Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menang tapi Belum Tenang

Gloria Macapagal-Arroyo akhirnya dinyatakan sebagai pemenang pemilu. Kondisi dalam negeri tak terlalu berpihak padanya.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN enam pekan penghitungan suara yang mencekam rakyat Filipina untuk sementara berakhir. Kamis pekan silam, Kongres mengumumkan Gloria Macapagal-Arroyo, 57 tahun, keluar sebagai pemenang pemilu yang diikuti lima calon presiden pada 10 Mei lalu. Dengan hasil ini, presiden ke-14 Filipina itu akan memperpanjang masa pemerintahannya di Istana Malacanang, Manila, sampai tahun 2010.

Arroyo meraup 12.905.808 suara dari total 43,5 juta suara pemilih. Ia mengalahkan pesaing terdekatnya, aktor Fernando Poe Jr. (FPJ), dengan selisih sekitar 1,1 juta suara. Tiga kandidat lainnya adalah mantan kepala polisi Panfilo Lacson, birokrat Raul Roco, dan penginjil Eduardo Villanueva.

"Saya merayakan peristiwa ini sebagai kemenangan nasional dan kebanggaan personal," ujarnya ketika juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat, Jose de Venecia, mengangkat tangannya sebagai tanda kemenangan. "Untuk para seteru, saya imbau untuk bersatu. Bagi para pendukung, saya mengajak untuk lebih berpikiran terbuka. Inilah saatnya untuk memaafkan dan melupakan masa lalu," katanya diplomatis. Kalau tak ada aral melintang, Rabu pekan ini Arroyo akan kembali diambil sumpahnya sebagai presiden.

Kemenangan ini mengukuhkan legalitas Arroyo sebagai presiden, setelah pada periode sebelumnya (2001-2004) putri mantan presiden Diosdado Macapagal itu sebenarnya hanya "melanjutkan" masa jabatan Joseph Estrada, yang diturunkan secara paksa di tengah jalan dengan tuduhan korupsi. Apalagi, berdasarkan survei saat itu, hanya 53 persen penduduk yang menyatakan yakin bahwa Arroyo berhak melanjutkan tugas Estrada.

Sejauh ini, belum jelas apakah FPJ akan menggugat hasil itu ke Mahkamah Agung, mengingat kerasnya perang klaim di antara kedua kubu selama penghitungan suara berlangsung. Sejak pekan pertama pemilihan, pendukung FPJ sudah yakin bahwa merekalah yang menang mengingat besarnya dukungan masyarakat miskin perkotaan.

Tak aneh, menjelang saat akhir penghitungan, ketika perolehan suara Arroyo pelan-pelan mulai meninggalkan FPJ, kubu pendukung aktor film itu menuduh adanya konspirasi antara Arroyo dan sekutunya di Kongres untuk memanipulasi suara pemilih dan jual-beli suara. Pemilu kali ini juga tercatat sebagai yang paling berdarah sejak tumbangnya Ferdinand Marcos pada 1986. Sedikitnya 150 orang tewas.

Dengan tingkat kemenangan yang begitu tipis, bukan hal yang mudah bagi Arroyo untuk menata Filipina, yang berpenduduk 84 juta jiwa, selama enam tahun ke depan. Apalagi isu klasik yang terus mengepungnya sejak masa prakampanye, tentang kemungkinan kudeta militer, masih terus juga berembus.

Janjinya semasa kampanye bisa menjadi beban yang lain. Ia sudah menawarkan angin surga kepada rakyat dengan membuka satu juta lapangan kerja setiap tahun—berarti 6 juta pekerjaan baru selama 6 tahun—membangun 3.000 sekolah baru dan juga 3 juta rumah baru, menjadikan Filipina mandiri dalam penyediaan beras, melipattigakan pinjaman bagi pengusaha kecil dan menengah, serta menyediakan asuransi kesehatan dan pendidikan untuk semua penduduk. Paket kampanye yang disebut "Enam Janji untuk Enam Tahun Mendatang" itu masih ditambah lagi dengan tawaran untuk menurunkan harga pembayaran listrik dan memotong biaya pengobatan.

Namun, melihat tingginya angka pengangguran dalam empat bulan pertama tahun ini, yang mencapai empat juta orang (11 persen), banyak pihak yang meragukan pembukaan lapangan kerja itu bisa berjalan seperti yang direncanakan. Menurut laporan Bloomberg News, angka itu adalah yang terburuk dari 11 negara di kawasan Asia Pasifik. Apalagi dibandingkan dengan tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang masing-masing kurang dari 5 persen.

Kinerja Arroyo sebagai seorang birokrat yang mumpuni mengurusi ekonomi sebetulnya pernah terbukti. Apalagi ia memegang gelar doktor ekonomi dari University of the Philippines. Pada 1986, ia ditunjuk Presiden Corazon Aquino sebagai asisten Menteri Perdagangan dan Industri. Pada periode ini pula Arroyo dipuji-puji berkat kepiawaiannya mengembangkan industri garmen ketika menjabat sebagai Direktur Eksekutif Dewan Ekspor Tekstil dan Garmen Nasional.

Pengalaman politiknya yang belum begitu lama—ia menjadi senator untuk pertama kalinya pada 1992—membuat presiden perempuan kedua Filipina ini belum "terbiasa" dengan lika-liku politik yang banyak jebakannya. Kendati bisa terpilih kembali tiga tahun kemudian dengan perolehan suara tertinggi sepanjang sejarah Filipina, Arroyo, yang mensponsori atau terlibat dalam pemrosesan sekitar 500 rancangan undang-undang menjadi undang-undang, terlihat masih "hijau" ketika akhirnya terpilih sebagai wakil presiden pada 1998. Waktu itu, rekan separtainya, Jose de Venecia, yang mencalonkan diri sebagai presiden, kandas ditekuk Joseph Estrada.

Tapi dari situlah sejarah Arroyo mulai ditulis.

Akmal Nasery Basral (dari berbagai sumber)


Janji-Janji Tak Terbukti

SAAT pertama kali Arroyo menjejakkan kaki di Istana Malacanang sebagai presiden pada awal 2001, pasar bereaksi positif. Indeks saham melambung mencapai rekor tertinggi, 17,5 persen, dan nilai tukar peso terhadap dolar AS menguat dari 55,75 menjadi 48,5 peso.

Dalam wawancara dengan majalah ini—bersama enam media non-Filipina lainnya—sesaat setelah diambil sumpahnya sebagai presiden menggantikan Estrada, Arroyo menjanjikan pemulihan ekonomi yang carut-marut sebagai prioritas utama kebijakannya. Estrada meninggalkan kas negara kosong melompong dengan defisit anggaran senilai 120 miliar peso. Selain itu, perampingan birokrasi yang menyebabkan suburnya korupsi-kolusi-nepotisme mendapat perhatian penuh. "Kami harus mengimplementasikan hukum tanpa rasa takut atau mengistimewakan (siapa pun)…. Kami harus mereformasi birokrasi," ujarnya.

Namun, hingga pemilu berlangsung 10 Mei lalu, problem di pundak Arroyo seperti bertambah besar saja. Selain defisit anggaran masih belum teratasi, tingkat pengangguran mencapai 12,7 persen, sementara 4 dari 10 orang hidup dengan biaya kurang dari satu dolar per hari. Menurut jajak pendapat yang dilakukan Social Weather Station, 44 persen pemilih merasa lebih miskin dari tahun sebelumnya. Sebuah polling lain yang dilakukan Pulse Asia pada Agustus 2003 menunjukkan 22 persen dari 1.200 responden yang berusia 18 tahun atau lebih ingin hijrah ke luar negeri untuk kehidupan yang lebih baik.

Janji menghapus korupsi-kolusi-nepotisme juga seperti menangkap angin. Tahun lalu, salah satu seterunya dalam pemilihan presiden kali ini, Panfilo Lacson, menuduh Arroyo melakukan korupsi bersama suaminya. Mereka dituduh melakukan penggelapan dana kampanye, dana kontribusi, dan pembayaran pajak dengan menggunakan rekening fiktif di bank atas nama "Jose Pidal". Sejauh ini, Arroyo berhasil membuktikan bahwa mereka tak terlibat dalam tuduhan itu.

Namun, di tengah-tengah rakyat yang semakin lapar dan bermimpi untuk bisa mengenyam kehidupan indah di luar negeri, jelaslah enam tahun periode kedua jabatan ini menjadi ujian yang sesungguhnya bagi kemampuan memimpin Arroyo.

ANB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus