MALAM baru turun ketika huru-hara mengguncang penjara Oakdale, Louisiana, AS, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar 900 narapidana asal Kuba, dengan senjata primitif -- pentungan, belati, dan kapak -- berhasil menguasai penjara yang isinya lebih dari seribu orang itu. Sebanyak 28 staf penjara disandera, seorang napi tewas tertembak, 21 napi dan penjaga penjara cedera berat. Dua hari kemudian, aksi serupa berulang di penjara Atlanta, Georgia, yang terpisah sejauh 800 km. Bahkan lebih gawat. Bukan hanya karena jumlah napi dan sandera lebih besar (1.300 napi dan 98 sandera), tapi juga karena napi di Atlanta rata-rata tergolong kelas kakap, dan banyak pula yang sakit jiwa. Hingga tulisan ini dibuat, napi asal Kuba itu masih merajalela. Suasana di sekitar dua penjara bagaikan pasar malam. Selain sesak oleh petugas keamanan, puluhan kamera dan kru TV, sanak famili sandera dan napi ikut berjejal di gerbang penjara. Para napi segera menggunakan kesempatan itu: menyebarkan penolakan deportasi ke Kuba. Sejumlah spanduk bermunculan, di antaranya berbunyi, "Mr. Reagan, jika Anda menolak hak bebas kami, samalah artinya Anda membunuh kami." Aksi para napi yang memilih "hidup bebas" di bui daripada balik ke "neraka" Kuba merupakan reaksi atas perundingan diam-diam Washington-Havana belum lama ini. Tercapai kesepakatan: Fidel Castro bersedia menerima kembali warganya yang "tak diinginkan AS". Dan ini diumumkan tepat sehari sebelum huru-hara di Oakdale. Pemerintah AS memang sudah lama dipusingkan soal pengungsi asal Kuba. Bermula dari keputusan Fidel Castro, yang pada tahun 1980 mengizinkan warganya yang rewel agar meninggalkan Kuba lewat pelabuhan Mariel. Ketika itu, langsung para warga AS asal Kuba yang tinggal di Miami, Florida -- di antaranya adik kandung Fidel Castro -- mengirim kapal dan perahu bermotor, menjemput para pengungsi. Tapi Washington tidak siap menampung 125.000 imigran, apalagi di antaranya ada pasien RS jiwa, yang sengaja "dikirim" Castro. Pemimpin Kuba ini memang sengaja mempermalukan Washington, sekalian membebaskan diri dari urusan "warga yang tersisih" itu. Sesampai di AS, para napi mengulang profesi lamanya. Hingga tahun 1984, Washington mencatat sekitar 2.746 orang Mariellos -- sebutan bagi pengungsi Kuba yang tiba dari pelabuhan Mariel -- yang "tak layak menjadi warga AS". Merekalah sebagian besar yang kini beraksi di Oakdale dan Atlanta. Pada Desember 1984, atas desakan AS, Castro setuju menerima kembali para napi dan pasien sakit jiwa Mariellos. Tapi perjanjian ini dibatalkan sepihak oleh Havana pada tahun 1985, sebagai protes atas dibukanya radio "Marti", siaran propaganda AS yang ditujukan ke warga Kuba. Padahal, baru 212 orang yang waktu itu dideportasikan. Kini perjanjian itu dihidupkan lagi. Mariellos yang napi dan sakit jiwa akan dipulangkan, dan sebagai imbalan, AS bersedia menerima 20.000 imigran Kuba per tahun. Perjanjian inilah yang membuat napi mengamuk di penjara. Sejauh ini pemerintah AS bisa menahan diri. Kedua penjara tidak diserbu. Jubir Gedung Putih Marlin Fitzwater menyatakan, Presiden Reagan prihatin dan menganggap negosiasi merupakan jalan terbaik. Namun, hingga kini negosiasi berjalan seret, karena, kata juru damai dari pemerintah AS "Kami dibingungkan oleh sekian banyak pembicara dengan setumpuk tuntutan yang berbeda." Jumat silam, pihak keamanan menghentikan aliran air dan tak lagi memasok makanan ke kedua penjara. Tindakan ini bertujuan agar para napi cepat menyerah. Hasilnya: 4 di antara para sandera di Atlanta dibebaskan para napi. Sedang di Oakdale, semua sandera telah dibebaskan. F.S., kantor-kantor nerita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini