Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Membaca Peta Damai <font color=#FF9900>Palestina</font>

Bentrokan antara Israel dan kelompok militan Palestina mulai meletup. Presiden Barack Obama mengirim utusan khusus ke Timur Tengah. Seorang diplomat yang sabar, dengan misi pertama: mendengarkan semua pihak.

2 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI langit Gaza yang berbatasan dengan Mesir, pesawat tempur Israel kembali meraung dan menumpahkan bom-bom. Rabu pekan lalu, gencatan senjata yang secara sepihak dimaklumkan Israel lebih dari sepekan sebelumnya itu terputus sejenak oleh pesawat yang hendak menghancurkan terowongan-terowongan di dekat Kota Rafah. Ya, terowongan yang diyakini telah memasok Gaza dengan makanan dan senjata buat Hamas.

Di Yerusalem, pada hari yang sama, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert menyambut hangat kedatangan George John Mitchell, utusan Amerika Serikat untuk urusan konflik Israel-Palestina. Keduanya berjabatan erat, bertukar senyum lebar. ”Penguatan gencatan senjata adalah kebutuhan yang genting,” ujar Mitchell.

Pada pertengahan Januari lalu, Israel menghentikan serangan dari darat, laut, dan udaranya yang menewaskan 1.400 orang dan melukai 5.500 warga Gaza. Suatu operasi militer yang seakan sengaja dihentikan untuk menghormati upacara pelantikan Presiden Amerika ke-44, Barack Hussein Obama. Mengapa kali ini Tel Aviv mengirim sinyal yang berbeda manakala utusan perdamaian itu mengawali langkahnya?

Israel sendiri menyatakan bahwa gempuran udara itu merupakan balasan atas serangan kelompok militan Palestina terhadap patroli militer Israel di dekat perlintasan perbatasan Kissufim, sehari sebelumnya. Seorang serdadu Israel tewas akibat serangan itu, dan seorang petani Palestina tewas akibat serangan balasan pasukan Israel. Inilah bentrokan pertama setelah Israel dan kelompok Hamas masing-masing memaklumkan gencatan senjata secara sepihak.

Utusan Amerika, Mitchell, 75 tahun, memang menghadapi masalah yang paling mendasar dan berumur panjang di Timur Tengah. Presiden Barack Obama menunjuk Mitchell untuk mendinginkan konflik Israel-Palestina saat ia masuk Gedung Putih. Ia dikenal sebagai juru runding yang akrab dengan konflik bersenjata. Dialah arsitek perdamaian dengan rekor menyeberangi Samudra Atlantik sekitar 100 kali untuk memaksa kelompok Katolik radikal IRA berdamai dengan kelompok Protestan radikal di Irlandia Utara lewat kesepakatan Good Friday pada 1998.

”Ia memiliki kesabaran luar biasa duduk di sana hingga kesepakatan dicapai,” kata Ross Baker, analis politik. Dan Timur Tengah bukan masalah baru baginya. Pada Oktober 2000 ia memimpin misi pencarian fakta di balik kerusuhan Palestina. Laporan Mitchell itu meminta Israel menghentikan seluruh kegiatan permukiman dan menghentikan penembakan terhadap demonstrasi warga Palestina tak bersenjata, tapi meminta otoritas Palestina menghentikan kerusuhan dan menghukum pelakunya. ”Tak semuanya senang, tapi itu hal yang baik,” ujar Ghaith al Omari, bekas negosiator Palestina. Tak mengherankan bila pendekatan ”tak berpihak” Mitchell ini membuat sejumlah kelompok moderat pro-Israel dan pro-Palestina mengharapkannya.

Tapi kelompok radikal Israel khawatir pemerintahan Obama memaksa Israel membuat konsesi untuk Palestina. Meski Obama terang-terangan menyatakan berpihak pada Israel saat kampanye presiden dan sebelum dilantik, dan memberikan komentar yang mengkhawatirkan Israel. Dalam wawancara dengan televisi Al-Arabiya, Obama menyatakan akan membuka lembaran baru dalam hubungannya dengan negara muslim, Selasa lalu. ”Bangsa Amerika bukan musuh kalian,” katanya. Mengkritik pemerintah sebelumnya, Obama mengawali diplomasinya dengan pernyataan yang rendah hati. ”Apa yang saya katakan padanya (Mitchell) mulailah dengan mendengar. Karena terlalu sering Amerika memulainya dengan mendikte,” ujarnya.

Dan pendekatan seperti ini rupanya tak lepas dari perhatian Hamas di Gaza. ”Dalam beberapa hari ini banyak pernyataan (dari Obama). Beberapa di antaranya sangat positif, termasuk memilih George Mitchell sebagai utusan,” ujar Ahmed Yosef, pejabat senior Hamas. ”Saya kira ada sejumlah hal yang positif yang harus kami perhitungkan.”

Tapi riwayat politik George Mitchell juga punya cerita lain. Meski ibunya perempuan keturunan Libanon, Mitchell tak pernah membela kepentingan Arab dalam karier politiknya di Senat. Dalam catatan pemungutan suara di Senat Amerika, Mitchell selalu membela Israel. Ia juga mendukung paket bantuan untuk Israel, dan menentang penjualan senjata Amerika kepada negara Arab.

Morris Amitay, bekas Ketua Komite Urusan Amerika Israel, senang dengan catatan pernyataan Mitchell saat menjadi anggota Senat. Tapi ia khawatir komentar Mitchell tentang perlunya tekanan kepada Israel dan Palestina untuk mencapai perdamaian. ”Ini merisaukan saya,” ujar Amitay.

Dalam perjalanannya di Timur Tengah, Mitchell memang tidak menjadwalkan pertemuan dengan Hamas, yang dituding Amerika, Israel, dan Uni Eropa sebagai organisasi teroris. Ia hanya menjadwalkan pertemuan dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas. Tapi ia mengatakan, gencatan senjata jangka panjang harus berdasarkan pada penghentian penyelundupan senjata ke Gaza dan membuka pintu perbatasan Gaza. Sebaliknya Israel dan Mesir sepakat menutup pintu masuk ke Gaza untuk melemahkan Hamas di Gaza.

Di Israel Mitchell menyimak kebulatan tekad Perdana Menteri Ehud Olmert melenyapkan kekuasaan Hamas di Gaza dan menggantinya dengan pemerintah Presiden Mahmud Abbas yang memang mudah diakali Israel. Dari Menteri Pertahanan Ehud Barak, Mitchell mendengar tekad yang sama: Israel akan terus menggelar ”perang melawan teror” di Gaza.

Tapi seorang analis Palestina mengingatkan bahwa setiap pertempuran di Gaza untuk melenyapkan citra Hamas di antara rakyat Palestina hanya makin melemahkan jalan perundingan yang dilakukan Presiden Mahmud Abbas. ”Abbas telah kehilangan legitimasi di kalangan rakyat Palestina, karena pembicaraan damai tertatih-tatih dan Israel gagal menghentikan permukiman,” ujar Khalil Shikaki, Direktur Pusat untuk Kebijakan dan Riset di Tepi Barat.

Perdana Menteri Olmert menyatakan kepada Mitchell, Israel menggasak Gaza untuk melemahkan Hamas, dan mendukung Abbas untuk mencapai perdamaian. Tapi pejabat Israel menyatakan proses perdamaian bakal mubazir. ”Sejumlah besar pemimpin Israel tak mempercayai kesepakatan (dengan Palestina),” ujar analis Israel. Pasalnya, Abbas tidak dalam posisi membuat konsesi yang dibutuhkan Israel, dan Hamas tak akan menyerahkan kontrolnya atas Gaza agar kesepakatan bisa diperoleh. ”Penegasan Mitchell bahwa konflik akan larut tak berlaku di sini.”

Di Tepi Barat, Perdana Menteri Pemerintah Otoritas Palestina Salam Fayyad sudah menyiapkan tuntutan yang akan didengar Mitchell ketika berkunjung pada Kamis lalu. Fayyad meminta pemerintah Obama mengambil dua langkah untuk mengakhiri jalan buntu. Pertama, memaksa Israel menghentikan pertumbuhan permukiman. Kelompok perdamaian Israel Peace Now menyatakan, tahun lalu ada 1.257 permukiman baru dibangun di Tepi Barat, padahal pada 2007 hanya ada 800.

Kedua, mendorong Hamas dan Fatah membentuk pemerintah nasional yang bisa bernegosiasi dengan Israel. Selama ini pemerintah Presiden Bush menolak upaya itu dengan mengisolasi pemerintah Hamas, pemenang pemilu secara demokratis yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniyeh. Akibatnya, pemerintah Haniyeh jatuh, meski belakangan berkoalisi dengan Fatah.

Menurut Fayyad, Hamas mungkin setuju pemerintah Palestina dipimpin figur di luar Hamas dan Fatah, dengan syarat pemilihan umum akan digelar dalam satu tahun ini. Bahkan, katanya, ia bersedia mengambil risiko Hamas menang dalam pemilu itu, yang berarti juga Hamas menguasai wilayah Tepi Barat. Sebab, katanya, akan menjadi malapetaka bagi Palestina jika Gaza dan Tepi Barat terbelah. Walhasil, Fayyad hanya bisa berharap Hamas dan Fatah bisa rujuk. ”Ini pesan saya pada dunia: Kami bangsa Palestina punya perbedaan politik. Tapi biarkan kami menemukan jalan kami. Cepat atau lambat, negeri kami akan bersatu.”

Suara-suara itulah yang disimak Mitchell dalam perjalanannya ke Timur Tengah. Entah berapa kali ia akan menyeberangi Samudra Atlantik. Yang terang, dunia yang beradab berharap ada keajaiban yang dibawa Mitchell dan Obama di Timur Tengah.

Raihul Fadjri (AP, Reuters, BBC, LA Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus