Diperkirakan 125.000 orang mati akibat topan di Bangladesh. Kini penduduk terancam wabah kolera dan penyakit menular lainnya. RATAP dan teriakan lapar masih bercampur aduk di Bangladesh akibat amukan badai pada Senin malam pekan lalu. Sampai Minggu kemarin, menurut kantor berita nasional Sangbad Sanastha, jumlah korban yang tewas tercatat 125.000 jiwa. Angka korban diperkirakan akan bertambah lagi karena kawasan yang dilanda badai kini diserang wabah kolera. Di Patenga, salah satu kawasan yang terserang badai, sudah hampir seminggu ratusan bocah berjejer di tepi jalan membawa tempat air dan kantung plastik kosong menanti bantuan air dan bahan makanan dari pemerintah. Tapi tak setiap hari bantuan datang. Diperkirakan sekitar 12 juta orang Bangladesh kehilangan rumah dan membutuhkan bantuan pangan serta obat-obatan akibat badai Senin malam itu. Angka korban tinggi karena badai yang melanda Bangladesh kali ini merupakan badai terdahsyat selama 20 tahun terakhir. "Belum pernah saya melihat badai sedahsyat ini," ujar Rahman, 40 tahun, nelayan Chittagong yang selamat dari amukan gelombang setinggi enam meter. Rahman tak hanya kehilangan tempat tinggal, juga sanak keluarga. Sebelum gelombang laut menyapu rumah-rumah penduduk di kawasan Teluk Benggala itu sebetulnya pemerintah sudah mengingatkan penduduk untuk waspada terhadap bakal datangnya topan dahsyat -- yang kemudian diketahui berkecepatan 235 km per jam. Peringatan itu disiarkan lewat radio dan televisi. Ternyata, tak semua penduduk berlindung di pelindung badai yang dibangun pemerintah pada 1985. Maka, ketika penduduk terbangun dari lelap mereka sewaktu mendengar gemuruh angin banyak yang tak cemas. "Saya memang mendengar suara angin yang makin lama makin keras. Saya tidak cemas karena sudah biasa. Tapi, mendadak gelombang air menggulung kami semua," ujar Mohammad Kamaluddin, 12 tahun, yang lolos dari musibah. Ia menyebut selamatnya dirinya dari gulungan ombak merupakan mukjizat. "Saya pikir saya sudah akan mati," katanya lebih lanjut. Ada yang menganggap jumlah korban bencana alam kali ini sengaja dibesar-besarkan pemerintah Bangladesh untuk memancing bantuan dari masyarakat internasional. Bahkan, menurut Menteri Keuangan Saifur Rahman, jumlah korban bisa mencapai 200.000 orang -- hampir tiga kali jumlah resmi korban bencana alam di Bangladesh selama dua dekade terakhir. Dibesar-besarkan atau tidak, bencana alam Bangladesh kali ini memang terhitung dahsyat. Menurut laporan para wartawan yang meliput ke daerah-daerah bencana, ribuan bangkai manusia dan binatang bertebaran di antara puing-puing bangunan dan terapung-apung di Teluk Benggala. Maka, banyak organisasi kemanusian dan negara tergugah memberikan bantuan kemanusiaan. Badan PBB, Unicef, nyumbang barang-barang kebutuhan sehari-hari senilai Rp 1,9 milyar, organisasi Masyarakat Eropa akan membeli persediaan gandum dan minyak goreng senilai Rp 24 milyar untuk dibagi-bagikan kepada korban, Inggris menyumbang bahan makanan dan obat-obatan seharga Rp 14 milyar, Arab Saudi menawarkan bantuan sekitar Rp 200 milyar untuk rehabilitasi. Belum lagi terhitung bantuan Amerika, Jepang, Cina. Bahkan India seperti "melupakan" sengketa mengenai pembagian penggunaan air Sungai Gangga dan kepemilikan Kepulauan New Moore di Teluk Benggala dengan Bangladesh begitu mendengar negara tetangganya dilanda bencana alam. India, negara pertama yang mengulurkan bantuan, mengirimkan makanan, obat-obatan, serta pakaian senilai Rp 1,4 milyar, serta meminjamkan tiga pesawat helikopter untuk digunakan mengangkut bantuan ke daerah-daerah bencana. Dari dompet bencana alam yang dikoordinasikan langsung oleh Perdana Menteri Begum Khaleda Zia sampai Sabtu pekan lalu sudah pula terkumpul sekitar Rp 350 juta. Kalau bantuan kemanusiaan itu tak cepat-cepat disampaikan, bukan mustahil korban akan bertambah banyak lagi -- malah bisa lebih tinggi dari angka yang diperkirakan Menteri Saifur Rahman. Penyebabnya: kolera dan penyakit menular lain. Diperkirakan sekitar 12 juta jiwa yang selamat dan tetap tinggal di daerah bekas bencana terpaksa meminum air laut yang tercemar karena ketiadaan air bersih -- keadaan yang mempermudah orang terserang kolera. Sementara itu, menurut ramalan cuaca yang disiarkan jawatan meteorologi Bangladesh, Minggu kemarin, serangan badai dan hujan sewaktu-waktu dapat menyerang lagi. Bangladesh memang dikenal sebagai negeri lintasan topan. Selama 180 tahun tercatat 57 kali angin topan menyerang negeri berpenduduk 115 juta jiwa itu -- - salah satu yang dahsyat terjadi pada 1970, dan korbannya 100.000 orang. Kalau angka yang disampaikan Sangbad Sanastha, apalagi perkiraan Menteri Saifur Rahman betul, bencana badai di Bangladesh merupakan bencana alam yang minta korban "terbesar" abad ini. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini