Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Jika Wakil Rakyat Jadi ’Cowboy’

Mayoritas responden menganggap kualitas kejahatan memang meningkat, tapi mereka menolak rencana mempersenjatai para wakil rakyat.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHAD mestinya hari rehat bagi Matori Abdul Djalil. Siapa sangka, seorang penjahat tiba-tiba membacok kepala Ketua Partai Kebangkitan Bangsa ini, 27 Februari silam. Untung, Matori selamat, meski pembacoknya tidak.

Percobaan pembunuhan terhadap Matori, yang juga Wakil Ketua MPR, itu sebetulnya bukan kejahatan pertama yang dialami para anggota dewan. Sepanjang dua bulan terakhir, tercatat tiga tindak kejahatan lain yang mengancam keselamatan wakil rakyat. Awal Februari silam, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Tengku Nashiruddin Daud, ditemukan tewas terbunuh di Desa Sibolangit, Deliserdang, Sumatra Utara. Pada waktu hampir bersamaan, kaca jendela di ruang kerja Suryadarma Ali, di lantai 16 Gedung MPR-DPR Senayan, pecah ditembus peluru. Terakhir, 13 Maret, giliran kaca jendela Gedung Nusantara I yang dihajar timah panas. Waktu itu sedang berlangsung rapat dengar pendapat antara Panitia Kerja Koperasi Komisi V DPR dan Tommy Soeharto selaku ketua Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh.

Terlepas dari apa pun motifnya, tiga insiden tersebut mengingatkan orang akan lemahnya perlindungan keamanan para tokoh penting dan pejabat tinggi, termasuk anggota DPR. Seorang anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Yulius Usman, kemudian mengusulkan agar para koleganya sebaiknya dibekali senjata api untuk berjaga diri. Kapolri Jenderal Rusdihardjo langsung menanggapi dengan sinyal bahwa kemungkinan itu bisa saja karena memang ada undang-undang yang mengatur.

Belum ada kata putus terhadap usul itu, memang. Kolega Yulius sendiri tampak tak begitu antusias menyambut gagasannya. Sebagian lagi malah menolak. Walaupun demikian, bukan tak mungkin ide itu dapat terwujud kelak. Senyampang menunggu, bagaimana sebenarnya publik menanggapi usul itu?

Hampir semua responden jajak pendapat TEMPO mengakui bahwa kualitas kejahatan memang meningkat belakangan ini. Artinya, responden melihat bahwa pelbagai jenis tindak kriminal yang terjadi akhir-akhir ini kian nekat, sadis, dan kerap menelan korban sampai tewas. Anggapan ini rasanya tidak berlebihan, mengingat hampir setiap hari terjadi kejahatan menggunakan senjata api—aksi kriminal yang angkanya meningkat setahun terakhir.

Responden menilai, kelompok masyarakat yang rawan dari kejahatan bukan para anggota dewan semata, melainkan semua lapisan masyarakat. Maksudnya, setiap orang bisa jadi sasaran tindak kriminal. Penjahat tidak pandang bulu sehingga baik pejabat, anggota DPR, maupun rakyat biasa berpotensi jadi korban.

Karena itu, sebagian besar responden tidak setuju bila wakil rakyat dibekali senjata api. Mereka beralasan, anggota DPR boleh jadi malah akan menyalahgunakan senjata itu. Apalagi, para wakil rakyat belum punya keterampilan menggunakan senjata. Mereka tampaknya sulit membayangkan jika anggota DPR kemudian petantang-petenteng dengan pistol di tangan ala cowboy di Senayan.

Nah, untuk mengamankan para wakil rakyat, responden punya tiga usul. Pertama, menambah jumlah aparat di sekitar lingkungan kerja dan tempat tinggal anggota DPR. Kedua, sediakan saja pengawal pribadi untuk mereka. Selain itu, aparat harus lebih ketat melakukan kontrol terhadap peredaran senjata api supaya tidak disalahgunakan oleh penjahat.

Keinginan responden sejalan dengan pemikiran kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala. Menurut Adrianus, meski secara formal, hukum membolehkan politisi di parlemen memegang pistol, ada perbedaan antara ”boleh” dan ”bisa”. Sebab, menurut dia, arti ”bisa” itu harus melalui beberapa ujian, misalnya uji psikologi, uji keterampilan, dan uji motif. Dan menurut Adrianus, mereka tak akan lolos dari semua ujian itu.

”Secara psikologis, orang-orang DPR ini bukan orang yang tenang. ”Secara keterampilan, mereka itu payah. Dan secara motif, mereka bukan orang yang cukup penting untuk bisa memegang senjata,” kata Adrianus kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO.

Wicaksono


Menurut Anda, apakah kualitas kejahatan dewasa ini meningkat?
Ya95%
Tidak4%
Tidak tahu1%
Menurut Anda, apakah anggota DPR-MPR lebih rawan dari kejahatan dibandingkan dengan warga biasa?
Ya17%
Sama saja64%
Tidak19%
 
Apakah Anda setuju seandainya anggota DPR diizinkan membawa senjata api?
Setuju21%
Tidak setuju78%
Tidak tahu1%
 
Bila menjawab ya, mengapa Anda menjawab demikian?
Untuk menjaga keamanan mereka sendiri54%
Karena mereka sering bersikap kritis, sehingga terancam keselamatannya47%
Aparat keamanan belum mampu menjamin keamanan mereka38%
Di masyarakat, memang sudah banyak beredar senjata api sehingga bukan masalah jika para wakil rakyat juga memilikinya38%
Penjahat semakin berani27%
Karena status mereka sebagai wakil rakyat23%
Undang-undang mengizinkan19%
Banyak musuh politik3%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Bila menjawab tidak, mengapa Anda menjawab demikian?
Dapat disalahgunakan oleh wakil rakyat64%
Mereka belum terampil menggunakan senjata api50%
Kebebasan memiliki senjata belum waktunya diterapkan di Indonesia29%
Sebaiknya hanya tentara dan polisi yang boleh membawa senjata api26%
Membuka peluang perdagangan senjata api gelap21%
Makin mempersulit aparat menjaga keamanan13%
Hanya diperbolehkan untuk anggota MPR-DPR tertentu saja7%
Makin memperburuk keadaan3%
Rakyat sipil bisa ikut minta dipersenjatai1%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Menurut Anda, selain mempersenjatai anggota dewan, cara apakah yang lebih efektif untuk menjaga keamanan mereka?
Menambah jumlah aparat di sekitar lingkungan kerja dan tempat tinggal mereka55%
Menyediakan pengawal pribadi55%
Aparat harus lebih ketat melakukan kontrol senjata yang keluar, sehingga tidak disalahgunakan oleh penjahat34%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 

Metodologi jajak pendapat ini:

Penelitian ini dilakukan Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 506 responden di lima wilayah DKI pada 13-14 Maret 2000. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.

Penarikan sampel dikerjakan melalui metode random bertingkat (multi-stages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi wawancara tatap muka dan melalui telepon.

MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB

Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum