Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Ratu Mangkat

Pangeran Charles diangkat sebagai Raja Inggris menggantikan Ratu Elizabeth II.  Persemakmuran dan monarki mulai digugat.

10 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Charles diangkat sebagai Raja Inggris menggantikan Ratu Elizabeth II.

  • Charles menghadapi banyak tantangan, dari kritik terhadap monarki hingga gugatan terhadap Persemakmuran.

  • Tak lagi bisa berbicara kritis soal pemerintah Inggris.

“MENINGGALNYA ibunda tercinta, Yang Mulia Ratu, merupakan momen kesedihan terbesar bagi saya dan semua anggota keluarga saya,” demikian pernyataan resmi Raja Charles III. Ini gelar Pangeran Charles setelah diangkat sebagai Raja Inggris menggantikan Ratu Elizabeth II, yang mangkat di Kastil Balmoral, Skotlandia, pada Kamis, 8 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Elizabeth menjadi ratu selama 70 tahun, yang terlama dalam sejarah Kerajaan Inggris. Dia menjadi kepala negara Inggris di bawah 15 perdana menteri dan 15 negara Persemakmuran, asosiasi negara berdaulat yang bersetia kepada Ratu Inggris. Elizabeth dianggap sebagai ratu yang piawai berdiplomasi dan membawa Inggris pada masa keemasan serta pemersatu keluarga kerajaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak menjadi raja, Charles tak bisa lagi sebebas dulu mengeluarkan pendapat pribadi. Charles banyak berkomentar dan mengirim surat kepada pemerintah mengenai banyak hal, dari pandangannya mengenai lingkungan hingga keterlibatan Inggris dalam perang Irak.

Belum lama ini Charles memicu keributan dengan pemerintah Perdana Menteri Boris Johnson. Pangkalnya adalah kebijakan Johnson pada April lalu yang mendeportasi puluhan ribu pencari suaka ke Rwanda dengan alasan memutus jaringan perdagangan manusia. Saat itu sekitar 130 pencari suaka sudah siap diberangkatkan ke negara anggota Persemakmuran Inggris tersebut.

Charles menilai kebijakan itu “mengerikan”. Media Inggris melaporkan bahwa Charles khawatir kebijakan yang kontroversial akan membayangi saat dia hadir mewakili Ratu Elizabeth pada pertemuan puncak para kepala pemerintahan Persemakmuran di Rwanda. “Dia mengatakan dia lebih dari kecewa terhadap kebijakan itu,” kata seorang sumber kepada The Times.

Anggota kabinet memperingatkan Charles agar berhenti mencampuri kebijakan publik karena dapat memicu krisis konstitusional. “Banyak pandangannya tentang arsitektur dan hortikultura menarik, dan saya akan selalu bersedia mendengarkannya secara pribadi. Tapi itu sangat berbeda ketika dia melakukan intervensi publik sebagai raja,” ujar seorang anggota kabinet.

Juru bicara Charles tidak membantah pendapat Charles tersebut. “Kami tidak akan mengomentari percakapan pribadi anonim dengan Pangeran kecuali untuk menyatakan kembali bahwa dia tetap netral secara politik. Masalah kebijakan adalah keputusan pemerintah,” ucap juru bicara itu. Kerajaan juga hanya merilis pernyataan yang mengatakan bahwa Charles akan “netral secara politik” ketika dia mewarisi takhta.

Banyak pihak sebenarnya mengkritik kebijakan Boris Johnson itu. Pengacara hak asasi manusia internasional Geoffrey Robertson, misalnya, menilai kebijakan itu “tidak etis dan tidak kristiani”. Inggris, kata dia, punya kewajiban dalam kerangka hukum internasional untuk memastikan apakah pencari suaka itu memang melarikan diri dari penganiayaan atau tidak. “Ini kebijakan yang sangat kontroversial dan salah jika diputuskan dalam sehari,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Charles sering berbicara blakblakan tentang berbagai masalah, dari tanaman yang dimodifikasi secara genetik dan perubahan iklim hingga obat-obatan dan arsitektur. Hal itu membuatnya menjadi sosok yang kontroversial daripada ibunya, yang nyaris tidak berekspresi selama memimpin kerajaan, apalagi mengungkapkan pendapat. Dalam wawancara dengan BBC pada 2018, Charles berjanji tidak akan campur tangan bila menjadi raja. “Tidak, itu tak akan terjadi. Saya tidak sebodoh itu,” ucapnya.

Charles kini meneruskan takhta yang ditinggalkan Elizabeth, tapi dia akan menghadapi situasi yang berbeda. Kejayaan monarki mulai luntur, sering dikritik, dan Persemakmuran dipertanyakan.

Survei Ipsos, konsultan multinasional berbasis di Prancis, pada akhir Agustus lalu menunjukkan bahwa 70 persen responden warga Inggris memandang negerinya sedang mengalami penurunan. Ini hampir sama dengan survei pada Desember 2020, ketika 65 persen responden berpandangan serupa.

Charles juga tampaknya kalah populer sebagai raja dibanding Pangeran William, cucu Elizabeth dan putra sulung Charles dan Lady Diana. Survei Ipsos pada Mei lalu menunjukkan bahwa separuh responden (49 persen) menilai Charles akan menjadi raja yang baik, tapi sebagian besar responden (74 persen) memandang William-lah yang akan menjadi raja yang berhasil.

Hasil survei YouGov bahkan menunjukkan dukungan rakyat Inggris terhadap monarki memang masih kuat, tapi angkanya terus turun, dari dukungan 75 persen responden pada Juli 2012 menjadi 62 persen pada Juni lalu. Sebaliknya, dukungan terhadap kepala negara yang dipilih melalui pemilihan umum naik, dari 15 persen pada Juli 2012 menjadi 22 persen pada Juni lalu.

“Hanya sepuluh tahun yang lalu monarki secara konsisten membual bahwa tiga perempat populasi mendukung kerajaan, sekarang dukungannya hanya 60 persen,” kata Graham Smith, CEO Republic, kelompok penekan Inggris yang mengkampanyekan penghapusan monarki dan diganti dengan kepala negara yang dipilih langsung. Kelompok ini mengklaim mendapat dukungan 80 ribu warga Inggris.

Dorongan terhadap penghapusan monarki muncul sejak 1990-an. Pada 1991, Tony Benn, pemimpin Partai Buruh, bahkan pernah berkali-kali mengajukan rancangan undang-undang yang mengubah Inggris Raya menjadi “negara Persemakmuran yang sekuler, federal, dan demokratis”. Hingga Benn pensiun dari parlemen pada 2001, rancangan itu tak pernah dibahas di dewan perwakilan rakyat.

Alasan penghapusan monarki itu beragam, dari masalah keuangan hingga politik. Badan pengelola bisnis Elizabeth meraup ratusan juta pound sterling tiap tahun, terutama dari saham, properti, dan lahannya yang luas. Negara pun membiayai hidup ratu, termasuk pemeliharaan Istana Buckingham yang mahal. Kelompok penolak monarki mengkritik batas yang kabur antara harta pribadi dan milik negara ini. Namun hal ini sulit dihitung karena informasi mengenai monarki tak pernah diungkap lantaran dikecualikan dari Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik.

Persemakmuran, yang mengikat banyak negara kepada Kerajaan Inggris, juga mendapat tantangan. November tahun lalu, Barbados menjadi republik terakhir di dunia setelah menghapus Ratu Elizabeth sebagai kepala negara. Kini sekitar 20 negara sudah keluar dari Persemakmuran.

Sejak 2002, Wakil Perdana Menteri Kanada John Manley berbicara soal penghapusan monarki, tapi tidak mendapat banyak dukungan. Australia sempat menggelar referendum pada 1999 tentang apakah negeri itu sebaiknya menjadi republik atau tetap sebagai persemakmuran seperti sekarang. Hasilnya, 55 persen warga Australia menolak penghapusan monarki.

Kamal Ahamada, alumnus pascasarjana di bidang studi pascakolonial dan etnis di Birkbeck, University of London, mengkritik Kerajaan Inggris sebagai keberlanjutan dari kolonialisme. “Dengan atau tanpa Ratu Elizabeth II, monarki Inggris akan tetap berlangsung sebagaimana adanya: sebagai salah satu representasi luar biasa dari supremasi kulit putih, yang diturunkan dari generasi ke generasi,” ucapnya kepada Tempo pada Sabtu, 10 September lalu. “Raja yang baru tentu akan memastikan bahwa tradisi ini dipertahankan dengan kebanggaan, penyangkalan, dan sinisme.”

Ahamada memandang monarki yang dipimpin Raja Inggris sebagai yang tersisa dari “kejayaan” imperialisme Inggris. “Kebanyakan rakyat Inggris akan mempertahankannya sekuatnya karena mereka sangat ingin masih dianggap berperan penting (di kancah internasional) pasca-Brexit,” ujar sineas yang sedang membuat film dokumenter tentang budaya, pelanggaran hak asasi manusia, dan gerakan revolusi di Timur Tengah, Asia, dan Afrika ini.

NELDEN DJAKABABA GERICKE (BERLIN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus