HADIRIN terpaku ketika kedua terdakwa itu digiring memasuki
ruangan Mahkamah Divisi Rangoon, 16 km dari ibu kota Birma, 22
November lalu. Kurus dan pucat, keduanya berpakaian bersih,
dengan rambut terpangkas pendek.
Kang Min-Chul, 28, muncul dengan lengan kiri buntung. Rekannya
Zin Mo, malah lebih parah. Selain kehiiangan lengan kanan dan
biji mata kanan, ia mendapat cedera di mata kirinya. Mereka
masing-masing mengaku sebagai kapten dan mayor Angkatan Darat
Korea Utara, anggota tim khusus yang menyusup ke Birma dengan
tugas istimewa.
Tuduhan pemerintah Korea Selatan, beberapa saat setelah bom
meledak di Mausoleum Martir, Rangoon, 9 Oktober silam, ternyata
bukan sekadar bual. Dalam insiden yang menewaskan 21 orang itu
-17 di antaranya pejabat tinggi Korea Selatan, termasuk empat
menteri senior- Seoul langsung menuduh Pyongyang. Tiga hari
kemudian polisi Birma membekuk Kan dan Zin, berikut barang
bukti yang memberatkan. Tersangka ketiga, (Kapten) Kim Chi-Ho,
terbunuh ketika berusaha melarikan diri.
Tak heran kalau ,sidang tertuduh pelaku pemboman 9 Oktober ini
mendapat perhatian -dan pengamanan- luar biasa. Selain wartawan
dalam dan luar negeri, pada hari kedua hadir sejumlah diplomat
Italia, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan. Kompleks mahkamah
dikawal ketat oleh polisi dan tentara, serta enam pesawat tempur
yang melayang-layang di udara.
Pengakuan Kang Min-Chul dibacakan oleh Thein Aung, kepala polisi
Birma, dan sekretaris tim penyelidikan yang dibentuk pemerintah.
Menurut penakuan itusuatu tim Korea Utara berada di bawah
perintah seorang jenderal bernama Kang Chang-Su dan ditugasi
membunuh presiden Korea Selatan, Chun Doo-Hwan, yang memulai
lewatan ke Birma, India, Sri Lanka Australia, Selandia Baru, dan
Brunei.
Ketiga anggota tim pembunuh ini berasal dari sebuah unit
pengintai Korea Utara yang bermarkas di Kaesong, dekat
perbatasan dengan Korea Selatan. Pada 9 September, mereka
menaiki kapal Tonggonae Gukho di pelabuhan Ongjin, di pantai
barat Korea Utara. Dan mendarat di Rangoon, pada 22 atau 23
September.
Menurut pengakuan Kang, setiba di Rangoon mereka langsung dibawa
ke rumah Chan Chang Hui, penasihat pada kedutaan besar Korea
Utara. Dua hari kemudian mereka menerima bahan peledak. Pada 7
Oktober, mereka melancong ke Mausoleum Martir. Kang memanjat ke
langit-langit bangunan yang tidak dikawal itu, dan memasang bom
yang bisa diledakkan dari jarak jauh.
Ketika rombongan tamu negara dari Korea Selatan mengunjungi
mausoleum, dua hari kemudian, Kang dan komplotannya mengintai
dari kejauhan. Setelah tamu terlihat ramai di ruang upacara,
pemimpin tim teroris, Zin Mo, langsung menarik picu, dan ledakan
yang terjadi meruntuhkan cungkup makam Aung San, pahlawan dan
pendiri Birma merdeka. Tapi sebuah kesalahan besar terjadi.
Presiden Chun Doo-Hwan, sasaran utama, selamat. Ia terlambat
lima menit tiba di tempat.
Dengan tuduhan terlibat pembunuhan dan pemilikan senjata api
secara gelap, Kang dan Zin diancam hukuman sepuluh tahun penjara
sampai hukuman mati di tiang gantungan. Ketua Mahkamah, Kolonel
Maung Maung Aye, tak lupa mengumumkan keputusan pemerintah Birma
menunjuk dua pembela yang akan mendampingi terdakwa. Juga
seorang penerjemah karena Kang dan Zin -yang fasih berbahasa
Cina dan Rusia, di samping bahasa Korea- tidak bisa berbahasa
Inggris.
Presiden-Birma, U San Yu, memang memperlihatkan itikad yang
sungguh-sungguh menyingkap malapetaka yang membawa aib ini.
Sebelum para terdakwa disidangkan, Birma secara resmi memutuskan
hubungan diplomatik dengan Korea Utara. Kesebelas diplomat Korea
Utara yang ditempatkan di Rangoon angkat kaki, 6 November siang.
Kesungguhan Birma ini, agaknya, yang membuat Korea Utara tidak
banyak bicara sejak kedua sabotirnya disidangkan. Pyongyang
malah menyampaikan pesan yang agak aneh untuk Korea Selatan
melalui sekretaris jenderal Partai Komunis Cina, Hu Yaobang,
yang berkunjung ke Jepang pekan lalu. Pesan yang diterima PM
Jepang, Yasuhiro Nakasone, itu berbunyi: Korea Utara tidak akan
menyerbu Korea Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini