Srebrenika, Bosnia, Juli 1995. Telepon Mayor Jenderal Radislav Krstic, pemimpin brigade Drina Wolves, Serbia, berdering. Salah seorang perwiranya mengeluh akibat kiriman parsel yang mengalir, tapi tak cukup orang untuk membagi-bagikan. Mendadak sontak, sekitar 60 buah bus dikirim Krstic untuk mengangkut parsel. Tentu saja ini bukan bonus bagi serdadu Serbia. Asal tahu, "parsel" adalah kata sandi untuk laki-laki muslim Bosnia yang tertangkap; sedangkan kata "bagi-bagikan" adalah kode untuk eksekusi mati.
Percakapan telepon itu adalah bukti tak terbantahkan oditur Mark Hammond kepada Jenderal Krstic, 52 tahun, dalam pengadilan kriminal internasional, 13 Maret lalu, yang digelar di Hague, Belanda. Agaknya, ini menjadi bukti penting bahwa sang Jenderal, tangan kanan Jenderal Radko Mladic, secara sadar telah merencanakan pemusnahan etnis. Tampak kurus, dua tahun meringkuk di hotel prodeo setelah dicokok pasukan Amerika, Desember 1998, di Bosnia, Krstic diberitakan tetap bersikap tenang. Dengan menggunakan kursi roda, kakinya pincang. Tampak necis dengan jas abu-abu berdasi, ia diam seribu bahasa. Matanya cekung dan menyorotkan hawa dingin. Rona mukanya tak berubah mendengar segala dakwaan.
Pengacaranya, Nenad Petrusic, tidak mengingkari telah terjadi pembunuhan sekitar 7.500 warga muslim sipil dewasa dan anak laki-laki selama empat hari berturut-turut—antara 11 Juli dan 16 Juli 1995—di Srebrenika. Tapi ia menganggap berlebihan jika pengadilan berpendapat bahwa itu semua adalah perintah langsung Krstic. Dalam situasi demikian, rantai perintah sering pecah. Jika seseorang mengetahui adanya pembunuhan, hal itu belum cukup menandakan bahwa Krstic otaknya. Lalu keluarlah jurus cuci tangan. Petrusic menantang forum untuk membuktikan bahwa kliennya hadir di lokasi pembantaian.
Cara berkelit demikian tentu saja diuber terus-menerus oleh oditur. Hammond mengatakan, kapasitas Krstic sebagai pemimpin saat itu—bila ia benar-benar memiliki rasa kemanusiaan—membuat dia bisa melakukan empat pilihan. Sang Jenderal dapat membatalkan pembantaian, menyabotase pelaksanaan eksekusi, mengundurkan diri, atau minimal tidak ikut campur. Nyatanya, ia malah mengirim bus sebagai alat transportasi mengangkut para pengungsi dan peralatan berat untuk menggali kuburan massal.
Hammond menghadirkan sekitar 50 orang saksi yang terdiri dari pengungsi yang selamat dan eks tentara Serbia. Testimoni itu mengungkapkan brutalitas pembunuhan di berbagai sudut Srebrenika. Jean-Rene Ruez, investigator PBB—yang melakukan penyelidikan—menggambarkan di Kravika, pinggiran Srebrenika, pembunuhan dirancang seolah-olah saat itu terjadi pertempuran. Para korban dimasukkan ke dalam gudang. Lalu gudang dilempar granat. Saat para korban berusaha meloncat keluar dari jendela, senapan mesin menyapu mereka.
Kasus ini merupakan tes penting bagi pengadilan. Ini juga akan sekaligus menyorot kelambanan pasukan PBB. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan tahun lalu mengkritik pasukan PBB sebagai lembaga yang memalukan karena tak bisa mencegah malapetaka. Srebrenika, yang berpenghuni sekitar 30.000 muslim saat itu, dijaga oleh 150 pasukan perdamaian PBB asal Belanda. Persediaan makanan untuk warga sejak Mei 1995 telah menipis. Saat granat Serbia menghajar kota, komandan pasukan Belanda, Kolonel Karremaans, meminta tambahan pasukan. Tapi PBB kurang tanggap. Tiga puluh serdadu Belanda malah menjadi tawanan Serbia.
Jika terbukti bersalah, Krstic akan dipenjara seumur hidup. Pengadilan kriminal internasional untuk negara bekas Yugoslavia didirikan PBB pada 1993. Sejauh ini, 14 serdadu Serbia, Bosnia, Kroasia telah dinyatakan bersalah dan dihukum sekitar 45 tahun penjara. Dari semua itu belum ada pengadilan yang dimenangkan dengan tuduhan pembasmian ras sistematis. Krstic adalah jenderal senior pertama yang diajukan. Pengadilan pernah menginvestigasi Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic tapi lantas kekurangan bukti. Padahal, kemenangan pengadilan adalah rantai yang bisa menguak keterlibatan Radko Mladic dan Radovan Karadzic, atau mungkin saja Milosevic.
Namun, perlu dicatat, dalam pengadilan PBB tidak ada vonis hukuman mati. Padahal, dengarlah kata salah satu keluarga korban ini, "Kami menginginkan dia mampus," kata Nedziba Salihovic, yang kehilangan suami, anak, ayah, kakak, dan 26 sanak laki-lakinya.
Seno Joko Suyono (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini