SEMBARI menyikat Partai (Komunis) Tudeh, rezim Ayatullah
Khomeini menyikut pula umat Baha'i. Penganut agama yang
berjumlah sekitar 300.000 sampai 400.000 orang ini, menurut
Pemerintah Iran, sudah tergolong "musuh revolusi". Dakwaan untuk
mereka adalah kaki tangan zionisme, antek imperialis, biang
kerok korupsi, dan seteru Tuhan. "Hukuman yang setimpal buat
mereka adalah hukuman mati," ujar seorang pejabat kantor
kepresidenan. Pemerintah Iran dikabarkan telah menjatuhkan vonis
mati terhadap 22 penganut Baha'i.
Keputusan rezim Khomeini atas kaum Baha'i ini tak kurang
mengagetkan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan.
Sampai-sampai ia, dua pekan lalu, merasa perlu mengeluarkan
pernyataan mengutuk Pemerintah Iran. "Dengan sangat saya
mengajak para pemimpin dunia menyeru Ayatullah Khomeini dan
pemimpin Iran lainnya untuk membatalkan hukuman terhadap insan
tak berdosa ini," kata Reagan.
Para pejabat Gedung Putih menambahkan bahwa pengejaran terhadap
minoritas Baha'i di Iran merupakan "masalah penting dan sangat
serius." Sejak 1979, tercatat 150 umat Baha'i, pria dan wanita,
yang digantung atau ditembak mati oleh kaki tangan Khomeini.
Dan ironinya, kali ini, pengadilan terhadap kaum Baha'i terjadi
di Shiraz -- kota kelahiran tokoh Baha'i Sayid Mirza Ali
Mohammad Syirazi. Adalah tokoh ini yang mengadakan persekutuan
dengan mazhab Syaikhiah, sekte sangat masyhur dalam keluarga
besar Syi'ah, untuk hidup saling menghormati.
Syirazi, yang lahir 1819, mengumumkan dirinya sebagai Bab, jalan
penampakan hakikat Illahi, pada 22 Mei 1844. Berkat kehebatannya
berdakwah, ajarannya segera tersebar ke seluruh Persia, dan
membangkitkan oposisi terhadap kaum mullah dan pemerintah.
Menyadari bahwa Syirazi bisa membahayakan kelangsungan Tahta
Merah, maka Syah Iran lalu mengeluarkan perintah penangkapan
terhadap pemimpin Baha'i tersebut. Dan ia kemudian dijatuhi
hukuman mati. Pada 1850, Syirazi dibawa ke Tabriz, ditambatkan
di tembok kota, dan ditembaki ratusan serdadu. Peristiwa ini
disusul oleh pembataian 20.000 pengikut Syirazi.
Tersebutlah kemudian Mirza Husayn Ali murid kinasih almarhum
Bab, yang kelak terkenal dengan julukan Baha'ullah. Setelah
percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Syah Iran, Agustus
1852, Baha'ullah dijebloskan ke dalam penjara Teheran. Ia
dibebaskan Januari 1853, dan dibuang ke Bagdad. Di sinilah, di
sebuah taman agak di tepi kota, ia mengumumkan dirinya sebagai
utusan Tuhan, April 1863.
Bah'ullah disaingi oleh saudaranya seayah, Mirza Yahya Subhul
Azal. Tokoh ini meninggal pada 1912, dan pengikutnya
berangsur-angsur menyembunyikan diri ke Pulau Siprus. Baha'ullah
sendiri harus menjalani berbagai pembuangan, baik oleh
Pemerintah Persia maupun Turki. Dari Bagdad ia dihalau ke
Konstantinopel, Adrianopel dan terakhir ke Akka di Palestina --
tempat ia wafat pada 1892. Namun ia sempat melihat ajarannya
menyebar ke seluruh Persia dan Kerajaan Ottoman, ke Kaukasus,
Turkistan, India, Burma, Mesir, dan Sudan.
Baha'i kemudian berkembang menjadi "agama ketenteraman dan
kemanusiaan universal, yang antiperang apapun." Tahun Hijarah
mereka ganti dengan tahun Persia kuno yang berdasarkan
perhitungan matahari. Setahun dibagi menjadi 19 bulan, tiap
bulan 19 hari. Puasa (khusus bagi yang berumur 11-42 tahun)
dimulai 19 hari sebelum saat equinox bulan Maret -- yakni
tanggal 21.
Angka 19 dianggap suci karena ia jumlah bilangan huruf yang
terkandung dalam kalimat Wahid (Maha Satu). Dalam soal syariat
ia membuat panafsiran yang bertolak belakang dengan formalisme
yang lazim.
Baha'i mencita-citakan satu bahasa universal. Sebelum itu,
mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab.
Sembahyang -- kecuali salat jenazah tak boleh berjamaah. Dan
kiblat mereka bukan ke Ka'bah, melainkan ke makam Baha'ullah.
Kedudukan Baha'ullah kemudian digantikan putranya tertua, Abdul
Baha' (1844-1921). Setelah itu tampil Shoggi Effendi Rabbani
(1896-1957), cucu sulung Abdul Baha'. Ajaran Baha'i kemudian
menyebar sampai ke Afrika, Eropa, Amerika, Timur Jauh,
Australia, Asia Tenggara, Pasifik. Mempunyai pengikut di 173
negeri -- termasuk puak terbelakang Afrika dan Indian Amerika.
Dari markas besarnya di Haifa, Palestina, agama ini mengatur
umatnya melalui majelis rohani yang terletak di bawah Balai
Keadilan Internasional. Kitab suci mereka adalah A1 Aqdas (Yang
Kudus) yang berisi kumpulan nasihat Almarhum Syirazi.
Pengikutnya konon lebih 12 juta -- 100.000 orang di antaranya di
Amerika Serikat.
Dengan sifatnya yang agak duniawi, mudah dimengerti mengapa para
mullah dan penguasa Iran menaruh curiga terhadap para pengikut
Baha'i. Apalagi sepanjang sejarah boleh dibilang umat Baha'i tak
pernah tenteram di bumi Iran. Selama 100 tahun terakhir tidak
kurang dari 20.000 Baha'i terbunuh di negeri itu.
Kini nasib pengikut Baha'ullah itu cukup gawat. Dari 22 yang
dijatuhi hukuman mati, "dua pria dan seorang wanita sudah
menjalani eksekusi," kata Firuz Kazemzadeh, seorang Baha'i
keturunan Iran yang mengetuai Komite Studi Timur Tengah
Universitas Yale, AS.
Dan anak-anak Baha'i dikeluarkan dari sekolah. Orang dewasa
kehilangan pekerjaan. Tercatat sekitar 4.000 orang Baha'i hidup
dalam persembunyian. Mengutip para pengurus Baha'i, Kazemzadeh
menyebutkan "sekitar 15.000 sampai 20.000 Baha'i mengungsikan
diri dari Iran selama beberapa tahun terakhir ini."
Tuduhan yang dilemparkan para penguasa Iran terdengar agak aneh.
"Kaum Baha'i itu tidak mau berpartisipasi di lapangan politik,"
ujar seorang hakim di Shiraz. Dengan bersikap abstain, mereka
dinilai "berusaha mendirikan negara dalam negara." Lagi pula
mereka menentang kekerasan, menganjurkan persamaan hak antara
pria dan wanita, serta mendambakan perdamaian universal melalui
pemerintahan dunia. "Semua itu pekerjaan setan," kata para
penguasa Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini