Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kemenangan Chen Shui-bian, berakhirlah dominasi setengah abad pemerintahan Kuomintang di Taiwan. Lienyang sejak 1997 menjadi wakil presiden dan mencanangkan tidak mau berkonfrontasi dengan Cinaternyata salah membaca gerak hati para pemilih, yang rupanya lebih suka menentang Cina, seperti yang dikampanyekan oleh Chen. "Keputusan tidak dapat diubah. Chen telah terpilih," kata Yu Ming-hsien, Direktur Komite Pemilihan Umum Nasional.
Pernyataan itu mengandung beragam makna. Satu hal pasti, cengkeraman para pengikut Chiang Khai-sek atas "nasib" Taiwan kini secara resmi tak ada lagi. Negara pulau itu memang masih akan terus berada di bawah bayang-bayang Beijing. Hanya, sikapnya barangkali lebih tegar. Dan kepemimpinan Chen mungkin merupakan awal yang sama sekali baru bagi Taiwan.
Cal Clark, pengamat politik Asia Timur dari Universitas Auburn, Amerika Serikat, menyatakan siapa pun presiden Taiwan pemenang pemilu 2000, posisinya sangat penting dalam menentukan arah masa depan Taiwan. "Sebab, Taiwan akan mempengaruhi stabilitas Asia," katanya.
Sejauh ini, Beijing tampaknya belum akan bertindak lebih asertif terhadap Taipei, sementara bagi masyarakat Taiwan sendiri, sosok pemerintahan yang non-Kuomintang masih merupakan teka-teki.
Chen, sang pemenang, juga kurang dikenal di luar Taiwan. Laki-laki 49 tahun itu adalah kader cemerlang dari PPD, partai oposisi pertama yang berdiri pada 1986. Berasal dari keluarga petani miskin di kawasan selatan Tainan, Taiwan, Chen meniti karir setelah menyelesaikan studi hukum di Universitas Nasional Taiwan. Namanya mulai dikenal ketika menjadi pembela pemberontak insiden Kaohsiung (1979)peristiwa kekerasan pertama yang menyebabkan lebih dari 50 demonstran dijebloskan ke penjara. Chen juga pernah menjadi anggota parlemen untuk PPD. Karir Chen kian mengilap setelah terpilih sebagai wali kota Taipei, pada 1994. Tapi, kemudian Chen sempat dipenjara selama delapan bulan karena menulis artikel di sebuah majalah yang dilarang terbit oleh pemerintah.
Bila dibandingkan dengan kandidat presiden yang lain, Chen terkesan paling berani. Dalam isu penting "hubungan antar-Selat", yaitu masalah posisi Taiwan terhadap Cina, Chen berani menyuarakan keinginan bangsa Taiwan untuk merdeka. Sementara itu, Lien dari Kuomintang terkesan banci, karena katanya, "Kami tidak ingin merdeka, tapi juga tidak ingin berkonfrontasi dengan Cina." Kandidat Soong malah jelas-jelas menyatakan proreunifikasi dengan Cina.
Suara mayoritas ternyata menampik Beijing. Dan risikonya, Taiwan harus bersiap-siap menghadapi "kemarahan" Cina. Karena itu, pesta kemenangan tidak akan lama dan Chen segera harus bekerja. Ia harus merintis rekonsiliasi dengan masyarakat yang makin plural dan memiliki kepentingan beragam, terutama dengan kelompok-kelompok yang selama ini diuntungkan oleh status quo Kuomintang. Padahal, kelompok pro-penguasa lama itu lekat dengan "black-and-gold politics", yaitu kolusi antara pengusaha dan penguasa, yang selama ini merupakan biang korupsi.
Masalah korupsi memang selalu dijadikan peluru oleh pihak oposisi untuk menghantam Kuomintang. Tapi, setelah Chen menang, persoalannya jadi tidak mudah. Kalau Chen berkompromi, kepercayaan pendukungnya akan segera musnah. Tapi, kalau Chen menerapkan jalan pedangyang pasti mengena pada pengusaha dan penguasa ternamaitu bisa berakibat perpecahan nasional. Hal itu sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja ekonomi. Padahal, kekuatan ekonomi Taiwan adalah perisai sakti dalam mempertahankan kedaulatan negeri itu. Bahkan, kendati digerogoti korupsi, Taiwan tercatat sebagai negara yang kekuatan ekonominya berada pada peringkat ke-25 dunia.
Bertolak dari kenyataan ini, isu perekonomian Taiwan pasti lebih penting ketimbang berbagai isu lain, termasuk ancaman serangan militer Cina. Dengan kekuatan ekonomi, Taiwan justru mampu menjadikan Cina sebagai pasar dan sasaran investasi terbesar Taiwan. Walaupun militer Cina selama sebulan tak henti-henti pamer kekuatan di Teluk Taiwan, pihak intelijen AS yakin manuver itu gertak sambal belaka. Cina tidak siap menyerang, setidaknya Beijing akan dengan hati-hati memperhitungkan untung-ruginya. Berdasarkan kalkulasi itu, Chen tampaknya untuk sementara bisa agak leluasa menata kekuatan internal, tanpa harus mengubah orientasi politiknya yang pro-rakyat kecil.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo