Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"INI sungguh indah,” ujar Saddam Hatim, mengagumi poster para kandidat anggota Dewan Provinsial yang bertebaran di jalanan Bagdad. Hatim seorang pengikut Sunni. Pada 2005, dia ikut memboikot pemilu. Kelompok Sunni menolak pemilu karena pemerintah membatasi partai yang terlibat dan warga hanya memilih partai, bukan kandidat. Akibatnya, kelompok ini tersingkir dari kekuasaan.
Tapi kali ini ketentuan itu diubah. Sabtu pekan lalu, bersama sekitar 14 juta warga Irak lainnya, Hatim memilih sekitar 14.400 kandidat dari 420 partai terdaftar, yang memperebutkan 440 kursi Dewan Provinsial di 14 dari 18 provinsi.
Sunni sejak dulu cuma kelompok minoritas di Irak. Sekarang pun demikian. Meski belum ada sensus terbaru, diperkirakan pengikut Sunni paling banyak cuma 20 persen dari sekitar 28 juta warga Irak saat ini. Sedangkan mayoritas warga Irak, sekitar 60 persen, adalah pengikut Syiah.
Meski minoritas, terutama pada era Saddam Hussein dan Partai Baath, mereka menguasai Irak. Bertahun-tahun lamanya para pemimpin Irak datang dari Arab Sunni yang kebanyakan tinggal di daerah Segitiga Emas: Bagdad, Mosul, dan Ar-Rutbah.
Bukan cuma di pemerintahan, posisi-posisi penting di militer pun selalu dipegang pengikut Sunni. Sebaliknya, komunitas Syiah, yang banyak menetap di wilayah selatan Irak, sering mendapat perlakuan tak adil dari pemerintah Saddam.
Tak aneh, sejak dulu, kelompok Syiah bercita-cita mendongkel Sunni dari kekuasaan jika ada kesempatan—sekecil apa pun. Dan kesempatan itu akhirnya datang saat Amerika menggempur Irak dan menumbangkan Saddam pada 2003. Akibat kebijakan de-Baathisasi, banyak pengikut Sunni kehilangan pekerjaan di pemerintahan dan terlempar dari kekuasaan. Pembubaran tentara Irak juga mengirim ”pulang” banyak pengikut Sunni.
Sebenarnya, mereka berusaha terlibat ketika Amerika membentuk Dewan Provinsial pada Juli 2003. Tapi mereka terus tersingkir oleh dominasi Syiah yang makin kuat—konsekuensi dari keberadaan Syiah sebagai kelompok mayoritas. Puncaknya terjadi ketika mereka menolak pemilu empat tahun lalu.
Pertikaian yang berakar jauh ke masa Saddam ini memicu bentrokan berdarah yang tak berkesudahan antara pengikut dua aliran ini sejak 2003, yang meruncing setelah pemilu 2005. Banyak pihak berharap kesediaan kelompok Sunni terlibat dalam pemilu kali ini menjadi momen penting untuk rekonsiliasi sipil di Irak. Apalagi Presiden Barack Obama telah bertekad untuk segera menarik sekitar 140 ribu tentara Amerika dari sana.
Itu sebabnya, dalam turnya membantu kampanye Partai Dawa, Perdana Menteri Nouri al-Maliki terus-menerus menyeru warganya ikut memilih dengan damai. ”Kita akan memberikan tamparan bagi mereka yang menganggap rakyat Irak tak mungkin datang ke tempat pemungutan suara karena sudah kehilangan harapan,” katanya.
Memang bentrokan dan pembunuhan masih terjadi. Kamis pekan lalu, misalnya, tiga kandidat dari Sunni diserang orang tak dikenal. Abbas Farhan al-Azzawi, mantan kolonel dan anggota Partai Reformasi dan Pembangunan, dibunuh di Diyala. Hazim Salim Ahmed, tokoh Sunni terkemuka yang juga teman dekat Nouri al-Maliki, dibunuh di Mosul. Dan Omar Farouk al-Ani, anggota Partai Islami Irak, ditembak di dekat rumahnya di Amiriya, Bagdad.
Toh, banyak pihak berharap itu gejolak-gejolak kecil menjelang rekonsiliasi permanen. ”Asalkan semua segmen dalam masyarakat terwakili secara memadai, ini akan menyelesaikan banyak masalah berkaitan dengan pemilihan 2005,” kata Robert Malley, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di International Crisis Group.
Philipus Parera (CNN, New York Times, Al-Jazeera, Times Online)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo