SEPASANG murid SD melakukan percakapan bahasa Inggris di depan kelas. "Good morning," kata seorang siswa. "Good morning," jawab siswi yang berdiri di depannya. "How are you today?" kata murid lelaki itu. "I'm fine," jawab rekannya. "What is your father?" tanya cowok itu menyelidik. "My father is a director ...." Percakapan sederhana ini terjadi di sebuah ruang kelas 5 SD IKIP Negeri Rawamangun, Jakarta, Sabtu lalu. Para siswa, berpasang-pasangan, secara bergiliran melakukan conversation. Masing-masing memegang mikrofon, sehingga ucapannya mudah diikuti rekan-rekannya yang duduk di bangku masing-masing. Sementara itu, seorang guru tampak mengawasi jalannya percakapan bahasa Inggris itu sambil sekali-kali membenarkan. Namanya anak-anak, setiap pembicaraan habis, rekan-rekannya yang duduk menyambut dengan seruan: "Huuu ...." Adegan seperti ini tak cuma ada SD IKIP Jakarta, yang juga dikenal sebagai labschool. Sejumlah SD telah memperkenalkan bahasa Inggris dengan pola yang tak sama. Seperti di SD Al-Azhar, SD Asy-Syafi'iyah, dan SD Slamet Riyadi Cijantung, ketiganya di Jakarta. Bahkan di SD Al-Falah di Surabaya dan SD Saraswati Bali pelajaran bahasa Inggris sudah diperkenalkan sejak kelas satu, berbarengan dengan pelajaran membaca pertama kali: "Ini Ibu Budi". Menurut Djeniah Alim, Kepala SD IKIP Jakarta, pelajaran Inggris lebih bersifat pengenalan dan melatih keberanian siswa. Karenanya, pelajaran itu bersifat ekstrakurikuler saja. Ketika pelajaran itu dimulai tahun 1989, hanya kelas enam yang mendapatkannya. Baru belakangan pelajaran itu diberikan mulai kelas empat. "Setelah terbukti bahasa Inggris justru menunjang kemampuan berbahasa Indonesia," katanya. Sedangkan menurut Ida Bagus Suda, Kepala SD 3 Saraswati di Bali, pada abad modern kini, penguasaan bahasa Inggris ibarat jalan menguasai teknologi maju. "Ini bukan untuk gagah-gagahan," kata Ida. "Dan kami yakin anak-anak SD sebenarnya mampu berbahasa Inggris," kata Suhadi Djamiin, direktur lembaga pendidikan Al-Falah. Suhadi telah membuktikannya tahun lalu dengan mengadakan lomba deklamasi bahasa Inggris. Di Al-Falah, seperti halnya di SD Saraswati, pelajaran bahasa Inggris telah diajarkan sejak awal. Bahkan di Al-Falah sudah diperkenalkan di TK. Sayang, pola pengajarannya tak seragam. Sebab itu, dalam kurikulum baru 1994, diharapkan ada acuan yang sama untuk mengajarkan bahasa Inggris di SD itu. Maka, 8-10 Oktober lalu, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Bandung mengadakan seminar di Grand Hotel Lembang. Seminar itu membahas sejumlah makalah tentang pengajaran bahasa Inggris, metodologi, prosedur pengajaran di sekolah dasar menjelang berlakunya kurikulum 1994. Jusuf Amir Feisal dari IKIP Bandung, dalam makalahnya, menyalahkan kurikulum bahasa Inggris yang ada. Menurut Jusuf, kekeliruannya terletak pada penekanan terhadap tata bahasa, bukan belajar menggunakan bahasa. Ia bahkan membantah sejumlah pendapat yang menyebutkan belajar bahasa Inggris di SD dikhawatirkan bisa membahayakan bahasa Indonesia. Ia tak merinci alasannya. Namun, menurut beberapa guru, dengan mengajarkan bahasa Inggris, siswa lebih gampang mempelajari tata bahasa atau membuat kalimat ketika belajar bahasa Indonesia. Sementara itu, Ali Saukah dari IKIP Malang menunjuk tekanan kurikulum tahun 1994 tentang pelajaran bahasa In ggris itu. Titik berat pengajaran bahasa Inggris, katanya, terletak pada faktor membaca, mendengarkan, berbicara, dan menulis. Dari semua itu, katanya, "belajar berbicara tentu lebih penting." Sifat pelajaran bahasa Inggris di SD dalam kurikulum 1994 cuma sebagai pilihan, bukan wajib. Maka, Saukah mengingatkan agar pengajaran bahasa Inggris di SD tak membebani siswa. Mereka harus menjadi senang mempelajarinya. Selain, katanya, jangan sampai tumpang tindih. Atau mungkin sekadar menjiplak metode dan bahan yang dipakai selama ini untuk SMP atau tempat kursus. Untuk itu, perlu dirancang metode dan bahan yang lebih cocok bagi murid SD. Apa pun sifatnya, kurikulum 1994 memang membuka peluang bagi anak SD belajar bahasa Inggris di kelas. Maka, seminar tersebut berkesimpulan -- tertuang dalam "Pesan Bandung" -- mendukung pengajaran bahasa asing itu di SD dengan persiapan yang matang, baik metode maupun materi yang akan diajarkan. "Pesan Bandung" juga tak setuju bahasa Inggris di SD menjadi pelajaran wajib. Bayangkan, berapa ratus ribu guru mesti dididik dan disiapkan untuk terjun ke SD-SD di pelosok Tanah Air. Sekalipun bahasa Inggris di SD cuma bersifat pilihan, kemungkinan akan banyak sekolah yang berminat mengajarkannya. Bahkan tak tertutup kemungkinan pelajaran bahasa Inggris akan menjadi "daya pikat tersendiri" untuk menarik calon murid bagi sejumlah sekolah beken. Namun, ada pula yang tak setuju anak SD belajar bahasa asing itu. Misalnya, Prof. P.W.J. Nababan dari ASMI Jakarta. Pelajaran bahasa Inggris di SD, katanya, bisa membahayakan bahasa Indonesia. Ia khawatir anak-anak akan menganggap bahasa Inggris lebih maju, dan siapa tahu mereka kemudian mengesampingkan berbahasa Indonesia dengan baik. Agus Basri (Jakarta), Ida Farida (Bandung), Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini