Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kapal Perang Pengangkut Cenderawasih

Kapal perang Teluk Lada 521 ketahuan mengangkut 39 satwa langka Papua. Berpusat di Surabaya.

10 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Satwa langka yang disita awalnya berjumlah 140 ekor.

  • TNI AL mengklaim semua satwa milik personel KRI Teluk Lada.

  • Penyelundupan diduga juga terjadi di kapal perang lain.

POTONGAN kain berwarna-warni menutup lima sangkar kayu di samping gedung Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur di Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis, 8 September lalu. Setiap sangkar berisi seekor cenderawasih. Satwa langka itu disita dari kapal perang RI (KRI) Teluk Lada 521 pada Rabu, 31 Agustus lalu.

BKSDA baru menerima lima burung surga—sebutan burung cenderawasih—itu pada Ahad, 4 September lalu. Ada 39 satwa yang disita dari KRI Teluk Lada dan diserahkan ke BKSDA. Semula cenderawasih itu berjumlah enam ekor, tapi mati satu. “Burung ini mudah stres,” ujar Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan BKSDA Jawa Timur Nur Rohman.

Di belakang ruangan tempat menyimpan cenderawasih, seorang petugas terlihat menyuapi seekor kanguru pohon dengan irisan pepaya. Hewan itu tampak kurang sehat. Matanya sayu. Gerak-geriknya lamban. Cenderawasih dan kanguru malang itu bagian dari satwa dilindungi yang disita dari KRI Teluk Lada.

Nur Rohman adalah pejabat balai yang diutus menerima puluhan satwa tersebut dari Detasemen Polisi Militer Komando Armada II Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Semua satwa lain rencananya bakal dilepasliarkan di habitat semula setelah kondisi mereka sehat. “Satwa endemis itu berasal dari Papua dan Papua Barat,” ucap Nur Rohman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kanguru Pohon yang disita petugas di BBKSDA, Jawa Timur., 8 September 2022/TEMPO/ Kukuh S. Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain cenderawasih dan kanguru, petugas BKSDA menerima 8 ekor kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), 1 kakatua raja (Probosciger aterrimus), 7 nuri bayan (Eclectus roratus), 12 kasturi kepala hitam (Lorius lory), 3 kanguru pohon (Dendrolagus sp.), 1 walabi atau kanguru tanah (Macropus agilis), dan 1 kuskus cokelat (Phalanger orientalis). Semua satwa berstatus spesies dilindungi.

POM Koarmada II menyita semua satwa langka tersebut dari KRI Teluk Lada yang baru saja bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam siaran pers, Komandan POM Koarmada II Kolonel Laut Sugeng Tri mengatakan penindakan dilakukan untuk memberi efek jera bagi para prajurit.

Mereka menduga penyelundupan satwa-satwa eksotis tersebut melibatkan seorang anak buah kapal. Identitasnya tak diungkap. Saat diinterogasi, pelaku mengaku membawa puluhan satwa itu untuk dipelihara, bukan dijual. “Kami tak segan menindak tegas personel yang kedapatan membawa dan memelihara satwa dilindungi meskipun karena ketidaktahuannya serta tidak untuk diperjualbelikan,” tutur Sugeng.

Penyitaan ini mencuri perhatian sejumlah pejabat di TNI AL. Apalagi peristiwa ini melibatkan kapal perang. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang siapa pun mengambil, mengangkut, dan memperdagangkan satwa dilindungi. Para pelaku diancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Panglima Komando Armada II Laksamana Muda T.S.N.B. Hutabarat meminta semua personel memahami regulasi perlindungan satwa. “Ke depan kami akan menggandeng BKSDA untuk mengadakan sosialisasi terkait dengan satwa yang dilindungi, sebagai pembelajaran bagi para prajurit TNI AL,” katanya.

KRI Teluk Lada 521 adalah kapal perang jenis kargo yang beroperasi sejak 2019. Kapal buatan PT Daya Radar Utama ini dapat mengangkut maksimal 15 tank. Nama Teluk Lada diambil dari nama teluk di daerah Pandeglang, Banten. Kapal seharga Rp 160 miliar itu memiliki panjang 117 meter dan lebar 16,4 meter.

Kakaktua Raja di BBKSDA, Jawa Timur., 8 September 2022/TEMPO/ Kukuh S. Wibowo

Ada yang janggal dari penyitaan tersebut. Seseorang yang mengetahui penyitaan satwa di KRI Teluk Lada mengatakan rencana penyelundupan satwa terendus saat kapal mulai berlayar dari Sorong, Papua Barat, pada Jumat, 19 Agustus lalu. Kapal sempat bersandar di Ternate, Maluku Utara, sebelum berlabuh di Surabaya.

Awalnya jumlah satwa diperkirakan mencapai ratusan. Satwa-satwa tersebut diperoleh dari beberapa pengepul yang menampung tangkapan para pemburu di sekitar Papua dan Papua Barat.

Semua satwa merupakan pesanan dari sejumlah pedagang di Surabaya. Mereka menggunakan “jasa” kapal perang untuk menghindari pemeriksaan Balai Karantina, Bea dan Cukai, serta kepolisian. Untuk setiap pengiriman seekor satwa, tarif yang dikenai berkisar Rp 200 ribu per ekor bergantung jenisnya.

Jumlah satwa mendadak berkurang saat bersandar di Tanjung Perak. Dari tangkapan layar yang diperoleh Tempo, petugas POM Koarmada II awalnya melaporkan ada 140 satwa yang disita dari KRI Teluk Lada.

Cenderawasih, misalnya, pada laporan penyitaan tersebut disebutkan berjumlah 21 ekor. Kakatua jambul kuning dilaporkan sebanyak 29 ekor. Ada pula satwa yang “hilang” karena tak ikut dilaporkan ke BKSDA, seperti elang dan rangkong.

Kejanggalan jumlah satwa juga terungkap dari foto penyitaan di kapal KRI Teluk Lada yang diperoleh Tempo. Foto itu memperlihatkan setidaknya ada dua puluhan ekor burung kakatua jambul kuning yang dikurung di dalam empat sangkar. Dua ekor di antaranya nangkring di atas sangkar burung lain.

BKSDA juga sempat dilaporkan akan menerima 45 ekor satwa pada Sabtu malam, 3 Agustus lalu, atau sehari sebelum diserahkan. Namun jumlah yang diterima saat penyerahan menyusut menjadi 39 ekor. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Nur Rohman mengaku tidak mengetahui pembicaraan sebelum itu. “Saya hanya ditugasi menerima pelimpahan barang bukti,” tuturnya.

Ini juga bukan penyitaan pertama. Pada 29 Juli lalu, petugas menyita 243 burung endemis Papua dari KRI Teluk Parigi 539. Dokumen penyitaan menyebutkan empat satwa di antaranya mati.

Nur Rohman membenarkan bahwa BKSDA pernah menerima 239 burung sitaan di KRI Teluk Parigi. Mereka tengah menangkarkan satwa-satwa eksotis itu. “Kalau dilihat dari jenisnya, ini burung dan satwa endemis dari Papua, Maluku, dan Makassar,” ucapnya.

Kepala Dinas Penerangan Komando Armada II TNI AL Letnan Kolonel Asep Aryansyah mengaku belum menerima informasi ihwal penyitaan satwa dari KRI Teluk Parigi. Ia pun tak mendapat informasi tentang perbedaan jumlah satwa sitaan di KRI Teluk Lada. “Hanya jumlah itu yang kami serahkan kepada petugas Gakkum KLHK,” kata dia.

Ia menampik anggapan yang menyebut semua hewan sitaan itu hendak diperjualbelikan. Menurut dia, burung-burung tersebut dibeli para personel dari pemburu di Papua karena hobi. “Tapi, ketika sampai di Surabaya, beberapa di antara burung itu diketahui tidak boleh diperdagangkan, akhirnya disita. Mereka tidak tahu itu,” katanya.

Direktur Eksekutif Flight Protecting Indonesia’s Birds Marison Guciano mengatakan penggunaan sarana angkut militer dalam penyelundupan hewan bukanlah hal baru. Selain kapal laut, para pelaku kerap menggunakan fasilitas militer lain. “Praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum, meski jarang terungkap,” tuturnya.

Pada 10 Juni 2020, misalnya, penyidik Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan status tersangka terhadap AS, 50 tahun, pilot maskapai penerbangan swasta. Ia ditangkap tak lama setelah mendaratkan pesawat Boeing 737 di bandara yang dikelola TNI Angkatan Udara, Halim Pedanakusuma, Jakarta Timur. AS dituding membantu menyelundupkan 180 ekor burung asal Papua.

Papua, Maluku, Makassar, dan Surabaya adalah jalur merah yang kerap dilintasi para pedagang gelap satwa. Dari Surabaya, semua hewan mereka distribusikan kepada para pedagang dan pembeli lewat jalur darat. “Surabaya merupakan pintu masuk utama bagi penyelundupan satwa dari wilayah timur,” tutur Marison.

Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK Sustyo Iriono menceritakan hal serupa. Selain Surabaya, jalur perdagangan satwa ilegal kerap menggunakan pintu pelabuhan di Batam, Kepulauan Riau, untuk mengirim satwa Indonesia ke luar negeri. “Biasanya burung kicau yang berasal dari Indonesia bagian barat,” ujarnya.

Para pedagang umumnya menggunakan jalur pelayaran tidak resmi untuk menghindari pantauan petugas. Sejak 2015, KLHK sudah menggelar 133 operasi untuk mengembalikan habitat burung di kawasan hutan. Operasi penindakan itu menyelamatkan 15.368 ekor burung dari berbagai jenis dari perdagangan gelap.

KLHK turut mengerahkan tim patroli siber media sosial. Sebanyak 497 akun yang memuat perdagangan 1.403 ekor satwa ilegal sudah ditindak. “Kami meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika menghapus akun dan konten itu,” ucap Sustyo.

Patroli media sosial acap kali menjadi petunjuk maraknya perdagangan burung di pasar. Pemilik akun Facebook bernama Z**n**r Pribadi, misalnya, diketahui sempat menjajakan nuri kepala hitam dan kepala merah. Tempo berusaha menghubungi nomor teleponnya. “Sudah laku tiga hari lalu,” ujarnya. Ia menjual burung itu dengan harga sekitar Rp 2 juta.

Burung menjadi hewan favorit yang diperdagangkan. Sementara itu, kondisi burung terlindungi kini terancam punah akibat ulah para pemburu. Para pelaku kerap berjejaring dengan aparat. “Di tangan pembeli, harga jenis burung tertentu bisa mencapai puluhan juta,” ujar Conservation Partnership Advisor Burung Indonesia, Ria Saryanthi.

Perlindungan terhadap burung eksotis sudah diatur pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Nomor P.106 Tahun 2018. Peraturan itu menyebutkan terdapat 556 jenis burung dilindungi.

Burung cenderawasih adalah hewan endemis sekaligus satwa langka Papua yang berstatus dilindungi. Jumlahnya pun ditaksir hanya tersisa sekitar 2.000 ekor akibat perburuan yang kian masif. “Burung-burung terancam punah karena populasinya yang kian menyusut,” tutur Ria.

MUSTAFA SILALAHI, HADI MULYANA, ANISA WIKA RAHMADHANI, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus