GENCATAN senjata masih berlaku di kawasan Teluk ketika sebuah pesawat Fokker Friendship F-27 milik angkatan laut Iran dibajak, Jumat pekan silam. Pesawat angkut bermesin dua, yang dikabarkan melayani rute dalam negeri itu, telah dibelokkan dari tujuan semula oleh sekawan pembelot. Dan tampaknya mereka tidak mengalami kesulitan tatkala meninggalkan wilayah udara Iran. Peristiwa yang agak luar biasa ini terjadi pagi hari. Di antara pembajak tercantum nama Letnan Kolonel Hussain Ghaderman dan Copilot Letnan Kolonel Mohamed Ghobek. Bersama mereka ikut empat personil militer dan dua sipil. Para pembelot, yang diduga bertujuan mencari suaka politik, pertama-tama mendaratkan Fokker di Manama, Bahrain. Oleh pemerintah setempat. Mereka tidak diizinkan turun dari pesawat, tapi diperbolehkan mengisi bahan bakar. Dua jam kemudian pesawat meneruskan perjalanan ke Kairo. Setiba di lapangan udara Luxor, Mesir, para pembelot diamankan, sementara permintaan suaka mereka dipertimbangkan. Tapi sumber-sumber diplomatik memperhitungkan, Teheran akan menilai setiap bentuk pemberian suaka sebagai sikap bermusuhan. Sampai awal pekan ini, belum ada reaksi resmi dari pemerintah Iran. Sedangkan pemerintah Mesir, yang sudah memastikan menolak para pembelot, masih memberi kesempatan pada mereka untuk memperjuangkan suaka ke negara lain - kemungkinan besar ke Eropa atau Amerika Latin. Walau masih diselubungi misteri, pembajakan sebuah pesawat militer yang bukan pertama kali ini tidaklah bisa dianggap perkara ringan. Sebab, kejadian itu berlangsung hampir bersamaan dengan sebuah aksi protes di Teheran yang mengambil tema "Pekan Martir dan Tahanan Politik". Sebelum ini telah pula terjadi bentrokan antara gerilyawan Mujahiddin Khalq dan Pengawai Revolusi. Tidak itu saja. Konon menurut sumber diplomatik, sebelumnya sudah ada penerbang Iran yang membajak pesawat ke Arab Saudi dan seorang penerbang lain melarikan helikopter ke Mesir. Dan sejak awal Mei, Ayatullah Khomeini tercatat telah tiga kali mengecam kaum ulama yang menjadi kelompok pendukungnya. Pertama-tama, Khomeini menuduh musuh-musuh Iran yang memanfaatkan para ulama dan kaum munafik untuk mendongkel dari dalam. Kemudian, pemimpin besar itu murka karena kelompok mullah, katanya, telah menghina Pengawal Revolusi. Apakah itu benar? Khomeini memarahi para ulama itu, konon, karena mereka berani mengeluh. Para mullah dikabarkan bertanya, "Mengapa masa damai tidak kunjung tiba dan berapa lama lagi anak-anak kita terus dibunuhi?" Ucapan begini dianggap Khomeini melemahkan semangat juang, padahal Iran memerlukan seluruh dana dan daya untuk menggulingkan presiden Irak Saddam Hussein. Bukankah Khomeini sudah mempermaklumkan bahwa 5 Juni, hari perlawanan Syiah terhadap Syah Iran, harus diperingati sebagai hari pahlawan? Sumber-sumber Barat meramalkan 5 Juni sebagai hari penyerbuan ke Irak. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dalam satu "dogfight" yang kurang seru, dua pesawat tempur F-4 milik Iran ditembak jatuh oleh pesawat tempur F- 15 milik Arab Saudi pada minggu kedua Juni. Ternyata, duta besar Arab Saudi di Washington, Pangeran Bandar bin Sultan tidak bangga dengan keberhasilan ini. Setengah menyesal ia berkata, "Sayang sekali, kami terseret dalam konflik ini." Arab Saudi sejak mula memang menjauhi keterlibatan militer dalam perang Iran - Irak. Pelanggaran wilayah udara atau perairan Arab Saudi sudah berkali-kali dilakukan pesawat Iran, tapi pembalasan baru dilakukan belakangan, justru ketika gejolak perang agak mereda, dan rezim Khomeini sedang dilanda kesulitan. Presiden Saddam Hussein ternyata tidak buru-buru memanfaatkan peluang baik ini. Diduga, ia sedang mempelajari situasi, apalagi suara-suara yang terlontar dari Teheran akhir-akhir ini semakin sopan. Pekan lalu, menyambut seruan Sekjen PBB untuk sebuah gencatan senjata, ketua Majelis (Parlemen) Iran Hashemi Rafsanjani bahkan berkata, Iran bersedia menghentikan pencmbakan atas semua kapal sipil. "Jika Irak tidak mengacau perairan Teluk, kami tidak akan menembakkan satu peluru pun," janjinya. Lewat dua hari barulah Baghdad bereaksi. Menpen Irak Latif Nassif al-Jassim menyerukan supaya Iran secara eksplisit menerima resolusi PBB 540 (yang notabene mengutuk Iran) seraya menjamin kebebasan berlayar di perairan Teluk. Tapi menurut para pengamat, demi kepentingan Irak, lebih tepat jika jaminan yang diminta Baghdad mencakup kebebasan mengekspor minyak lewat Selat Hormuz. Andaikata syarat ini diterima Iran, berarti Teheran sudah siap-siap mengakhiri perang. Tapi kemungkinan seperti itu masih terlalu tipis. Yang bisa dilihat dunia internasional kini tak lain dari sikap Iran yang sukar ditebak. Sesudah menyatakan kesediaan menerima tim pengawas PBB, awal pekan ini, Iran justru melanggar gencatan senjata dengan menembaki Dusun Sayed Sadeq selama 2 1/2 jam tanpa henti. Diperkirakan, situasi ini dimanfaatkan Teheran untuk mencuri waktu menyusun kekuatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini