Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan ribu orang menyesaki jalanan Kota Lahore, Pakistan. Di tengah siraman sinar matahari pada Ahad dua pekan lalu, para demonstran yang sebagian besar pendukung Lashkar-e-Taiba itu tak henti-hentinya menyanyi. Sesekali dari mulut mereka meluncur umpatan: "Jatuhlah Amerika."
Para penggiat Islami Jamiat Tulba ikut bergabung dalam pawai itu. Ini adalah kelompok sayap pelajar partai agama paling berpengaruh di Pakistan, Jamaat-e-Islami. Di tengah aksi, seorang pelajar memanjat tembok di pinggir jalan dan menancapkan bendera Pakistan di antara kawat berduri.
Aksi itu dimobilisasi Jamaat-ud-Dawa, yang disebut-sebut sebagai ujung tombak Lashkar-e-Taiba, kelompok militan yang dilarang. Mereka memprotes serangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di pos perbatasan Pakistan-Afganistan di Salala, akhir November lalu. Serangan yang menewaskan 24 serdadu Pakistan itu menyulut demonstrasi anti-Amerika sepanjang Desember lalu. Ketua Jamaat-ud-Dawa, Hafiz Saeed, meminta Pakistan memutuskan hubungan dengan Abang Sam.
Pemerintah Pakistan sendiri bereaksi keras terhadap serangan itu. Mereka menolak hasil penyelidikan lapangan Amerika dan NATO atas insiden 26 November lalu. Menurut Pentagon, tentaranya diserang lebih dulu dan hanya bertindak membela diri. Amerika menyimpulkan insiden berdarah itu terjadi akibat serangkaian kesalahan dan komunikasi yang gagal di antara kedua negara.
Pemerintah Pakistan menyebutkan laporan tersebut "tidak berdasarkan fakta". Artinya, usaha Amerika dan NATO menjernihkan masalah tidak berhasil. Tak sedikit pengamat meyakini serangan yang menewaskan 24 tentara Pakistan di perbatasan dengan Afganistan itu sebagai pemicu fase hubungan terburuk Amerika dengan Pakistan, yang memang sudah makin merosot kualitasnya sejak Operasi Tombak Neptunus yang menewaskan Usamah bin Ladin, 2 Mei lalu.
Bahkan, sebelum ada hasil fact finding, pemerintah Pakistan telah meminta Amerika tak lagi menggunakan pangkalan udara Shamsi di Balukistan untuk meluncurkan pesawat mata-matanya. "Serangan ini menghapus kemajuan yang dicapai kedua negara untuk meningkatkan kualitas hubungan. Serangan ini memaksa kami merevisi hubungan," kata Menteri Luar Negeri Pakistan Hina Rabbani Khar, yang langsung menelepon koleganya, Hillary Clinton.
Bahkan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani memutuskan memotong jalur bantuan NATO ke Afganistan yang melewati perbatasan Pakistan. Dua pintu masuk perbatasan dengan Afganistan, di Torkham dan Chaman, ditutup. Selama ini, kedua jalur tersebut digunakan NATO dan Amerika untuk memasok perbekalan pasukannya di Afganistan.
Tapi, semarah-marahnya pemerintah Pakistan, tindakan ekstrem belum diambil. Dan pihak Amerika juga yakin tindakan tegas tak akan benar-benar diambil oleh pemerintah Pakistan. Sebab, seburuk apa pun hubungan kedua negara tersebut, keduanya tetap saling bergantung.
Pakistan bergantung pada bantuan fulus Amerika. Menurut data dari lembaga riset parlemen Amerika, Congressional Research Service, sejak 2001, Kongres Amerika telah menyetujui US$ 20 miliar atau sekitar Rp 181 triliun sebagai bantuan langsung dan dukungan militer. Sekitar setengah dari bantuan Amerika diberi label "Coalition Support Funds", yang digelontorkan setelah serangan 11 September 2001. Dana ini tidak masuk "kotak" bantuan Abang Sam yang resmi sehingga menimbulkan persoalan audit di dalam negeri Amerika.
Besarnya pengorbanan Amerika menunjukkan betapa negara itu butuh Pakistan. Seperti dikutip The Economist, Amerika mengandalkan Pakistan untuk menjangkau jaringan Taliban dan Haqqani, melancarkan gerakan kontraterorisme, serta mengizinkan pesawat mata-mata terbang di atas wilayah suku-suku. Amerika juga perlu tetap mengontrol aktivitas pengembangan senjata nuklirnya.
Amerika membutuhkan wilayah Pakistan untuk menyalurkan perbekalan ke tentara Barat di Afganistan. Amerika juga percaya Pakistan dapat membantu menjaga perdamaian di Afganistan setelah negara itu menarik pasukannya pada akhir 2014. "Tanpa kerja sama Pakistan, Amerika dan NATO tidak mencapai tujuannya. Sebab, sebagian besar anggota Al-Qaidah ditangkap orang Pakistan," kata Fazl ur Rahman dari Institut Riset Kebijakan Islamabad.
Sejak beberapa tahun lalu, NATO khususnya Amerikasebenarnya berupaya mengurangi ketergantungannya pada transportasi darat melalui wilayah Pakistan. Dalam empat bulan terakhir, misalnya, 30 persen perbekalan dikirim melalui udara, sedangkan 40 persen dikirim melalui perbatasan utara Afganistan dari Asia Tengahhanya menyisakan 30 persen melalui wilayah Pakistan.
Wilayah perbatasan Pakistan dan Afganistan sudah lama menjadi salah satu tempat paling berbahaya di dunia. Wilayahnya bergunung-gunung dan kontrol pemerintah lemah, sehingga dijadikan tempat bersembunyi oleh kelompok militan, termasuk Taliban.
Di wilayah inilah terdapat Khyber Pass, rute utama untuk memasok perbekalan makanan dan militer NATO ke Afganistan. Sekitar 80 persen pasokan perbekalan NATO dikirim melalui jalur ini. Di masa lalu, Khyber Pass merupakan bagian penting dari Jalan Sutra, jalur perdagangan yang menghubungkan sebagian besar wilayah Asia dengan Mediterania dan Eropa. Mengetahui pentingnya jalur ini, Taliban berusaha menguasainya. Di sini kerap terjadi pertempuran antara Taliban dan pasukan Pakistan. Pasukan Taliban hingga kini masih bersembunyi di pegunungan setinggi 1.070 di atas permukaan laut itu.
Dan untuk menumpas Taliban, menurut pakar Timur Tengah, Eza Aslan, Pakistan dan Amerika saling membutuhkan. Sebab, "Taliban mengancam stabilitas Pakistan. Sama halnya bagi Amerika." Meski kedua negara itu saling membenci, hubungan keduanya, seperti The Economist katakan, "Tak akan terpisahkan hingga maut datang."
Sapto Yunus (AP, Reuters, The Economist, The Washington Post, India Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo