DEPARTEMEN Penerangan rupanya belum (mau) kehilangan giginya. Ketika membubarkan Deppen, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa informasi bukanlah milik pemerintah melainkan publik. Maka, pemerintah membentuk Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN), yang sifatnya lebih melayani, bukan sebagai pengatur seperti fungsi Deppen selama ini—yang seperti sudah jadi rahasia umum, menjadikan Deppen ''ladang basah" untuk menggali fulus, mengingat di sinilah perizinan yang menjadi nyawa media diurus. Namun, ''fungsi" Deppen yang selama Orde Baru sangat mencengkeram kebebasan pers itu tak benar-benar pupus.
Bagai berganti baju saja, Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Ditjen RTF) kini menancapkan kukunya di Departemen Perhubungan. Melalui Keputusan Menhub yang diteken 26 Januari 2000, eks Ditjen RTF kini melebur ke Departemen Perhubungan dan berganti nama menjadi Ditjen Penyiaran. Wewenangnya? Setali tiga uang. Birokrasi baru itu juga mengusung seperangkat aturan menyangkut kebijakan pengontrolan siaran ala Orde Baru. Pasal 27 keputusan itu, misalnya, antara lain berbunyi: ''Subdirektorat Siaran Radio dan Televisi mempunyai tugas melaksanakan pemberian fasilitas isi siaran yang meliputi penyusunan pedoman, pengembangan dan pengendalian siaran radio, televisi, dan siaran khusus…." Pendeknya, pemerintah punya peluang untuk tetap bisa ''menyetir" isi siaran televisi dan radio.
Tak pelak, keputusan menteri itu diberondong protes kalangan praktisi radio dan televisi. Sejumlah pentolan dari Himpunan Pemerhati Penyiaran Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, serta Forum Televisi Swasta, mendatangi kantor Menhub di Jakarta, 7 Maret. ''Keputusan ini adalah langkah mundur," kata Dja'far Assegaf, tokoh pers dan pengurus Forum Televisi Swasta.
Mereka mempersoalkan, antara lain, pasal yang menyebut fungsi Ditjen Penyiaran sebagai pemberi bimbingan dan fasilitas serta perizinan di bidang penyiaran. Pasal ini dianggap mengembalikan lembaga sensor dan perizinan. Kritik lain? ''Bayangkan, kami masih dianggap anak-anak yang mesti dibimbing," kata Haris Djauhari, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, sambil menunjuk-nunjuk kesal ke lembar keputusan itu, yang antara lain memberi wewenang Subdirektorat Siaran Radio dan Televisi untuk menerapkan kewajiban relai suatu acara dari media pemerintah ke media swasta.
Ditemui Agum, para aktivis penyiaran itu karenanya menuntut agar keputusan tersebut dibatalkan. Namun, menteri yang dikenal reformis itu bergeming. ''Keputusan ini tidak dibuat sembarangan. Ada dasar pembentukannya," kata Agum. Dasar yang dimaksud, Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 2000 tentang fungsi Dephub di bidang penyiaran. Karena persoalan belum tuntas, para aktivis media itu melanjutkan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal Dephub Anwar Suprijadi, keesokan harinya. Dalam pertemuan itu, pihak Dephub akhirnya mengakui kesalahan yang ada pada surat keputusan tersebut dan kedua pihak lalu membentuk semacam panitia untuk memecahkan masalah.
Sebenarnya, lahirnya keputusan menteri itu dilandasi niat untuk menampung bekas pegawai Deppen. ''Harus diingat, 15 ribu karyawan Deppen mau dikemanakan. Ingat, nasib mereka Maret ini sudah habis. Terakhir mereka dapat anggaran (APBN tahun lalu berakhir Maret ini). Kalau katanya bisa ditampung di BIKN, ya, silakan. Beban saya lebih ringan. Empat direktorat jenderal di Dephub saja sudah membuat saya pusing, apalagi ditambah satu," kata Agum.
Namun, alasan ini sulit diterima kalangan media siar. ''Sangat naif bila demi 15 ribu pegawai, arah kebebasan pers dan kepentingan bangsa yang lebih besar dibelokkan," kata Soetojo Soekomihardjo, Ketua PRSSNI. Lagipula, kalau memang Dephub hanya akan menampung bekas pegawai Ditjen RTF, benarkah jumlahnya sampai 15 ribu? ''Tidak masuk akal, masa ada satu ditjen karyawannya sebanyak itu. Karyawan Deppen Pusat termasuk TVRI dan RRI saja cuma sekitar 7 ribu," kata Ketua Forum Solidaritas Pegawai Penerangan, Eddy Nur.
Waktu memang begitu sempit, sementara periuk nasi ribuan karyawan terancam. Sejauh ini Dephub memang telah melakukan sejumlah revisi, misalnya penghapusan kata ''pengendalian" dalam pengendalian informasi Pasal 27.
Namun, pasal itu tetap saja menyimpan potensi untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Siapa bisa menjamin pasal itu kelak tidak akan digunakan untuk mengendalikan—bahkan mungkin memberangus—media penyiaran?
Kelik M. Nugroho, biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini