KUNJUNGAN negarawan asing ke Beijing biasanya mendapat
pemberitaan halaman depan di media massa RRC. Kebiasaan itu
ternyata tak berlaku khusus untuk Menlu Alexander Haig. Harian
Rakyat, koran resmi Partai Komunis Cina, misalnya, memberitakan
kunjungan Haig di halaman empat. Sedang Harian Buruh dan Harian
Guangming -jurnal kaum intelektual -- hanya memuat beberapa
alinea di halaman tiga.
Sambutan dingin terhadap Menlu AS itu memang sudah diduga.
Beberapa hari sebelum Haig tiba di Beijing media massa sudah
memperingatkan bahwa Cina tak menyukai penjualan senjata Amerika
ke Taiwan. Beijing merisaukan soal penjualan senjata ini sejak
Ronald Reagan menempati Gedung Putih. Di masa kampanye pemilihan
presiden, Reagan berjanji akan tetap membantu Taiwan sebagai
sekutu lama.
Menurut pejabat Cina, penjualan senjata ke Taiwan itu suatu
pelanggaran terhadap kedaulatan RRC. Dan sekaligus memperkuat
pemerintah Taiwan untuk melawan usaha RRC menyatukan kembali
secara damai pulau itu dengan daratan Cina.
Namun selama pembicaraan Haig dengan Menlu Huang Hua soal Taiwan
rupanya tidak disinggung. Menurut seorang pejabat AS, fokus
pembicaraan kedua menlu itu tertuju pada masalah ekspansi
Soviet. Ini sejalan dengan politik Washington kini yang ingin
mendorong Cina lebih bersikap anti-Soviet, suatu tekanan AS
secara tak langsung terhadap Uni Soviet dalam rangka strategi
dunianya.
Tapi pada jamuan makan perpisahan dengan Haig, Menlu Huang Hua
merasa perlu mempertegas sikap Beijing terhadap perjanjian 1979
mengenai normalisasy hubungan Cina-Amerika. Perjanjian itu,
katanya, perlu dipelihara dengan cermat. "Kita juga harus
membuktikan dengan tindakan kita bahwa ia tahan uji. Di sini
terbayang Cina dan Amerika masih berselisih. Walaupun Taiwan tak
disebut Menlu Huang Hua dalam jamuan itu, adalah masalah Taiwan
yang kini terutama mengganggu hubungan bilateral Cina-Amerika.
Haig berkunjung ke Beijing selama 3 hari pekan lalu justru untuk
memperbaiki hubungan Washington-Beijing yang agak terganggu
sejak kampanye Reagan. Sebagai usaha melunakkan hati mereka yang
dikunjunginya, pada hari terakhir Haig mengumumkan bahwa AS akan
mensuplai senjata kepada Cina.
Berita ini memang menyenangkan di Beijing. Karena selama ini di
AS berlaku peraturan yang melarang penjualan senjata kepada
negara musuh. Dan Cina tergolong negara musuh sejak berlakunya
peraturan itu tahun '60-an, terutama ditujukan untuk blok
komunis. Presiden Reagan konon mencabut larangan itu untuk Cina
beberapa saat sebelum Haig meninggalkan Washington.
Namun prosedur penjualan masih tetap rumit. Meskipun pembatasan
itu sudah dicabut, setiap permohonan pembelian senjata harus
mendapat persetujuan Kongres AS. Dan pemerintah AS perlu
berkonsultasi dengan negara sekutunya di Eropa Barat.
Menurut Haig, dalam waktu dekat ini suatu misi pembelian senjata
yang dipimpin Liu Huaqing, Wakil Kepala Staf Umum Tentara Cina,
akan berkunjung ke Washington. Maka aliansi Cina dengan AS dalam
menghadapi Uni Soviet akan lebih nyata.
Soal senjata itu ternyata belum membuat tuan rumah lebih ramah
kepada tamunya. Persoalan ialah Cina sendiri belum tentu mampu
membeli kontan. Dengan keadaan ekonominya yang tak begitu
menggembirakan, kemampuan Cina membeli peralatan militer
mutakhir akan terbatas sekali. Sedang AS belum diketahui
menjanjikan bantuan militer, ataupun kredit pembelian senjata,
untuk Cina.
Secara tak diduga sebelum Haig meninggalkan Beijing, Presiden
Reagan di Washington diberitakan mengungkapkan lagi perasaan
persahabatan AS terhadap sekutu lama, Taiwan. Pernyataan serupa
ini tentu saja membuat Cina jengkel. Dan Menlu AS itu akhirnya
meninggalkan Beijing pekan lalu hanya diantar pejabat menengah.
Menlu Huang Hua rupanya tak bersedia hadir di lapangan udara
Beijing untuk keberangkatan Haig.
Kejengkelannya tak hanya sampai di situ. Cina mulai menggunakan
'kartu Soviet'. Harian Rakyat dalam suatu artikel yang cukup
panjang menghimbau Uni Soviet agar membuka kembali perundingan
untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Ini pertama kali dalam
2 tahun terakhir himbauan serupa itu datang dari Cina.
Kalangan diplomat Barat di Beijing berpendapat artikel Harian
Rakyat itu sebenarnya ditujukan kepada Washington -- suatu pesan
bahwa Cina pun bisa memainkan 'kartu Soviet', dan sekaligus
bersifat penekanan terhadap AS agar tidak menjual senjata ke
Taiwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini