Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia Investment Authority (INA) bekerja sejak Februari lalu.
Lembaga pengelola dana investasi negara ini baru berinvestasi Rp 3 triliun.
Diwanti-wanti agar tidak terpuruk seperti nasib 1MDB di Malaysia.
Indonesia Investment Authority (INA), lembaga pengelola dana investasi negara (SWF) Indonesia, berbeda dengan lembaga SWF negara lain karena ditujukan untuk menarik dana investasi asing. Lembaga ini dibentuk melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan secara resmi bekerja sejak Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak ekonom mewanti-wanti lembaga yang bertanggung jawab kepada presiden ini agar tidak bernasib sama dengan 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Lembaga SWF pemerintah Malaysia itu dinilai tidak dikelola dengan baik dan akhirnya terpuruk dalam korupsi yang menyebabkan Perdana Menteri Najib Razak diadili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua INA Arief Budiman mengatakan lembaganya sudah memiliki modal Rp 30 triliun dan Rp 45 triliun lagi masih dalam proses. Komitmen yang didapatkan sudah lebih dari US$ 20 miliar, tapi investasinya baru sekitar Rp 3 triliun. “Sekarang baru setengahnya,” kata mantan Direktur Keuangan Pertamina ini kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Khairul Anam, dan Mahardika Satria Hadi, di kantornya di kawasan SCBD, Jakarta, Jumat, 26 November lalu.
Dalam wawancara sekitar satu jam, Arief menjelaskan konsep INA, mengapa memilih membeli saham Mitratel, dan bagaimana menjaga agar lembaga ini tak bernasib seperti 1MDB. Ia juga menjelaskan bagaimana INA menghadapi permintaan dari pemerintah untuk melihat proyek-proyek badan usaha milik negara dan ancaman intervensi dari pemerintah.
Biasanya lembaga SWF dibentuk untuk mengelola kekayaan negara. Mengapa INA tidak?
SWF di negara yang sudah surplus mengelola banyak kelebihan dana, minyak, atau komoditas lain. Kelebihan dana itu untuk kebutuhan negara dan bangsanya di masa mendatang dengan diinvestasikan. Itu betul. Walaupun sebetulnya dalam 5-10 tahun terakhir ada jenis SWF yang sifatnya untuk menarik investasi. Yang dicari biasanya memang yang berstatus dana investasi negara (sovereign wealth fund). Kebanyakan investor itu, apalagi jika belum paham atau nyaman, cenderung menaruh dana di aset riil seperti properti sehingga perlu kestabilan, misalnya, selama 15-20 tahun atau bahkan lebih. Jadi status “sovereign” itu memberikan kenyamanan kepada mereka. Contoh yang paling sering jadi rujukan adalah National Investment and Infrastructure Fund India dan Russian Direct Investment Fund.
Kita butuh ribuan triliun rupiah untuk pertumbuhan ekonomi 5-6 persen. Di satu sisi kita tahu bahwa ada banyak dana di luar sana. Kebanyakan masuk dalam bentuk utang. Utang itu ada bagusnya karena “murah”. Tapi, pada saat pandemi Covid-19, utang tak bisa disetop. Kalau kondisi ekonomi turun, angsuran kan tetap jalan. Kalau siklusnya begitu, ia akan cukup membebani. SWF ini adalah upaya untuk diversifikasi modal.
Yang kita cari adalah ekuitas. Kalau masuk, untung sama untung, rugi sama rugi sehingga mudah-mudahan tidak tercatat sebagai tambahan utang di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sewaktu pemerintah berbicara dengan beberapa negara, mereka percaya Indonesia punya potensi jangka panjang, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Tapi kita butuh mitra ko-investasi. Mitra itu, kalau bisa, berlandaskan hukum kuat dan dijalankan secara profesional, maka dibentuklah Undang-Undang Cipta Kerja. Sewaktu pembentukannya, saya termasuk tim teknis. Kami cari masukan-masukan. Misalnya 1MDB itu masalahnya apa dan itu jadi masukan.
Apa pelajaran dari kasus 1MDB?
Independensi. Semua SWF itu perlu independensi. Contohnya di dewan pengawas dua anggota ex officio, yaitu Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Tapi ada komisaris independen. Tidak ada supervote. Yang profesional suaranya sama. Itu satu contoh. Yang paling penting independensi berdasarkan perundang-undangan. Kami secara sukarela ikut International Forum of Sovereign Wealth Funds. Ada yang namanya Santiago Principle (prinsip tata kelola yang baik dan transparan). Kami masuk sebagai associate member. Kami ingin dinilai apakah, misalnya, kami sudah sesuai dengan prinsip sovereign wealth fund yang benar.
Apakah lembaga investasi dan aturan kurang memadai untuk menarik investasi sehingga butuh INA?
Kalau dibilang tak bisa, tidak juga. Kan, ada penanaman modal asing (FDI). Tapi ada beberapa hal yang memang kalau sifatnya ekuitas perlu mencari mitra yang “sovereign”. Contohnya, kadang-kadang investor masuk melalui special purpose vehicle (SPV) atau perusahaan khusus, bukan hanya karena pajak, tapi kadang-kadang lebih ke kepastian hukum kalau ada masalah, misalnya.
Yang paling utama itu biasanya, selain fiskal, adalah kalau nanti ada masalah (disputed), bisakah mereka berada di suatu konstruksi yang membuat mereka nyaman. Sejujurnya bagi investor luar itu yang paling penting adalah status hukumnya, sehingga sebaiknya diatur dalam undang-undang. Mereka kan akan berinvestasi 20-30 tahun. Mereka maunya undang-undang ini berjalan, siapa pun pemerintahnya.
Bukan karena ada ketidakpercayaan dari dunia internasional?
Kestabilan multi-rezim. Wajar, dong.
Apakah ada yang model SWF seperti kita?
Yang model ini mungkin cuma kita. Timor-Leste Petroleum Fund memakai kelebihan cadangan. Di Singapura ada Government of Singapore Investment Corporation (GIC) dan Temasek Holdings. GIC berfokus pada investasi yang ke luar, yang portofolio. Temasek dengan portofolio dari perusahaan. Di Malaysia ada Khazanah Nasional Berhad. Kebanyakan dari mereka berbentuk holding. Khazanah lebih sedikit mirip Temasek.
Mengapa berinvestasi perdana di Mitratel? Karena sudah melakukan penawaran saham perdana (IPO)?
Sebetulnya tidak juga. Sekarang ini kita ada 50 peluang investasi dan sembilan sektor yang kami lihat.
Setelah IPO, harga saham Mitratel turun. Apakah itu sudah diperhitungkan?
Sesuai dengan mandat kami kan memang berinvestasi untuk jangka panjang. Kita melihat investasi 5-10 tahun ke depan. Jadi sudah diperhitungkan. Itu masih wajar. Kita percaya pada fundamental jangka panjang. Dalam jangka pendek, memang bisa naik-turun seperti itu.
Di saham begini, apakah ada kesepakatan dengan investor soal lama bertahan?
INA kan punya perspektif jangka panjang. Ada beberapa investor mendaftar untuk IPO. Tidak boleh ada perlakuan lebih. Tapi memang ada beberapa investor yang masuk kalau INA masuk.
Bisnis seperti Mitratel ini pesaingnya makin banyak. Apakah yang membuat INA yakin untuk masuk?
Kalau tidak yakin, kami tidak akan berinvestasi. Kami sudah melakukan evaluasi dari informasi yang ada di publik.
Apakah berencana untuk mau masuk ke pembangunan jalan tol?
Kalau untuk jalan tol, kami memang masih dalam tahap mengirimkan indikasi soal kurang-lebih ruas mana dan berapa nilainya. Sama seperti hard buyer, hard selling. Kalau harga tak masuk, ya, enggak bisa juga. Yang memiliki tol dipaksa untuk menjual kan tidak bisa juga. Sama juga kami ada mitra ko-investasi yang tak bisa dipaksa untuk masuk. Tapi kami memang sudah menyelesaikan traffic study di Sumatera dan Jawa.
Berapa besar investasi sekarang?
Kurang-lebih Rp 3,1 triliun, yang sifatnya investasi sendiri. Yang bareng-bareng itu kurang-lebih dua kali lipatnya.
Kalau modal yang dimiliki?
Total Rp 30 triliun. Tapi kan bukan berarti peluang investasi ini kami masuki semua. Sebagian besar memang terkait dengan investasi langsung, yang membutuhkan uji tuntas (due diligence). Sekarang kami melihat ada 50 proyek.
Investasinya di mana saja?
Ada satu kawasan industri. Kami masih menunggu respons dari pemilik aset. Di sana banyak pabrik, yang di Krakatau Steel. Di sisi penggalangan dana (fundraising) kurang-lebih mencapai US$ 20 miliar. Dari sini ke apa saja? Ada yang pasti soal jalan tol itu, dengan komitmen US$ 3,75 miliar atau sekitar Rp 54 triliun. Terus ada pelabuhan, marine logistic, sebesar US$ 7,5 miliar selama beberapa tahun. Terus ada yang dengan Abu Dhabi hingga US$ 10 miliar. Sektornya masih didesain. Total sekitar US$ 20 miliar. Ini hampir semuanya komersial.
Dananya belum masuk?
Masih berupa komitmen. Jadi, dari sisi penggalangan dana, bisa dikatakan yang tertarik masih banyak. Harganya harus cocok, bukan hanya bagi pembeli, tapi juga penjual. Kedua, juga sisi tata kelolanya. Pada saat masuk, pemilik saham minoritas itu proteksinya seperti apa. Kalau pemilik saham mayoritas, dari sisi regulasi apakah sudah nyaman.
Bagaimana mendapatkan komitmen dari Abu Dhabi?
Pertama, kalau yang beberapa negara, dari Jepang dan Abu Dhabi, dimulai dari government-to-government. Dari Uni Emirat Arab (UEA), US$ 10 miliar atau US$ 20 miliar. Dari sini perlu diterjemahkan pada proyek apa dan di mana serta apakah nilainya baik dan optimal. Bukan hanya dari sisi investor, tapi juga pemilik aset. Kedua, apakah tata kelolanya cukup dan cocok. Ambil contoh UEA. Komitmennya di level tingkat tinggi, bukan hanya dengan INA. Ada BUMN, ada swasta yang menandatangani. Itu government-to-government.
Apakah investasi sekarang ini sudah sesuai dengan target?
Tahun ini belum. Tahun ini sebetulnya target deployment sebesar Rp 7 triliun. Sekarang baru setengahnya.
Kalau target fundraising?
Targetnya 1 : 3 atau 1 : 4. Kalau kami punya Rp 15 triliun, (pihak lain) tiga kali lipatnya. Kalau dari segi komitmen sih sudah melebihi. Contohnya, di sektor pelabuhan, US$ 7,5 miliar itu dana sendiri. Kalau jalan tol, dari US$ 7,5 miliar itu, kami cuma investasi US$ 0,75 miliar. Jadi hampir 1 : 3 atau 1 : 4. Dari target deployment yang belum tercapai.
Bagaimana INA meyakinkan investor asing kalau melihat INA bisa diminta menangani proyek BUMN?
Kalau investasi barengan, kami bikin evaluasi, mereka bikin evaluasi. Ambil contoh jalan tol. Misalnya kami bilang segini, mereka bilang segini. Kalau bareng-bareng kan kami harus bersepakat karena satu entitasnya. Memang ada enggak adilnya ketika mereka menaruh country risk.
Arif Budiman saat diperkenalkan sebagai Wakil Ketua Dewan Direktur INA , di Istana Negara, 16 Februari 2021/Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Apakah INA akan mengakomodasi penugasan dari pemerintah?
Mungkin saja selama itu komersial.
Apa target pemerintah untuk INA?
Imbal hasil yang standar dan investasi atau modal. Modal itu tidak harus dari asing, bisa dari domestik juga. Tentunya kalau diminta melihat suatu proyek, wajar, dong. Siapa tahu ada yang mau.
Apa dampaknya kalau INA mau mengakomodasi semua permintaan pemerintah untuk menangani proyeknya?
Kalau untuk investasi, semua akan dievaluasi. Kan, 50 proyek itu kami evaluasi dulu dan bukan berarti semuanya oke.
Jadi siapa pun boleh menawarkan ke INA?
Ya, dong. Mandat undang-undangnya kan begitu.
Seberapa besar potensi untuk menarik investasi asing?
Sampai sekarang kami sudah bertemu dengan hampir 100 pihak. Ada yang difasilitasi kedutaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, BUMN, dan Kementerian Investasi. Ada yang dari jaringan kami juga.
Pemerintah kan sudah ada Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang sekarang menjadi Kementerian Investasi. Apa bedanya dengan INA?
Pemerintah kan regulator, kami investor. Kami tak buat peraturan. Peran kami investasi. Kami juga menaruh “skin in the game”, menaruh uang kita sendiri, maka kami perlu evaluasi. Kami juga mengelola aset. Kalau investasi dan mengelola aset, kami cari aset yang kami dan mitra bisa tingkatkan nilainya. Ini yang disebut Operational Alpha oleh Pak Ridha (Ridha Wirakusumah, Ketua Dewan Direktur INA). Ini produktivitasnya masih segini, bisa enggak seperti itu? Misalnya ia ditingkatkan bukan hanya dengan teknologi dan modal, tapi juga jaringan. Kalau dia 100, bisa enggak kita jadikan 120? Kalau tetap 100, ya, biar di sana saja. Enggak ada nilai tambahnya.
Status kerja sama investasi ini business-to-business atau government-to-government?
Business-to-business. Semua government-to-government itu ujungnya business-to-business.
Ada kesan INA cenderung masuk ke aset yang sudah jadi atau brownfield, bukan yang baru atau greenfield.
Mau masuk ke mana, yang pasti barangnya dulu, kan. Kondisi berbeda di tiap aset. Ambil contoh jalan tol. Di masa pandemi, orang cukup tahu risiko investasi pertama adalah pembebasan lahan dan konstruksi. Namun kalau tidak ada trafiknya bagaimana? Tapi mulai di situ dulu. Kalau dengan ko-investor, kami mulai dengan brownfield dulu. Kalau di proyek pelabuhan, itu kan kombinasi brownfield dan greenfield.
Kalau proyek dengan Pertamina seperti apa?
Ada beberapa dan ini masih berjalan. Banyak proyek strategis. Ada satu yang bisa diungkap, misalnya private equity untuk Balikpapan. Itu kan juga ada mitra investasi. Sampai berapa persen masih dinegosiasikan.
Di sektor digital, apa yang akan dimasuki?
Kami lihat tiga. Ada infrastruktur digital seperti menara telekomunikasi, pusat data, dan serat optik. Satu lagi terkait dengan perangkat lunak. Ketiga, bisnis seperti Gojek dan Halodoc yang lebih ke jasa.
Sudah ada permintaan untuk masuk ke proyek ibu kota negara?
Pembicaraan ada, tapi belum spesifik. Kalau kami lihat ada nilainya, oke. Semuanya skema komersial. Selama komersial dan bisa ko-investor, ya, kami lihat.
Menurut undang-undang, pejabat INA tak bisa dipidana. Bagaimana mencegah adanya moral hazard?
Contohnya kami ikut dinilai benar atau tidak. Di dalam kami ada prosedur standar dan ada diskusi dan dialog dengan Dewan Pengawas. Ada juga prinsip di peraturan pemerintah. Rinci banget untuk memilih mitra. Itu sebetulnya masukan kalau saya, misalnya, mau jadi mitra. Kan, ada ko-investor. Kalau dia tidak mau, ya, tidak bisa.
Adakah jenis investasi yang perlu persetujuan Dewan Pengawas?
Lebih ke arah karakteristik. Misalnya, kalau sendiri saja, harus ke Dewan Pengawas, harus lapor mengapa sendiri. Kami menjaga perimbangan antara harus menjadi independen, karena kan ada ex officio. Jangan sampai ini terlalu masuk ke operasional.
ARIEF BUDIMAN
• Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 10 Juli 1974 • Pendidikan: Sarjana Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (1996), Master of Business Administration di The Wharton School, University of Pennsylvania, Amerika Serikat (2002) • Karier: Komisaris Independen PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (2020-2021), Direktur Utama PT Danareksa (2018-2020), Direktur Keuangan PT Pertamina (2014-2018), Presiden Direktur McKinsey & Co (2004-2014), Associate Booz Allen & Hamilton New York, Amerika Serikat (2003-2004)
Dengan sistem ini apakah cukup yakin bebas dari fraud?
Kalau yakin, ya, harus yakin dulu. Kami berharap tetap jujur dengan mitra investasi. Mudah-mudahan kami dapat mitra yang punya rekam jejak yang baik. Kami juga ada komite investasi yang menilai risiko. Di atas juga ada Dewan Pengawas.
Apakah ada indikasi pemerintah mengintervensi?
Sejauh ini tidak. Kalau meminta untuk mengevaluasi (proyek), wajar saja. Asing saja ditawari. Masak, kami tak ditawari? Itu wajar saja.
INA tidak ada masalah kalau menolak?
Tidak ada masalah. Pernah ada yang proyek yang valuasinya cocok, strukturnya kok tidak memiliki cukup kendali? Ya, sudah kalau tidak tak-apa. Ini belum ideal. Tidak dipaksa juga.
Posisinya bisa setara dengan pemerintah?
Kan, presiden pemerintah juga. Tapi sejauh ini tidak, ya. Kalau diminta mengevaluasi proyek, perjelas dulu nota kesepahamannya. Ada perjanjian kerahasiaan (NDA). Saya ambil contoh, kalau secara struktural tidak optimal, jangan lupa kan ada ko-investor. Tidak kami sendiri.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Apa ada dampaknya terhadap INA?
Baru kemarin diputuskan dan undang-undang itu kini masih berlaku. Mitra-mitra, yang sudah berjalan di proyek jalan tol dan pelabuhan, sampai sejauh ini belum mempertanyakan soal itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo