Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI kursi rodanya yang melaju perlahan, Sulak Sivaraksa, kritikus sosial berusia 78 tahun asal Thailand, memimpin barisan. Sekitar 50 orang pengunjuk rasa dengan sabar mengekor di belakangnya. Sabtu dua pekan lalu, barisan itu berarak pelan dari Victory Monument ke persimpangan Ratchaprasong yang berada di jantung Kota Bangkok.
Sulak adalah ikon bagi perjuangan kemerdekaan berbicara di Thailand. Lelaki penerima The Right Livelihood Award—penghargaan bergengsi sejajar anugerah Nobel bagi orang yang berjasa di bidang hak asasi manusia, lingkungan hidup, perdamaian, dan pembangunan—pada 1995 itu sudah tiga kali diadili dengan pasal penghinaan terhadap raja. Namun kakek tua yang pernah muncul dalam film dokumenter kehidupan Dalai Lama itu pantang menyerah. Menurut dia, kemerdekaan berpikir bukan kejahatan. "Banyak orang tidak sadar hukum saat ini telah menjadi lebih kejam," kata Sulak di depan para demonstran.
Dalam wawancaranya dengan harian The Nation, Sulak berharap hukum soal lese majeste—perbuatan kriminal yang dianggap menghina kewibawaan kerajaan, yang sudah berlaku sejak 1908 di Thailand hasil adopsi dari zaman kerajaan Romawi—dihapuskan. Pandangannya didukung Suraphot Thaweesak, dosen dari Rajabhat Suan Dusit Institute yang juga pernah dihukum atas pasal yang sama dengan Sulak. Menurut dia, tatanan sosial kerajaan Thailand perlu mereformasi diri. "Hukum lese majeste adalah pelanggaran hak asasi manusia, hukum yang menciptakan manusia sebagai korban dari sistem autokrasi," ujar Suraphot, yang juga pernah ditangkap polisi akibat mengkritik kerajaan.
Sementara itu, dari dalam barisan pengunjuk rasa, Wanrug Suwanwattana, dosen sastra Prancis di Universitas Thammasat Thailand, berseru agar semua warga Thailand mau bergabung dengan pawai. Ia ingin masyarakat tahu para demonstran sangat marah sekaligus sedih. "Kami menghormati kerajaan kami, tapi sedih dan marah melihat kenyataan hukum hanya digunakan menindas rakyat," katanya seperti dikutip situs berita Asiaone.
Unjuk rasa yang menuntut penghapusan pasal penghinaan terhadap raja di Thailand belakangan ini berlangsung di tengah meningkatnya penangkapan dan pengadilan di bawah beleid pidana yang mereka anut. Bulan lalu Amphon Tangnoppakul, kakek asal Bangkok berusia 61 tahun, dijatuhi hukuman 20 tahun penjara lantaran mengirimkan empat pesan pendek dari telepon selulernya ke sekretaris pribadi perdana menteri ketika itu, Abhisit Vejjajiva. Ia dituduh memfitnah raja (baca "Solidaritas untuk Akong").
Kasus lain menimpa Joe Gordon, warga negara Amerika Serikat keturunan Thailand. Gordon divonis hukuman penjara dua setengah tahun pada awal Desember lalu akibat menerjemahkan buku biografi Raja Thailand Bhumibol Adulyadej yang peredarannya dianggap terlarang.
Demonstrasi besar yang dipimpin Sulak itu digelar sehari setelah Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia menegur pemerintah Thailand soal hukum yang mengatur sikap warga negara terhadap raja. "Kami prihatin dengan adanya hukuman keras bagi orang yang dituduh lese majeste di Thailand. Efeknya sangat menakutkan untuk kebebasan berekspresi," kata juru bicara Badan PBB untuk HAM, Ravina Shamdasani.
Perdebatan yang terus meluas soal Pasal 112 Beleid Pidana Thailand membuat merah muka kaum loyalis—pemerintah dan kalangan yang loyal terhadap kerajaan. Bagi mereka, persoalan lese majeste adalah sakral, tak seorang pun bisa mengutak-atik, walau PBB sekalipun.
Kepada harian Bangkok Post, kaum loyalis yang diwakili kelompok Siam Samakkhi (United Siam) menyesalkan sikap PBB, Amerika, dan Uni Eropa yang mencoba mengintervensi sistem hukum peradilan Thailand. Kelompok itu mengatakan para kritikus tidak memiliki pemahaman tentang tata negara monarki. Mereka juga berpendapat kalangan internasional memiliki standar ganda soal kebebasan berekspresi. "Klaim kebebasan berekspresi mereka tidak menghormati hak atau reputasi orang lain. Penilaian mereka yang mengganggu keamanan nasional dan mungkin juga memprovokasi kebencian dikhawatirkan menimbulkan konflik kekerasan," kata Jenderal Somjet Boonthanom, pemimpin kelompok itu.
Kelompok Siam Samakkhi menilai kritik terhadap lese majeste didasarkan pada informasi yang parsial. Banyak yang terpenggal. Sedangkan Suriyasai Katasila, koordinator kelompok Politik Hijau, khawatir adanya penumpang gelap dalam upaya mereformasi lese majeste, yang menggunakan gerakan sebagai alat politik pembusukan terhadap kerajaan dan pemerintah Thailand. "Saya khawatir ada yang menyesatkan arah gerakan demi sebuah agenda tersembunyi," ujarnya.
Departemen Luar Negeri Thailand pun berusaha mengklarifikasi. Menurut mereka, pasal 112 tidak ditujukan membatasi hak-hak rakyat atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, tapi lebih pada memberikan edukasi soal cara menghormati kerajaan sebagai sebuah institusi. "Seperti dalam masyarakat demokratis lainnya, Thailand menikmati hak-hak konstitusional mereka, termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi," kata Thani Thongphakdi, Direktur Jenderal Departemen Informasi Thailand.
Namun kini telanjur lacur. Sikap para reformis sudah mengeras. Bagi mereka, sudah terlalu banyak korban yang masuk terali akibat pasal yang menjerat "penghina" paduka. Thailand yang baru saja kering dari air bah kini harus kembali basah diguyur unjuk rasa memprotes pemerintah.
Sandy Indra Pratama (Thailand)
Solidaritas untuk Akong
FOTO ikon gerakan demokrasi Burma, Aung San Suu Kyi, dengan telapak tangan kanan bertulisan huruf Thailand yang artinya "Bebaskan Akong" beredar di dunia maya. Gambar itu sebenarnya rekayasa, yang dikaitkan dengan perlawanan yang sedang marak di Thailand. Namun pesan yang sama: ketidaktakutan terhadap penguasa, dicoba disebarkan lewat kampanye foto yang digagas seorang warga negara Singapura berdarah Thailand, Pavin Chachavalpongpun. "Kalau orang Burma saja berani, mengapa Thailand tidak bisa?" ujar Pavin.
Kepada The Nation, Pavin mengaku alasannya berjuang demi pembebasan Akong karena iba melihat nasib orang kecil yang tertindas hukum di negaranya sendiri. Sejak Pavin mendengungkan soal Akong, gelombang dukungan pun datang dari seluruh negeri.
Kata akong adalah bahasa Thailand untuk kakek. Julukan itu dilekatkan Pavin pada Amphon Tangnoppakul. Lelaki 61 tahun itu ditangkap polisi pada 3 Agustus 2010 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pengadilan pada 23 November 2011. Amphon dihukum karena dijerat dengan pasal lese majeste—perbuatan kriminal yang dianggap menghina kewibawaan kerajaan—yang sudah berlaku sejak 1908 di Thailand hasil adopsi dari zaman Kerajaan Romawi.
Amphon dituduh mengirim empat pesan pendek dari telepon selulernya, yang isinya dinilai memfitnah kerajaan. Pesan itu dikirim lewat telepon seluler Somkiat Klongwattanasuk, sekretaris Perdana Menteri Thailand saat itu, Abhisit Vejjajiva. Hal yang aneh, dalam persidangan Amphon mengaku saat pesan terkirim, telepon selulernya sedang diperbaiki di toko langganannya. Ia mengaku bukan dirinya pengirim pesan tersebut.
Namun pengadilan tidak mau mendengarkan alasan Amphon. Tetap saja dia diganjar 20 tahun penjara. "Hukum sangat mudah dipermainkan kekuasaan," ujar Pavin.
Berkat gerakan Pavin di dunia online, pembelaan terhadap Akong Amphon dan korban-korban lain lese majeste semakin ramai. Bahkan dukungan terhadap Amphon sudah berwujud buku kumpulan seribu lebih foto dari berbagai negara, yang gambarnya berupa tulisan "Free Akong" di setiap bagian tubuh para pendukung. Pesannya, Akong bukan pahlawan, ia korban.
SIP (The Nation)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo