 51
AS. Ia mengumpulkan 4% suara yang masuk. Santos juga meraih
sekitar itu.
Bekas Senator Benigno Aquino, musuh politik Marcos yang
bertahun-tahun mendekam di penjara, semula hendak ikut pemilihan
presiden 1981. Ternyata kemudian ia menolak karena tak ada
jaminan keamanan dari Marcos. "Jika Aquino tampil, hasil
pemilihan pasti akan lain," kata juru bicara kelompok oposisi.
Aquino tinggal di AS sejak berobat ke sana di awal 1980.
Aksi boikot pemilihan presiden terdengar santer. Ketua Persatuan
Oposisi (Unido) Gerardo Roxas, misalnya, menghimbau rakyat untuk
bergabung dalam barisan pemboikot. Bahkan Kardinal Jaime Sin
seolah ikut menyerukannya. Dalam satu iklan setengah halaman
sebuah koran lokal, terbitan 15 Juni, kardinal itu yang dianggap
pemimpin spiritual umat Katolik Filipina menyatakan rakyat bebas
menggunakan hak pilih secara sadar atau sama sekali tidak
memilih.
Unido semula menduga sekitar 10 juta pemilih tidak akan
menggunakan hak mereka. Perhitungan itu ternyata meleset.
Menurut panitia pemilihan, hampir semua yang berhak memilih
mempergunakan haknya. Hampir 26 juta pemilih terdaftar dari 46
juta penduduk Filipina.
Di Filipina warganegara yang memboikot pemilihan umum dapat
dikenakan hukuman penjara. Tapi Unido menuduh pengikut Marcos,
tergabung dalam Gerakan Masyarakat Baru, melakukan teror dan
intimidasi, supaya orang tetap ramai pergi ke kotak suara.
Tuduhan ini dibantah Marcos.
Menjelang Hari-H (16 Juni) banyak jatuh korban. Di Camangbugan,
230 km sebelah tenggara Manila, dilaporkan empat orang tewas dan
delapan lainnya luka-luka ketika seorang tak dikenal menembaki
4.000 demonstran yang sedang mengadakan pawai boikot. Seusai
pemilihan, diketahui korban . "pemilihan presiden" seluruhnya
berjumlah 43 orang sipil dan militer.
Marcos memberikan hak suaranya di Batac, daerah asalnya, yang
terletak di Filipina tenggara. Selepas pemilihan "di Filipina
hanya ada dua pilihan: melakukan pendekatan secara lembut atau
dengan kekerasan," katanya di sana. "Saya bermaksud melakukannya
dengan kelembutan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini