Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menchu, atau monumen hidup

Rigoberta menchu,33, indian dari suku maya mendapat hadiah nobel perdamaian. ia pernah mempersoalkan perayaan 500 tahun penemuan columbus. bukunya "rigoberta" diterjemahkan dalam 12 bahasa.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari satu dasawarsa perempuan itu bergerilya. Bukan dengan senjata, tapi kata-kata. Dengan senjatanya itu ia, Rigoberta Menchu, mengabarkan derita bangsa In dian di tanah airnya, Guatemala, sebuah negeri di Amerika Tengah, ke dunia internasional. Dan seperti dilukiskan seorang kolumnis Guatemala, akhirnya Rigoberta, kini 33 tahun, menjadi monumen bangsanya: dialah "wujud Indian yang dua ratus ribu kali terbunuh di dataran tinggi, penduduk asli yang diperkosa, ladang pertanian yang dibakar, dan jasad yang tak dikenali seorang pun." Jumat pekan lalu, wanita Indian dari suku Maya itu dikukuhkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian. Di kala Amerika Latin tengah merayakan 500 tahun pendaratan Columbus di Benua Amerika, pendaratan yang membawa kesengsaraan dan punahnya suku Indian, menangnya Menchu seolah menjadi imbangan. Wanita kesembilan penerima Nobel Perdamaian ini pernah mempersoalkan, layakkah merayakan 500 tahun penemuan Columbus. Sebab, bagi Indian Amerika, 500 tahun itu adalah masa "penindasan, perbudakan, dan pemusnahan". Jasa terbesar Menchu, menurut komite Nobel Norwegia, adalah sebagai simbol perdamaian dan rekonsiliasi yang melintas batas etnis dan budaya. "Dalam aktivitas sosial dan politiknya, ia selalu menyimpan tujuan jangka panjang perjuangan untuk perdamaian," kata Ketua Komite Hadiah Nobel. Sehari-hari Menchu duduk dalam Kelompok Kerja PBB yang menangani penduduk pribumi. Juga di Dewan Pakta Indian Internasional. Ia, yang hampir tak pernah melepaskan pakaian tradisional puak Quiche itu, sangat vokal mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer di negerinya, selain menyuarakan nasib bangsa Indian umum nya. Senin dua pekan lalu, umpamanya, Menchu, sebagai wakil organisasi CUC (Komite Persatuan Petani) Guatemala, pulang ke negerinya. Ia menggerakkan masyarakat Indian untuk menolak perayaan 500 tahun pendaratan Columbus. Perjuangan Menchu, wanita sektar 150 cm, gemuk dan suka tersenyum lebar itu, berangkat dari pengalamannya yang begitu traumatis. Ketika terjadi perang sipil antara imigran keturunan Eropa dan penduduk asli di Guatemala di tahun 1970-an dan awal 1980, ia menyaksikan dan merasakan bagaimana kejamnya pemerintah Guatemala yang dikuasai militer itu. Ayahnya yang tergabung dalam Komite Persatuan Petani (CUC itu), bersama 38 anggota CUC lainnya, pada 1980, melakukan unjuk rasa terhadap tindakan represif militer. Mereka menduduki Kedutaan Spanyol. Pemerintah militer Guatemala menjawab dengan singkat: membakar gedung kedutaan itu, meski ini menyalahi etika diplomatik -- dan kemudian Spanyol memang memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Guatemala. Ayah Menchu bersama kawannya terkubur dalam api. Beberapa bulan kemudian ibunya diculik, dianiaya, sebelum diperkosa dan dibunuh oleh pasukan tentara di negerinya. "Masyarakat menemukan mayat Ibu terikat di pohon. Sebagian tubuhnya telah dimangsa hewan," cerita Menchu dalam sebuah wawancara. Giliran berikut adalah abangnya, Petrocino Menchu. Menchu melihat dengan matanya, bagaimana tentara melakukan kekejian terhadap abangnya, yang ketika itu berumur 16 tahun. Mula-mula mereka menganiaya Petrocino, lalu tubuhnya disiram bensin, dan menyalalah tubuh itu. Menchu sendiri melewati perlakuan yang tidak manusiawi, selagi hidup sebagai buruh perkebunan kapas dan kopi, dan terakhir sebagai babu di sebuah keluarga kaya ladino -- keturunan Spanyol di Guatemala yang jumlahnya tak sampai 20%. Pengalamannya itu dikisahkan dalam buku I, Rigoberta, terbit tahun 1983. Ia menuturkan bagaimana ia harus bersedia menjadi pelayan seks putra majikannya. Sehari-hari tuannya hanya memberi makanan sejumput buncis dan keripik yang keras. "Yang sangat menyakitkan anjing tuan saya diberi makanan enak. Dan saya tidak berhak mendapat penganan yang dimakan anjing sekalipun." Menchu, anak keenam dari sembilan bersaudara, akhirnya lari ke Meksiko, 1981. Dua saudara perempuannya ikut bergerilya. Sebelas tahun ia hidup di pengasingan, dan "bergerilya" dengan senjata kata-kata, selagi korban "perang" Guatemala terus berjatuhan. Menurut data terakhir kelompok hak asasi manusia, perang sipil itu telah menyebabkan 150 ribu penduduk asli tewas, 50 ribu orang hilang, 100 ribu orang menjadi janda dan duda, 250 anak menjadi yatim-piatu, dan satu juta orang yang kehilangan tempat tinggal. Menchu dikenal sebagai tokoh internasional, setelah bukunya beredar -- dan kini telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa. Buku itu antara lain mengusik Danielle Mitterrand, istri Presiden Prancis Francois Mitterrand. Danielle menjadi pendukung Menchu. Ia pula yang mengantar Menchu pulang ke Guatemala -- untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, tahun lalu. Ia dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian oleh pemenang hadiah itu sebelumnya dari Argentina, Adolfo Perez Esquivel, dan Archbishop Desmond Tutu dari Afrika Selatan. Anugerah Nobel Perdamaian ini tentunya merupakan pukulan keras bagi angkatan bersenjata Guatemala. Menurut Menchu, ia sudah ditelepon Presiden Guatemala Jorge Serrano. Isi pembicaraan itu tidak dibeberkannya. Hanya ada siaran pers dari kantor kepresidenan, antara lain berbunyi, "Dengan penghargaan ini, Menchu dapat menggunakan kekuatan pengaruh dan moralnya untuk mencari penyelesaian damai bagi perbedaan yang ada." Padahal sebelumnya, pemerintah Guatemala berusaha menyingkirkan kesempatan Menchu untuk mendapat Nobel perdamaian, dengan mengajukan calon lain, Elisa Molina De Stahl, pekerja sosial setempat yang berasal dari keluarga makmur, yang tak membahayakan pemerintah Guatemala. Dengan penghargaan bergengsi ini, Menchu berhak menerima hampir Rp 2,5 milyar, selain medali emas dan sertifikat. "Aku ingin ayahku tercinta Vicente Menchu dan ibuku Juana Tum ada di sini, menikmati impian rakyat Guatemala," katanya. Penghargaan itu dianggap nya sebagai pengakuan atas perjuangannya merebut kemer dekaan sejati bagi seluruh penduduk asli dan kulit hitam di Amerika. Namun, katanya, kalau Nobel tak mengubah situasi di Guatemala, ia merasa hadiah itu tak membawa perubahan apa-apa dalam hidupnya. Hadiah uang yang akan diterimanya 10 Desember mendatang di Oslo, ibu kota Norwegia, rencananya akan dipakai untuk mendirikan yayasan dengan nama ayahnya. Hari penyerahan hadiah itu bertepatan dengan dimulainya Tahun Internasional PBB untuk Penduduk Pribumi. Dan pengumumannya yang dekat dengan perayaan Columbus, menurut ketua komite Nobel, "bukan suatu kebetulan." Bunga Surawijaya (Jakarta) dan Bambang Harymurti (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus