BARU dua minggu gemerlap Asian Games berlalu, Seoul kembali diguncang demonstran. Tidak kurang dari 10 ribu pelajar dan mahasiswa turun ke jalan memprotes pemerintahan Presiden Chun Doo Hwan yang menangkap Yoo Sung Hwan, anggota parlemen wakil oposisi. Pangkal bala bagi Yoo, anggota Partai Demokrasi Korea Baru (NKDP), karena ia membuat pernyataan yang bertentangan dengan politik penguasa. Di parlemen, empat hari sebelum ditangkap, Yoo menuduh pemerintah melakukan kebijaksanaan yang salah: terlalu memprioritaskan politik antikomunis. Padahal, persatuan kembali dengan Korea Utara merupakan hal yang lebih penting. Lewat pernyataan itu anggota kelompok oposisi tersebut dituduh Partai Keadilan Demokrasi (DJP) sebagai antek pemerintah Korea Utara. Maka, sehari setelah pernyataan itu, Yoo tidak lagi sebagai orang bebas. Ia ditahan rumah. Sabtu lalu, Yoo dimasukkan penjara Yong Dungpo dengan tangan diborgol. Tentu saja NKDP berang. "Dengan menahan Yoo, berarti pemerintahan Chun telah melakukan pelanggaran asas demokrasi untuk memperpanjang masa kekuasaannya," tutur Kim Dae Jung, tokoh oposisi terkemuka di Kor-Sel. Sekitar seratus anggota NKDP, dengan dijaga ratusan polisi, melakukan aksi duduk di depan gedung parlemen untuk mencegah wakil-wakil rakyat itu melakukan pemungutan suara bagi pencabutan kekebalan hukum atas Yoo sebagai anggota parlemen. Aksi itu tak membawa hasil. Mengapa untuk menangkap Yoo perlu pemungutan suara di parlemen? Tampaknya, DJP, ingin menunjukkan bahwa mereka demokratis dalam menggugurkan kekebalan Yoo sebagai anggota parlemen. NIDP bukan tak tahu "akal-akalan" DJP itu. Tapi dengan 90 suara yang mereka miliki, tidak mungkin melawan DJP yang punya 147 suara. Maka, NKDP memboikot. Hasil akhir pemungutan suara: 147 lawan 0 -- untuk kemenangan DJP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini