Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah film tentang pengusiran militer Israel terhadap komunitas Palestina di Tepi Barat, "No Other Land", memenangkan piala Oscar 2025 pada Ahad. Keempat sutradara film dokumenter yang berasal dari Palestina dan Israel itu mengimbau dunia untuk membantu mengakhiri pendudukan Israel di Palestina. Mereka juga menuduh Amerika Serikat menghalangi solusi perdamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para sutradara film tersebut, aktivis Palestina Basel Adra dan jurnalis Israel Yuval Abraham, menghabiskan waktu lima tahun untuk membuat film tersebut. Film itu menunjukkan tentara Israel merobohkan rumah-rumah dan mengusir penduduk di wilayah pendudukan Tepi Barat untuk membuat tempat pelatihan militer dan permukiman Yahudi di komunitas Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film dokumenter tersebut menyoroti realitas paralel dua sutradara itu. Abraham dengan plat nomor kuning Israel bisa bepergian ke mana saja, sedangkan Adra terkurung di wilayah yang semakin sempit bagi warga Palestina.
"'No Other Land' mencerminkan kenyataan pahit yang telah kami alami selama beberapa dekade dan masih kami lawan saat kami menyerukan kepada dunia untuk mengambil tindakan serius untuk menghentikan ketidakadilan dan menghentikan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina," kata Adra saat naik panggung, dikutip dari Reuters.
No Other Land ditayangkan perdana di festival film Berlin tahun lalu dan memenangkan penghargaan dokumenter Berlinale. Film ini dibuat antara 2019 dan 2023 dan berfokus pada pengusiran paksa warga Palestina dari rumah mereka di Masafer Yatta, sebuah wilayah di Tepi Barat yang diduduki yang menjadi sasaran pasukan Israel.
Dalam pidatonya, Adra mengatakan bahwa dia baru saja menjadi seorang ayah dan berharap kehidupan putrinya tidak akan seperti hidupnya – “selalu takut akan kekerasan tertentu, pembongkaran rumah, dan pemindahan paksa”.
Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa filmnya mencerminkan “kenyataan pahit” yang dialami oleh warga Palestina selama bertahun-tahun, “saat kami menyerukan kepada dunia untuk mengambil tindakan serius untuk menghentikan ketidakadilan dan menghentikan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina”.
Berdiri di samping rekan sutradaranya, Abraham mengatakan bahwa pembuatan film itu ditujukan agar suara warga Palestina dan Israel semakin kuat.
"Kami melihat satu sama lain, kehancuran yang mengerikan di Gaza dan penduduknya yang harus diakhiri, para sandera Israel yang ditawan dalam kejahatan 7 Oktober, yang harus dibebaskan," ujar Abraham.
Abraham menuturkan bahwa ada ketidaksetaraan ketika dirinya melihat Adra. Abraham tinggal di bawah hukum sipil sedangkan Adra berada di bawah hukum militer Israel yang menghancurkan hidupnya.
Lebih lanjut, Abraham menilai jalan yang berbeda antara Israel dan Palestina harus diakhiri dengan solusi politik tanpa supremasi etnis dengan mengakui hak-hak nasional rakyat kedua negara.
"Dan saya harus mengatakan saat saya di sini, kebijakan luar negeri di negara ini (Amerika Serikat) membantu menghalangi jalan ini," ucap Abraham.
"Dan mengapa? Tidak bisakah Anda melihat bahwa kami saling terkait? Bahwa rakyat saya dapat benar-benar aman jika rakyat Basel Adra benar-benar bebas dan aman. Ada cara lain. Tidak terlambat untuk kehidupan, untuk yang masih hidup."
Seruan Presiden AS Donald Trump bulan lalu agar warga Palestina beremigrasi dari Gaza, termasuk ke Mesir dan Yordania, telah dikecam luas di Timur Tengah dan sekitarnya karena dianggap sangat mengganggu stabilitas.
Namun, Menteri Kebudayaan Israel Miki Zohar, menyesalkan kemenangan film tersebut sebagai "momen menyedihkan bagi sinema". Dia menilai film tersebut menyajikan apa yang ia gambarkan sebagai pandangan yang menyimpang tentang Israel, yang masih terguncang dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel.
"Kebebasan berekspresi adalah nilai penting, tetapi menggunakan pencemaran nama baik Israel sebagai alat promosi internasional merugikan negara Israel, dan setelah pembantaian 7 Oktober dan perang yang sedang berlangsung, hal itu menjadi dua kali lipat menyakitkan," tutur Zohar di X.
Dalam wawancara dengan Deadline bulan lalu, Abraham mengatakan bahwa meski memenangkan hadiah utama di Eropa dan Amerika Serikat, film tersebut belum mencapai kesepakatan untuk didistribusikan di AS.
Ketika ditanya mengapa menurutnya distributor AS tidak menayangkan film tersebut, Abraham memberi penjelasan kepada Deadline.
"Saya yakin sudah jelas bahwa itu karena alasan politik. Saya berharap itu akan berubah," kata Abraham. Dia dan Adra memutuskan untuk tidak menunggu rilis teater dan merilisnya di hampir 100 bioskop secara independen.