Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang saudara lagi?

Gencatan senjata di kamboja terancam gagal. empat faksi yang bertikai tak memenuhi perjanjian paris. khmer merah meledakkan dua jembatan dan baku tembak dengan pasukan phnom penh.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU, orang mengira, konflik di Kamboja tak bakal terselesaikan. Soalnya, rezim Phnom Penh didukung Vietnam, dan Khmer Merah disokong Cina. Dan seperti semua maklum, antara Cina dan Vietnam ada permusuhan yang berakar jauh dalam sejarah masa lalu, sulit dibayangkan keduanya berdamai. Tapi akhirnya perdamaian dicapai di Paris, Oktober tahun lalu. Cuma para pengamat Indocina tetap pesimistis. Yang diragukan sementara pengamat, bagaimana keempat faksi di Kamboja yang bertikai itu menaati Perjanjian Paris. Ternyata, pihak Khmer Merah memang tak bersedia menyerahkan persenjataannya, sebagaimana yang diharus kan oleh Perjanjian Paris. Dan ternyata senjata itu tak cuma disimpan. Rabu pekan lalu, sepekan sebelum per ingatan setahun perjanjian di Paris diperingati, pihak Khmer Merah menunjukkan niatnya yang tak mau damai. Dua jembatan -- masing-masing di Bailey, 80 km utara Phnom Penh, dan satu jembatan kecil di utara Kompong Thom -- hancur diledakkan. Maka, lalu lintas Phnom Penh dengan Kota Kompong Thom, salah satu kota terbesar di Kamboja tengah, macet. Padahal, Kompong Thom merupakan salah satu daerah konsentrasi Khmer Merah. Maka, orang menuduh bahwa pihak Khmer Merah berniat membuat diri mereka sulit dikontrol -- oleh pasukan Phnom Penh maupun pasukan perdamaian PBB. Itu masih disusul, dua hari kemudian, konflik senjata yang cukup seru antara Khmer Merah dan pasukan Phnom Penh. Konon, pertempuran itu berlangsung sampai empat jam. Sehari sebelum terjadi bentrokan senjata itu, menurut Reuters, pihak Khmer Merah menyebarkan pernyataan bahwa pemerintah Phnom Penh dan pihak Vietnam "terlibat penindasan terhadap penduduk sipil". Adapun yang disebut sebagai penindasan itu, antara lain: "mendaftar nama anak laki-laki, memaksa mereka memilih rezim Phnom Penh dalam pemilu nanti, merampas harta benda serta ternak, lalu membantainya." Pemerintahan Peralihan Kamboja yang diselenggarakan oleh PBB tak memberikan komentar apa pun terhadap pernyataan itu. Tapi tentang peledakan dua jembatan itu, Pemerintahan Peralihan menyebutnya sebagai "pelanggaran sangat serius tehadap gencatan senjata". Namun, mengapa Khmer Merah baru melakukan aksinya sekarang ini? Bisa jadi, aksi Khmer Merah kini bukan merupakan tindakan yang terencana. Kata sumber pasukan PBB yang tak bersedia disebutkan namanya kepada TEMPO: "Mereka merasa disingkirkan oleh resolusi PBB yang menegaskan bahwa pemilu di Kamboja Mei tahun depan tetap akan dijalankan, meski tanpa partisipasi Khmer Merah." Bila info ini benar, aksi-aksi Khmer Merah boleh diduga sebagai cara mereka menyatakan pada dunia, mereka masih cukup mampu memporakporandakan Perjanjian Paris. Bisa jadi, itu merupakan ledakan kejengkelan Khmer merah. Soalnya, selama ini keberatan-keberatan mereka seperti tak diperhatikan pihak PBB. Misalnya, tuduhan bahwa di Kamboja masih bercokol penasihat-penasihat militer Vietnam. Pihak Khmer Merah minta agar pasukan PBB memulangkan mereka. Pihak pasukan PBB selalu menjawab bahwa tak ada lagi tentara Vietnam di Kamboja. Repotnya, pernyataan dari dua pihak itu sama-sama tak menyertakan bukti. Khmer Merah juga menuduh Pemerintah Peralihan Kamboja tidak adil. Dalam Perjanjian Paris dinyatakan bahwa lima jabatan strategis dalam Dewan Nasional Tinggi Kamboja -- dewan yang merupakan koalisi empat faksi, dan yang bekerja sama dengan PBB membentuk pemerintahan peralihan itu -- dibagikan kepada empat faksi. Nya tanya, kementerian pertahanan, luar negeri, keuangan, penerangan, dan dalam negeri -- jabatan strategis -- semuanya dipegang orangnya Hun Sen. Baru setelah Khmer unjuk gigi, ada kabar bahwa Dewan Nasional Tinggi bersedia membicarakan kembali soal jabatan strategis itu. Dewan Keamanan PBB pun, atas usul Cina, memerintahkan kepada Pemerintahan Peralihan agar membujuk Partai Demokratik Kamboja -- partainya Khmer Merah -- ikut dalam pemilu Mei nanti. Kini ada kebijaksanaan, pendaftaran bagi organisasi politik yang akan ikut serta dalam pemilu multipartai di Kamboja nanti dilonggarkan. Maksudnya, penutupan pendaftaran, yang semula ditentukan akhir Desember, bukan lagi batas mati. Untuk itu, sebuah tim perunding -- terdiri dari utusan Jepang dan Muangthai -- akan berangkat ke Kamboja pekan depan. Bila tim ini gagal, Ketua Panitia Perdamaian Kamboja, Menlu Prancis Roland Dumas, dan wakilnya, Menlu Indonesia Ali Alatas, akan segera berangkat ke Phnom Penh, pertengahan bulan depan. Dan seandainya tetap saja menemui jalan buntu, Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali akan menjatuhkan sanksi pada Khmer Merah, sesuai dengan saran Dewan Keamanan PBB. Tapi bagaimana bentuk sanksi itu, sulit dibayangkan. Seperti sudah dimaklumi, jantung ekonomi Khmer Merah adalah di wilayah perbatasan Muangthai-Kamboja. Khmer Merah meraih keuntungan rata-rata US$ 1 juta sebulan dari penjualan kayu dan permata ke Muangthai. Dan Muangthai diduga meraih keuntungan yang sama. Jadi, apakah Dewan Keamanan PBB akan melarang Muangthai berdagang dengan Khmer Merah? Pada masa militer masih berkuasa di Thai, bisa jadi sanksi PBB itu tak akan digubris. Konon, yang menarik keuntungan dari perdagangan di perbatasan itu sebagian besar memang militer. Kini, di bawah Perdana Menteri Chuan Leekpai yang moderat dan demokratis, tawar-menawar apa yang bisa diterima Thai untuk mematuhi sanksi PBB seandainya benar turun? Seandainya pun Muangthai bersedia mematuhi sanksi PBB, akankah pihak Khmer Merah, yang diduga punya 30.000 sampai 50.000 tentara dengan persenjataan cukup leng kap, akan berdiam diri begitu saja? Unjuk giginya Khmer Merah pekan lalu cukup meyakinkan: dua jembatan ambrol dan sebuah pertempuran empat jam. Sebanyak 16.000 pasukan internasional di bawah bendera PBB di Kamboja kini tampaknya harus bekerja lebih berat seandainya Khmer Merah memilih jalan perang. Dan sebenarnya sudah ada yang pesimistis bahwa gencatan senjata di Kamboja akan membawa damai. Jenderal Michel Loridon, wakil komandan pasukan PBB dari Paris, Agustus lalu mengundurkan diri. Ia, setelah melihat yang ter jadi di lapangan, menyimpulkan bahwa konflik Kamboja hanya bisa diselesaikan lewat kekerasan. Mungkin Loridon terlalu tergesa-gesa menyimpulkan. Tapi itu sebuah isyarat bagi mereka yang mencoba mencari penyelesaian damai. Tampaknya, mengharapkan keempat faksi menyelenggarakan sebuah negara sudah sangat tipis kemungkinannya. Mungkin sebuah federasi Kamboja, yang terdiri dari, setidaknya, dua negara bagian -- Khmer Merah dan yang lain? Yuli Ismartono (Phnom Penh) dan Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus