Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah perjalanan 40 tahun

Pagelaran "perjalanan musik di indonesia (pensi) '83" di stadion senayan. menampilkan musik dari th 1940-1983, untuk meningkatkan riwayat musik indonesia dari masa ke masa. (ms)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH ambisi yang cukup besar meledak di Stadion Utama, Senayan, Sabtu pekan lalu. Dengan modal 13 grup musik, 46 penyanyi, dan sekitar 30 ribu penonton, tergelarlah perjalanan musik Indonesia 40 tahun belakangan ini. Maka, tampillah Netty dan Bram Titaley, buaya keroncong 1940-an. Muncul pula si peratap Patah Hati Rachmat Kartolo, yang berkumandang pada 1960-an. Tak ketinggalan Gang Kelinci Lilies Suryani, yang mengorbit di awal Orde Baru. Dan, tentu ikut ambil bagian si pemilik suara yang desahnya bisa bikin kepala puyeng, Vina Panduwinata, penyanyi pop masa kini. "Untuk menyusuri sejarah musik Indonesia dan mengingatkan kembali perjuangan hidup musikus an penyanyi kita dari dulu hingga sekarang," kata Idris Sardi, si empunya ambisi, mengutarakan tujuan acara ini. Tak tanggung-tanggung si penggesek biola itu mengaku menyediakan modal sekitar Rp 90 juta untuk Pensi (Perjalanan Musik di Indonesia) '83 ini. Dan untuk meraih penonton dari segala lapisan, karcis cuma dijual dengan harga Rp 2 ribu sampai Rp 4 ribu. Tak sepenuhnya Pensi '83 boleh dibilang sukses. Penampilan musik secara kronologis tak mendapat sambutan penonton di awal-awal acara. Kris Biantoro dan Koes Hendratmo, pembawa acara yang ikut juga tarik suara, tampaknya kurang bisa mengantarkan musik 1940-an di hati penonton yang sebagian besar berusia 20-an tahun itu. Maka, Pasar Gambir dari Netty dan Bram Aceh disoraki penonton, disuruh berhenti. Tapi selebihnya, mulai munculnya irama Melayu Ellya dengan Boneka dari India, disusul sisa grup Orkes Gumarang dengan Asbon, Syaiful Nawas, danJuni Amir mengiringi Nurseha si Ayam den Lapeh, diseling musik rock anak-anak Kaliasin, yang populer dengan grup AKA-nya, sampai desah Vina dalam September Ceria, disambut hangat. Tapi, bila hanya diukur dari Pensi '83 ini, yang pantas mendapatkan lencana bintang panggung adalah si Begadang H. Rhoma Irama dan sebuah nama dari Banyumas, Ebiet G. Ade. Rhoma, yang muncul dengan sejumlah anggota Soneta, langsung membuat suasana jadi panas. Dangdut rock yang didominasi perkusi dan tiupan terompet mengantarkan Begadang, La-ilaha-illallah, dan Lari Pagi. Sejumlah penonton buka baju, ikut berjoget. Tepuk tangan dan suitan terdengar memenuhi stadion. Tak penting benar rupanya apakah penampilan Soneta kali ini lebih baik atau lebih kurang dari biasanya. Pokoknya, musik yang mudah menggaet emosi ini, yang mudah membuat tubuh berlenggang-lenggok, memang masih merangsang. Popularitas si Rhoma ternyata masih kukuh. "Gue datang ke sini cuma pengen nonton Rhoma. Lain kagak," kata remaja yang mengaku bernama Amir dari Pedongkelan, Jakarta Barat. Untunglah, panitia suadah maklum agaknya, Haji ini ditampilkan sebagai penutup. Sebelum Rhoma, yang uga disambut hangat penonton adalah Ebiet G. Ade. Berita kepada Kawan, yang pernah jadi senandung di bis-bis kota, di pemancar-pemancar non-RRI, di kampung-kampung, dan di rumah gedongan awal 1980-an, malam itu seperti menggugah kenangan lama. Ebiet, yang rupanya menyadari kondisi lingkungan, tampil secara playback. Maka, 30 ribuan penonton itu pun ikut menyanyi: Barangkali di sana ada jawabnya/ Mengapa di tanahku terjadi bencana/ Mungkin Tuhan mulai bosan... dan seterusnya. Tapi, di akhir acara, sekitar pukul 02.00, ketika penonton berbondong-bondong keluar dari Stadion Utama, Senayan terasa ada yang hilang dari Pensi '83 ini. Yakni, dalam pergelaran yang mengambil ancar-ancar tahun 1940-an -kata Kris Biantoro "tak banyak data musik sebelum masa itu"- beberapa tonggak musik pop Indonesia tak terwakili. Koes Bersaudara, misalnya, yang populer di awal 1960-an, tak tampil. Juga Benyamin S. sebagai wakil pop berbau Betawi tak muncul. Pun warna musik Titiek Puspa yang khas itu tak terwakili. Dari Kris cuma ada jawaban, "Kami hanya ingin mengingatkan riwayat musik Indonesia dari masa ke masa." Lho, apa musik Benyamin bukan musik Indonesia?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus