NYANYIAN duka mengalun lembut dari Radio Nasional Mozambique Minggu siang lalu. Tak lama kemudian, rakyat diperintahkan memasang bendera setengah tiang. Apa yang terjadi? Hari itu. Presiden Mozambique Samora Moises Machel, 53, tewas dalam kecelakaan pesawat jet Tupolev-134A, dalam perjalanan pulang dari Zamba ke Mozambique. Selain Machel, tercatat dua orang menteri dan 24 penumpang meninggal. Hanya 10 orang yang selamat seorang di antaranya awak pesawat berkebangsaan Uni Soviet yang kini dirawat di rumah sakit. Walaupun belum ada kepastian penyebab kecelakaan cuaca hari itu di sekitar lokasi kejadian, yang terletak di selatan Komatipoort, tak jauh dari Ibu Kota Maputo, amat buruk. Hujan lebat serta kabut tebal diduga menutup jalur penerbangan yang memaksa pilot menurunkan ketinggian, sehingga membentur sebuah bukit. Kecelakaan yang menimpa Presiden Machel mengundang simpati dari berbagai pihak. Para pemimpin dari Pretoria hingga Amerika Serikat mengucapkan belasungkawa. "Dia merupakan alat pemersatu kita semua," ujar seorang diplomat setempat. Bagi Paulo Oliveira dari Perlawanan Nasional Mozambique (MNR), kematian Machel justru disambut dengan kelegaan, sekalipun penggantinya belum tentu lebih baik darinya. "Machel itu seperti Fidel Castro di Mozambique. Dengan kepergiannya ini, ya, syukurlah," ujar Oliveira. Samora Moises Machel dilahirkan di Desa Chilembene, sebelah selatan Mozambique. Sebelum menjadi Presiden Republik Rakyat Mozambique, ia pernah bergerilya melawan penjajahan Spanyol. Pria berkulit hitam dengan pembawaan ramah ini pernah masuk agama Katolik. Sepeninggal Machel, negara berpenduduk 13,2 juta jiwa yang dalam 10 tahun terakhir mengalami kesulitan ekonomi dan kekeringan, tampaknya, akan menggantungkan nasibnya pada Menlu Koaquim Chissano atau PM Marcefino Do Santos. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini