SEBUAH ambisi yang cukup besar meledak di Stadion Utama,
Senayan, Sabtu pekan lalu. Dengan modal 13 grup musik, 46
penyanyi, dan sekitar 30 ribu penonton, tergelarlah perjalanan
musik Indonesia 40 tahun belakangan ini.
Maka, tampillah Netty dan Bram Titaley, buaya keroncong 1940-an.
Muncul pula si peratap Patah Hati Rachmat Kartolo, yang
berkumandang pada 1960-an. Tak ketinggalan Gang Kelinci Lilies
Suryani, yang mengorbit di awal Orde Baru. Dan, tentu ikut
ambil bagian si pemilik suara yang desahnya bisa bikin kepala
puyeng, Vina Panduwinata, penyanyi pop masa kini.
"Untuk menyusuri sejarah musik Indonesia dan mengingatkan
kembali perjuangan hidup musikus an penyanyi kita dari dulu
hingga sekarang," kata Idris Sardi, si empunya ambisi,
mengutarakan tujuan acara ini. Tak tanggung-tanggung si
penggesek biola itu mengaku menyediakan modal sekitar Rp 90 juta
untuk Pensi (Perjalanan Musik di Indonesia) '83 ini. Dan untuk
meraih penonton dari segala lapisan, karcis cuma dijual dengan
harga Rp 2 ribu sampai Rp 4 ribu.
Tak sepenuhnya Pensi '83 boleh dibilang sukses. Penampilan musik
secara kronologis tak mendapat sambutan penonton di awal-awal
acara. Kris Biantoro dan Koes Hendratmo, pembawa acara yang ikut
juga tarik suara, tampaknya kurang bisa mengantarkan musik
1940-an di hati penonton yang sebagian besar berusia 20-an tahun
itu. Maka, Pasar Gambir dari Netty dan Bram Aceh disoraki
penonton, disuruh berhenti.
Tapi selebihnya, mulai munculnya irama Melayu Ellya dengan
Boneka dari India, disusul sisa grup Orkes Gumarang dengan
Asbon, Syaiful Nawas, danJuni Amir mengiringi Nurseha si Ayam
den Lapeh, diseling musik rock anak-anak Kaliasin, yang populer
dengan grup AKA-nya, sampai desah Vina dalam September Ceria,
disambut hangat.
Tapi, bila hanya diukur dari Pensi '83 ini, yang pantas
mendapatkan lencana bintang panggung adalah si Begadang H. Rhoma
Irama dan sebuah nama dari Banyumas, Ebiet G. Ade.
Rhoma, yang muncul dengan sejumlah anggota Soneta, langsung
membuat suasana jadi panas. Dangdut rock yang didominasi perkusi
dan tiupan terompet mengantarkan Begadang, La-ilaha-illallah,
dan Lari Pagi. Sejumlah penonton buka baju, ikut berjoget. Tepuk
tangan dan suitan terdengar memenuhi stadion.
Tak penting benar rupanya apakah penampilan Soneta kali ini
lebih baik atau lebih kurang dari biasanya. Pokoknya, musik yang
mudah menggaet emosi ini, yang mudah membuat tubuh
berlenggang-lenggok, memang masih merangsang. Popularitas si
Rhoma ternyata masih kukuh. "Gue datang ke sini cuma pengen
nonton Rhoma. Lain kagak," kata remaja yang mengaku bernama Amir
dari Pedongkelan, Jakarta Barat. Untunglah, panitia suadah
maklum agaknya, Haji ini ditampilkan sebagai penutup.
Sebelum Rhoma, yang uga disambut hangat penonton adalah Ebiet
G. Ade. Berita kepada Kawan, yang pernah jadi senandung di
bis-bis kota, di pemancar-pemancar non-RRI, di kampung-kampung,
dan di rumah gedongan awal 1980-an, malam itu seperti menggugah
kenangan lama. Ebiet, yang rupanya menyadari kondisi lingkungan,
tampil secara playback. Maka, 30 ribuan penonton itu pun ikut
menyanyi: Barangkali di sana ada jawabnya/ Mengapa di tanahku
terjadi bencana/ Mungkin Tuhan mulai bosan... dan seterusnya.
Tapi, di akhir acara, sekitar pukul 02.00, ketika penonton
berbondong-bondong keluar dari Stadion Utama, Senayan terasa ada
yang hilang dari Pensi '83 ini. Yakni, dalam pergelaran yang
mengambil ancar-ancar tahun 1940-an -kata Kris Biantoro "tak
banyak data musik sebelum masa itu"- beberapa tonggak musik pop
Indonesia tak terwakili. Koes Bersaudara, misalnya, yang populer
di awal 1960-an, tak tampil. Juga Benyamin S. sebagai wakil pop
berbau Betawi tak muncul. Pun warna musik Titiek Puspa yang khas
itu tak terwakili. Dari Kris cuma ada jawaban, "Kami hanya ingin
mengingatkan riwayat musik Indonesia dari masa ke masa." Lho,
apa musik Benyamin bukan musik Indonesia?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini