KABUL makin sengsara. Sejak pukul 3 pagi toko-toko penjual bahan makanan dan roti sudah dipenuhi anak-anak belasan tahun yang berdiri kedinginan di bawah suhu udara 5 derajat. Mereka yang tampak seperti kekurangan gizi itu berdiri berjam-jam di sana untuk mendapatkan 200 gram roti per kepala. "Seperti melihat anak-anak dari sebuah negara yang melarat," tutur Vincent O'Reilly, wakil UNICEF di Kabul. Tak hanya itu. Harga kebutuhan pangan yang meningkat hingga dua kali lipat mengakibatkan para perawat rumah-rumah sakit terpaksa mengusir pulang para pasiennya, karena tak ada lagi makanan yang tersedia. Antrean juga tampak di pompa bensin yang terletak di kawasan kediaman pejabat tinggi di Kabul, Rabu pekan lalu. Tampak sekitar 70 mobil dan truk berderet panjang menunggu catu bahan bakar sebanyak 10 liter sementara 200 orang ikut antre membeli minyak tanah untuk keperluan memasak, dan solar sebagai bahan bakar mesin pemanas ruangan. Dikabarkan, tentara Soviet dan Afghanistan membagi-bagikan 40 ton beras dan gandum serta 30 ribu liter minyak tanah. Bila malam tiba, Kota Kabul tak lagi terang-benderang seperti dulu. Terpaksa pemerintah setempat membatasi aliran listrik. Itu semua akibat Mujahidin berhasil menguasai beberapa provinsi, antara lain Nanggarhar, pertengahan bulan ini. Itu berarti bahwa barisan depan pejuang Muslim sudah berada kurang dari 8 km dari Kabul. Malah dikabarkan, Senin pekan lalu, Mujahidin telah menghujani Kabul dengan roket. Empat ratus truk Soviet yang membawa 5 ribu ton gandum pada pertengahan bulan ini tampaknya tak banyak menolong 2 juta penduduk Kabul yang memerlukan sedikitnya 30 ribu ton gandum per bulan. Terpaksa pemerintah Uni Soviet juga mengirim sejumlah pesawat militer dan sipilnya untuk mengedrop bahan makanan dari udara. Hampir seluruh Kedubes asing di Kabul mulai menarik personel dan warganya. Misalnya kedubes Inggris di Kabul sudah meminta sekitar 60 warganya untuk segera pulang. "Ini adalah peringatan terakhir yang tak dapat ditawar lagi," tulis surat edaran itu. Tapi situasi itu, konon, tak mencegah Soviet menarik pasukannya sesuai jadwal yakni berakhir pada 15 Februari. Sebab utamanya: karena Soviet tak mampu lagi mengongkosi pasukannya untuk bertahan lebih lama di negeri orang. Itu sudah diisyaratkan oleh Gorbachev sendiri. "Keterlibatan dalam perang 10 tahun ini menyedot dana cukup besar, serta menimbulkan banyak masalah," kata Presiden Mikhail Gorbachev dalam pidatonya di Konperensi Partai Komunis Moskow, Sabtu pekan lalu. Dijelaskannya bahwa menyusutnya anggaran negara antara lain disebabkan menurunnya harga minyak, bencana Chernobyl, Armenia, dan Afghanistan "sebagai dosa-dosa kita". Dan juga karena pendapatan pajak alkohol menyusut -- sebagai konsekuensi perang melawan alkohol yang dicanangkan Gorbachev -- pendapatan sebesar US$ 65 juta per bulan pun lenyap. "Kita bertekad untuk melepaskan Vodka. Karena itu, janganlah menyesal," sambungnya. Sementara itu pihak Soviet menuduh bahwa AS melanggar perjanjian Jenewa dengan terus memberi bantuan kepada pejuang Muslim. "Situasi Afghanistan yang memburuk ini bukan karena pasukan Soviet, tetapi karena jenderal-jenderal AS itu," kata komandan senior Soviet di Afghanistan Letjen Lev Serebrov. Toh ia tak bisa melawan perintah Moskow agar pulang. Meski menurut duta besar Soviet di Kabul, tampaknya penarikan mundur akan tertunda karena situasi keamanan. Tertunda atau tidak, pihak pejuang Muslim, lambat atau cepat, akan masuk Kabul juga. Mungkinkah sejenis revolusi Iran akan berkobar di sini -- setelah tentara Soviet ditarik pulang seluruhnya?Didi. P
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini