Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memang bisa diganti di tengah jalan

Menteri pertambangan dan energi subroto, diwawancarai dengan tempo, tentang pergantian pucuk pimpinan pertamina dari joedo sumbono ke abdul rachman ramly. (nas)

23 Juni 1984 | 00.00 WIB

Memang bisa diganti di tengah jalan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK kelihatan lagi map dan berkas yang menggunung di atas meja kerja Menteri Subroto. Mungkin itu berkat bantuan mesin pintar yang sejak beberapa waktu lalu setia menemani sang Menteri di samping kursinya: sebuah personal computer. "Komputer ini memang banyak menolong saya," katanya. Juga tentang keuangan Pertamina? Sembari tertawa, Menteri Subroto mengatakan bahwa soal itu adalah urusan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), yang kini diketuai Drs. Gandhi. Sehari sebelum acara serah terima jabatan Direktur Utama Pertamina dari Joedo Sumbono kepada A. Rachman Ramly, Menteri Subroto mengatakan, pergantian pucuk pimpinan Pertamina dilakukan karena salah satu sasaran agar Pertamina dapat di-account dan di-audit keuangannya belum tercapai. Tapi beberapa direksi Pertamina membantah: menurut mereka, sasaran itu baru akan jatuh pada tahun depan. Maka, soalnya jadi lebih menarik. Agar jelas soalnya, TEMPO pun bertanya. Berikut ini adalah wawancara khusus Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto dengan Fikri Jufri dari TEMPO, Senin lalu. Beberapa petikan: Dalam pidato pelantikan, Pak Broto mengatakan bahwa pergantian pimpinan di dalam kehidupan suatu perusahaan merupakan suatu hal biasa. Tapi yang agaknya tak biasa, digantinya Joedo Sumbono sebagai Direktur Utama Pertamina terjadi di tengah jalan: dia baru memimpin selama tia tahun, sedangkan lazimnya itu berlaku lima tahun. Masa jabatan Direktur Utama Pertamina memang ditetapkan lima tahun sekali. Tapi ada ketentuan yang menyebutkan: bisa kurang dari jangka waktu itu. Jadi, lima atau tiga tahun, itu bukan merupakan suatu jangka waktu yang mati. Berdasarkan kebutuhan, pemerintah bisa mengganti pimpinan di tengah jalan, bila dianggap perlu. Pergantian pucuk pimpinan Pertamina juga Bapak hubungkan dengan masa depan pasaran minyak yang kini masih lemah dan amat bersaing di pasaran internasional. Maka, dibutuhkan suatu keahlian dan pendekatan baru di bidang pemasaran. Tapi bukankah pimpinan yang lama justru punya pengalaman yang cukup di bidang pemasaran, setidaknya pemasaran dalam negeri? Pengalamannya itu lebih tepat kalau disebutkan "pengadaan" bahan bakar untuk dalam negeri (PDN). Padahal, masalah pemasaran itu lain dengan pengadaan. Bidang PDN itu 'kan tak punya saingan. Sedangkan pemasaran minyak kini menghadapi persaingan yang makin lama terasa makin keras. Apakah selama ini kurang dilakukan upaya untuk mencari dan menembus pasaran di luar negeri? Bidang marketing di Pertamina itu sampai sekarang memang belum dan bukan merupakan bagian yang terkuat. Karena masih terbawa oleh suatu situasi seller's market yang berlaku lama. Sedangkan keadaannya sejak beberapa tahun lalu sudah terbalik: penjual yang harus mencari pembeli. Karena itu, bagian pemasaran dari Pertamina masih perlu mendapatkan pengarahan baru dan penguatan baru, agar kemampuannya meningkat untuk menghadapi situasi persaingan yang pasti akan lebih ketat. Bukan saja untuk minyak mentah, tapi juga untuk ekspor hasil dari minyak, dengan selesainya perluasan beberapa kilang minyak, seperti di Cilacap dan Balikpapan. Apakah pimpinan yang baru di Pertamina itu punya kemampuan itu? Dari pimpinan baru ini memang dituntut banyak hal. Pertama, gaya kepemimpinannya, yang bisa memadukan pendapat dari bermacam-macam pihak, yang didasarkan pada suatu analisa yang mendalam. Ia juga harus mampu mengarahkan operasi kilang-kilang minyak sedemikian rupa sehingga Pertamina bisa mencapai pendapatan dari minyak secara optimum. Dengan kata lain, bisa menekan biaya-biaya produksi BBM. Terakhir, orang itu dipandang akan mampu menghadapi situasl pasaran mmyak, dan kelak hasil dari minyak, yang bersaing. Dan ketiga unsur itu dinilai ada pada pimpinan yang baru. Apakah Pak Ramly yang Anda kenal memiliki kebolehan tadi, terutama dalam hal gaya manajemen yang luwes tapi lugas? Saudara jangan lupa, bidang pemasaran minyak itu bukan melulu menyangkut soal teknis ekonomis. Tapi juga membutuhkan suatu diplomasi internasional. Dan Saudara Ramly, yang pernah menjadi konsul jenderal RI di Singapura, Hong Kong, dan New York, saya kira memiliki kualifikasi itu. Dia juga saya nilai berhasil mengelola PT Timah, di tengah lesunya pasaran karena resesi dunia. Tadi Pak Brato mengatakan bahwa biaya produksi kilang-kilang minyak Pertamina itu baru akan bisa ditekan kalau sudah beroperasi secara penuh. Apa hambatannya sehingga kapasitas produksi pengilangan itu masih berlebih? Apa manajemennya yang kurang baik? Bukan. Itu disebabkan karena filosofinya itu masih mengarah pada hanya memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Dengan demikian, kapasitas pabrik tak dipakai secara sepenuhnya, sehingga biaya pengolahan pun menjadi tinggi. Sekarang tentang accountability dan auditability Pertamina. Kenapa masalah yang sudah lama dipersoalkan itu sampai sekarang masih belum rampung juga? Ketika Joedo Sumbono dilantik sebagai Dirut Pertamina, April 1981, salah satu tugasnya adalah, agar pembukuan Pertamina sudah bisa di-account dan di-audit pada tahun 1983. Maksudnya, supaya semua pengeluaran dan penerimaan bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat diteliti asal usulnya. Ada beberapa hal yang kita lihat selama ini: Pertama, accountability dan audttability itu perlu dipersiapkan cara-caranya untuk pembukuan, yang disebut manuals. Dan manuals ini memang sudah dipersiapkan oleh beberapa konsultan asing terkenal yang disewa pemerintah, misalnya Arthur Young dan Cooper & Leybrand. Tapi dalam praktek belum dilaksanakan. Hal lain adalah, sebagian besar orang Pertamina yang bekerja dalam urusan itu dibesarkan dalam suatu sistem yang dahulu. Sehingga, terjadi kelambanan untuk beralih ke sistem pembukuan yang baru. Cara pembukuan yang mereka lakukan itu sudah termasuk usang. Juga terjadi banyak penyimpangan dalam cara penerapan pnnsip-prinsip akuntansi. Dari pembukuan Pertamina tahun 1983-1984 juga tecermin bahwa mereka masih mengikuti sistem lama. Beberapa pihak di Pertamina mengatakan, sasaran accountability dan auditability itu adalah pada tahun 1985-1986. Betulkah? Tidak betul itu. Dewan Komisaris menugasi itu harus sudah dilaksanakan tahun 1983. Apakah sistem pembukuan yang baru itu belum dilaksanakan oleh satu bagian tertentu di Pertamina? Terpencar-pencar. Ada yang sudah lebih dulu membuat, seperti di Direktorat Perkapalan, tapi belum lengkap. Ada yang baru sebagian dibuat. Ada pula yang belum membuatnya sama sekali. Tapi yang penting adalah keseluruhan itu, yang tecermin dalam suatu pembukuan konsolidasi. Itu yang kemudian di-audit oleh BPKP. Apa kesimpulan dari BPKP? Dalam tahun 1982-1983, kesimpulan dari BPKP tentang audit Pertamina adalah: belum dapat memberikan pendapat (no opinion). Apakah kesimpulan seperti itu karena kurang adanya kerja sama? Salah satu catatan dari BPKP sehingga tak bisa memberikan pendapat, di samping karena masih lemahnya pengawasan ke dalam, cara-cara pembukuan yang dilakukan tidak menurut kelaziman suatu pembukuan, juga karena tidak bisa memperoleh informasi yang diperlukan. Dalam suatu wawancara dengan majalah Eksekutif, Juni 1982, Dirut Joedo Sumbono antara lain mengatakan, sebagai direktur utama Pertamina ia "diperkenankan melapor langsung kepada Bapak Presiden untuk hal-hal yang memerlukan keputusan cepat." Bagaimana sebenarnya hubungan Direksi Pertamina dengan Dewan Komisaris? Presiden bisa saja langsung memanggil direktur utama, mengenai sesuatu yang ingin beliau sampaikan. Hubungan Direksi dengan Dewan Komisaris sudah jelas diatur dalam UU Pertamina No. 8 tahun 1971. Dalam pasal 27 UU itu, disebutkan: Direksi diwajibkan meminta persetujuan dari Dewan Komisaris di dalam tindakan-tindakan yang mengikat kekayaan perusahaan sebagai jaminan. Juga dalam melakukan pinjaman yang melampaui suatu jumlah yang sudah ditetapkan Dewan Komisaris. Kemudian, jika Direksi ingin mendirikan anak-anak perusahaan atau menyertakan modal dalam suatu perusahaan, dan jika ingin mengadakan suatu kontrak penjualan atau pembelian, yang sifat dan besarnya ditetapkan Dewan Komisaris. Jadi, dalam masalah yang berhubungan dengan suatu tindakan komersiil dan finansiil, Pertamina harus memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris. Indonesia dikabarkan sudah memasuki pasaran spot. Para pengusaha di Singapura selalu mengutip harga jenis-jenis minyak Indonesia di pasaran spot. Bagaimana sampai kita masuk ke sana? Masalah minyak Indonesia yang masuk di pasaran spot itu bermula dengan adanya suatu perjanjian pengilangan (processing deal) dengan Singapura. Yaitu, Indonesia setiap kali mengirim minyak mentahnya ke Singapura, dan sebaliknya Singapura mengirim hasil-hasil pengilangannya ke Indonesia. Nah, minyak mentah yang kita kirim itu kemudlan menjadi hak Singapura, yang mereka jual ke pasaran spot. Jadi, Pertamina tak pernah secara langsung menjual di pasaran spot. Tidak pernah. Kalau kemudian ada kutipan bahwa harga minas crude di pasaran Singapura nu lebih rendah dan harga kontrak yang dijual Pertamina ke para pembeli di Jepang, misalnya, itu adalah akibat processing deal tadi. Ada yang berpendapat, agar pada masa sulitnya pemasaran dan masih melemahnya harga minyak, Indonesia sebaiknya membatasi eksplorasinya. Apa betul itu? Saya kira tidak begitu. Iklim, suasana, dan kecepatan eksplorasi itu setidaknya jangan sampai terganggu. Cekungan-cekungan yang mengandung minyak masih tersebar sangat luas di Indonesia, tapi sayangnya kandungan minyaknya tergolong kecil. Karena itu, kegiatan eksplorasi - yang sebagian besar kini dilakukan para kontraktor asing dalam bentuk kerja sama bagi hasil - senantiasa perlu ditingkatkan. Omong-omong, bagaimana iklim investasi di bidang minyak sekarang? Dilihat dari segi anggaran yang disediakan untuk tahun 1984 ini, sebanyak US$ 1 milyar, kelihatannya belum mengendur, baik untuk eksplorasi maupun pencarian sumur baru. Suatu jumlah yang memang tidak berbeda dengan anggaran tahun 1983. Jumlah kontraktornya yang mungkin berbeda: selama 1983 cuma tiga kontraktor minyak yang masuk, sedang tahun ini, sampai Juni sekarang sudah ada tiga. Itu belum seberapa bila dibandingkan dengan iklim investasi pada tahun 1981 dan 1982. Ketika itu kontraktor yang masuk masing-masing sebanyak 11 dan 12 buah. Mudah-mudahan iklim investasi akan lebih baik. Itu pula yang menjadi tantangan bagi pimpinan baru Pertamina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus