Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
AUKUS dan pembangunan kapal selam nuklir Australia memanaskan situasi di Asia Pasifik.
Sejumlah negara di Asia Tenggara khawatir akan dampaknya pada stabilitas kawasan.
Australia berusaha melobi negara-negara Asia untuk meredakan ketegangan.
RENCANA pembangunan kapal selam bertenaga nuklir Australia berbuntut panjang. Negeri Kanguru, yang selama ini termasuk negara tanpa nuklir, akan memiliki kapal dengan reaktor nuklir, meski bukan senjata nuklir, dengan bantuan teknologi Inggris dan Amerika Serikat. Ini buah dari pakta pertahanan AUKUS ketiga negara pada pertengahan September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian negara di Asia khawatir pembangunan kapal selam itu akan mengganggu stabilitas keamanan di kawasan dan mendorong perlombaan senjata. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, menilai pakta itu telah merusak perdamaian di kawasan dan usaha-usaha internasional untuk tidak mengembangkan nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, Cina mengaitkan AUKUS dengan sikap komunitas internasional terhadap program nuklir Iran. “Mengapa Amerika dan Inggris mengatakan Iran tidak dapat memperkaya uranium di atas 3,7 persen, sementara di sisi lain mereka berencana mentransfer berton-ton bahan (uranium) yang sangat diperkaya 90 persen ke AUKUS?” tutur Wang Qun, Utusan Cina untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Jumat, 26 November lalu, seperti dikutip Bloomberg. “Ini adalah contoh standar ganda.”
Upaya Beijing mengaitkan AUKUS dengan masalah Iran ini diperkirakan akan menambah hambatan IAEA dan negara lain untuk mengembalikan Teheran ke perjanjian nuklir 2015, yang akan menghentikan pengembangan senjata nuklir Iran. Mikhail Ulyanov, ambasador Rusia yang mewakili negaranya di IAEA, juga mendukung seruan Cina. IAEA akan membahas masalah Iran ini di Wina, Austria, pada Senin, 29 November 2021.
Sejumlah negara di Asia Tenggara masih menunjukkan kekhawatiran terhadap kebijakan pertahanan Australia ini. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan Kuala Lumpur dan Jakarta memiliki kekhawatiran yang sama mengenai dampak AUKUS. “Kami bersepakat pada isu terbaru di kawasan mengenai negara di dekat kawasan kami yang membeli kapal selam bertenaga nuklir,” kata Saifuddin selepas bertemu dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Jakarta pada Rabu, 10 November lalu. “Walaupun negara itu tak punya kapasitas senjata nuklir, kami khawatir dan prihatin.”
Pertemuan 2+2 antara Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Australia-Indonesia, di Jakarta, 9 September 2021. Kementerian Luar Negeri
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pernyataan resmi mengenai hal ini tak lama setelah AUKUS diumumkan. “Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan. Indonesia menekankan pentingnya komitmen Australia untuk terus memenuhi kewajibannya mengenai non-proliferasi nuklir,“ ucap Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam pernyataannya.
Menteri Retno kembali menegaskan sikap Indonesia saat menjadi pembicara dalam acara Asia Society pada Senin, 22 November lalu. Retno mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengenai kemungkinan terjadinya “perang dingin baru”. Dia menyatakan Australia memang telah menjelaskan alasan pembangunan kapal selam nuklir dan berkomitmen menegakkan traktat non-proliferasi nuklir. “Yang tidak diinginkan oleh kita semua adalah meningkatnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan,” ujar Retno.
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne kemudian beranjangsana ke Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia untuk meredakan ketegangan ini sepanjang pekan kedua November lalu. Di Jakarta, Payne bersama Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton bertemu dengan Menteri Retno dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Mereka membicarakan berbagai upaya memperkuat kerja sama kedua negara, termasuk di bidang pertahanan.
Meski demikian, Abdul Kadir Jailani, Direktur Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, menyatakan sikap Indonesia tidak berubah mengenai AUKUS dan kapal selam nuklir. “Semua tetap sama,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 25 November lalu.
Australia sudah lama berencana memiliki kapal selam baru pengganti kapal selam konvensional kelas Collins yang bertenaga diesel. Pada 2009, Departemen Pertahanan merilis dokumen mengenai pertahanan masa depan negeri itu yang memaparkan perlunya memodernkan dan memperkuat Angkatan Bersenjata Australia.
Dokumen itu menyatakan Australia membutuhkan kapal selam masa depan yang mampu melakukan berbagai tugas, seperti perang anti-kapal selam dan deteksi ranjau. Kapal itu juga mampu bergerak diam-diam dalam jangka panjang dan lama serta kecepatan tinggi. Namun, “Pemerintah mengesampingkan (pilihan kepada) kapal selam bertenaga nuklir,” demikian antara lain isi dokumen tersebut.
Tujuh tahun kemudian, perdana menteri Malcolm Turnbull meneken perjanjian dengan Naval Group, badan usaha milik pemerintah Prancis, untuk pembangunan 12 kapal selam. Kapal ini dikembangkan berdasarkan kelas Barracuda bertenaga nuklir Prancis dengan mengubah mesin nuklirnya menjadi mesin diesel. Nilai “kontrak abad ini” tersebut adalah A$55 miliar untuk periode 25 tahun. Namun proyek ini ngadat dan biayanya membengkak mencapai A$ 90 miliar.
Pada Februari lalu, pemerintah Australia meninjau ulang proyek yang dinilai terlalu mahal itu. Perdana Menteri Australia Scott Morrison merundingkan masalah ini dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada Juni lalu. Pertemuan ini berujung pada pernyataan bersama menteri pertahanan dan menteri luar negeri kedua negara untuk melanjutkan proyek tersebut.
Namun sejumlah media Inggris melaporkan, sejak Februari, Australia telah melobi Inggris dan Amerika untuk menyediakan kapal selam bertenaga nuklir. Scott Morrison membahas hal ini dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Amerika Joe Biden di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Inggris pada Juni lalu.
Akhirnya, pada pertengahan September, Australia, Inggris, dan Amerika mengumumkan pakta pertahanan AUKUS. Dalam pakta ini, Inggris dan Amerika akan membantu Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir dan transfer teknologinya. Kerja sama juga termasuk pengembangan kecerdasan buatan, siber, teknologi kuantum, dan teknologi bawah laut. Pada hari yang sama, Australia membatalkan kontrak dengan Naval Group.
Morrison mengatakan, berdasarkan perkembangan situasi strategis di Indo-Pasifik, Australia kini membutuhkan kapal selam bertenaga nuklir yang dapat bergerak lebih cepat, bertahan lebih lama di bawah laut, dan mengangkut barang yang lebih berat daripada kapal selam konvensional. Sambil menunggu kapal selam barunya jadi pada 2030, Australia akan memensiunkan kapal selam lama dan menggantinya dengan kapal selam bertenaga nuklir yang dipinjam atau dibeli dari Amerika atau Inggris.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo