Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pembangunan kapal selam nuklir Australia memanaskan situasi politik Indo-Pasifik.
Aliansi Australia, Inggris, dan Amerika Serikat dalam AUKUS berangkat dari paranoia terhadap hegemoni Cina.
ASEAN punya kekuatan pendamai untuk meredakan situasi di kawasan.
AUSTRALIA, Inggris, dan Amerika Serikat memiliki paranoia yang sama ketika melihat dinamika internasional kontemporer: makin besarnya ancaman hegemoni Cina. Peningkatan kemampuan ekonomi dan militer Cina terasa nyata, khususnya di kawasan Indo-Pasifik. Kedekatan historis dan ketakutan sama yang dimiliki ketiga negara tersebut mendorong dibentuknya aliansi trilateral AUKUS pada 15 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerja sama AUKUS berfokus pada bidang pertahanan, termasuk akuisisi teknologi pertahanan, maritim, siber, hingga kecerdasan buatan. Kontroversi utama yang membawa ketegangan di kawasan adalah Amerika dan Inggris mendukung pengadaan delapan kapal selam bertenaga nuklir bagi Australia. Meski hanya sebagai bahan bakar, penggunaan nuklir menuai kontroversi dan kekhawatiran bahwa hal tersebut akan memicu peningkatan perlombaan senjata di kawasan. Selain itu, Australia menghentikan kerja sama dengan Prancis, yang sebelumnya akan memasok 12 kapal selam bertenaga diesel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliansi AUKUS menunjukkan bahwa kondisi genting menyebabkan aksi putus asa. Sebelumnya Amerika Serikat berupaya mengepung Cina dengan membuat kerja sama dengan empat negara QUAD (bersama India, Jepang, dan Australia) pada 2017, tapi kini dirasakan bahwa Jepang dan India tidak mampu menekan Cina sekuat Amerika dan Australia. Hal ini membuat Amerika dan Australia mencari teman baru dan kebetulan Inggris sedang membangun kembali diplomasinya di Asia selepas perpisahan dengan Uni Eropa pada 2020.
Kekuatan Cina di Indo-Pasifik sudah menjadi kekhawatiran yang tidak disuarakan tapi pengaruhnya dirasakan. Cina memiliki dominasi kuat melalui perjanjian kerja sama ekonomi, baik secara bilateral, misalnya dengan Pakistan melalui Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC), maupun multilateral, seperti kerja sama Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Kerja sama ini umumnya menempatkan negara mitra dalam posisi ketergantungan terhadap investasi dan utang dari Cina.
Meningkatnya kekuatan ekonomi Cina sejak awal 2000-an diiringi pula dengan sikapnya yang semakin mendominasi. Hal ini terlihat dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan. Beberapa kapal militer Cina telah menyelonong masuk ke Laut Natuna Utara, yang merupakan bagian dari Indonesia. Negara tersebut juga membangun pulau buatan dan bangunan di kepulauan Paracel, yang bersengketa dengan Vietnam, dan di kepulauan Spratly, yang bersengketa dengan Filipina. Selain itu, Cina tidak mengindahkan hasil arbitrase internasional yang dimenangi Filipina pada 2016 dengan tetap membatasi akses nelayan Filipina ke Karang Scarborough. Pamer kekuatan juga dilakukan Cina di udara dengan menerbangkan 16 pesawat di atas wilayah Malaysia.
Negara yang paling merasa terancam di kawasan Indo-Pasifik adalah Australia, yang aktif memberikan atribusi serangan siber kepada Cina dan menuntut penyelidikan asal virus Covid-19. Cina membalasnya dengan perang dagang yang menyebabkan kerugian signifikan terhadap ekonomi Australia. Karena itu, timbul kesadaran bahwa Australia perlu mengurangi ketergantungan pada Cina dan meningkatkan kapasitas strategisnya. Dalam keterdesakannya, Inggris dan Amerika menerima Australia dengan tangan terbuka. Sayangnya, meski mendapatkan sahabat baru dalam AUKUS, Australia meninggalkan teman lamanya, Prancis.
Aksi Australia membatalkan secara sepihak perjanjian pembelian kapal selam dengan Prancis karena lebih tertarik pada produk Inggris dan Amerika memaksa Presiden Prancis Emmanuel Macron menarik duta besarnya dari Australia dan Amerika. Dalam keadaan marah, Prancis juga mendorong dikeluarkannya pernyataan kekecewaan Uni Eropa atas tindakan tersebut. Prancis, yang merasa ditinggalkan oleh AUKUS, berusaha memenangkan hati negara-negara Asia yang cemas karena hadirnya pakta keamanan baru tersebut. Sebenarnya Prancis dan Uni Eropa merupakan kekuatan penyeimbang geopolitik kawasan Indo-Pasifik jika berhasil membangun kerja sama yang kuat dengan seluruh negara Asia.
Tentu saja Prancis melihat potensi Indonesia sebagai pemain besar di kawasan karena ukuran dan pengaruhnya. Pada saat Presiden Macron dan Presiden Joko Widodo berdiskusi di Pertemuan G20 di Roma bulan lalu, keduanya membahas keinginan bersama untuk menjalin kemitraan strategis di Indo-Pasifik. Pendekatan Prancis juga semakin gencar dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian ke Jakarta pada 23-24 November.
Namun, berpegang pada doktrin luar negeri bebas aktif, Indonesia selalu berusaha menjadi penengah yang adil (honest broker). Ini seperti terlihat dalam aktifnya Indonesia mendorong solusi atas sengketa batas di Laut Cina Selatan melalui negosiasi perumusan kode etik (Code of Conduct for the South China Sea). Selain itu, saat Amerika di bawah Presiden Trump mendorong konsep Indo-Pasifik untuk memagari pengaruh Cina pada 2018, Indonesia bersama dengan negara Asia Tenggara merumuskan kerangka kebijakan yang inklusif dengan meluncurkan Pandangan ASEAN atas Indo-Pasifik (AOIP) setahun kemudian.
Kini, kepiawaian diplomasi Indonesia untuk menangani kompetisi negara besar dan meredam dampak AUKUS sangatlah dinanti. Banyak pihak melihat bagaimana populernya Indonesia pada November 2021 dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne dan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian ke Jakarta serta unggahan video Menteri Pertahanan Amerika Llyod Austin di media sosial saat dia bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di sela-sela Dialog Manama. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia memanfaatkan posisinya? Pilihan terbaik adalah dengan menguatkan soko guru politik luar negeri Indonesia, yakni Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.
Meski kesepuluh negara anggota ASEAN memiliki preferensi negara besar yang berbeda, Indonesia sebagai pemimpin de facto harus dapat bermanuver agar organisasi kawasan ini mampu mempertahankan sentralitas dan kohesivitasnya. Tanpa persatuan, setiap anggota ASEAN akan kehilangan kemampuan negosiasi bersama (collective bargaining) dan akan menjadikan organisasi kawasan ini tak lagi relevan.
Menghadapi kompetisi antara Amerika dan Cina serta ketegangan yang dihasilkan AUKUS, Indonesia percaya bahwa ASEAN yang kuat dapat memainkan peran sentral dalam mentransformasi konflik menjadi dialog. Hal ini terjadi karena ASEAN memiliki mekanisme dialog, antara lain melalui ASEAN Regional Forum, Konferensi Asia Timur, dan Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) Plus yang menjadi sarana diskusi untuk mencari solusi di berbagai bidang, termasuk di sektor keamanan, ekonomi, kemanusiaan, serta pembangunan berkelanjutan.
ASEAN merupakan kekuatan pendamai karena ia layaknya gado-gado yang menerima perbedaan bentuk dan ideologi negara yang ikut serta dalam dialognya. Hal ini dimungkinkan karena norma ASEAN menekankan proses konsultasi dan konsensus yang menjadi modalitas dalam menyelesaikan konflik.
Ke depan, Indonesia memiliki dua tugas untuk menyetir ASEAN agar efektif. Pertama, Indonesia perlu membuat terobosan untuk menyelesaikan kekhawatiran bersama atas kompetisi Cina dengan blok Amerika yang dapat melebar melebihi AUKUS. Indonesia dikenal mampu mendorong kesepakatan untuk menurunkan ketegangan, seperti melalui Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas (ZOPFAN) pada 1971 dan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC) pada 1976 yang berguna untuk menginsulasi dampak Perang Dingin di kawasan. Ada harapan agar Indonesia sekali lagi dapat memberikan kontribusi intelektual dan strategis untuk keamanan dan kestabilan kawasan.
Tugas kedua bagi Indonesia adalah mendorong ASEAN menjadi lebih dari sekadar tempat orasi (talk shop). Hadirnya kapal militer Cina Kunming-172 di Laut Cina Selatan pada September lalu dan akan dioperasikannya kapal selam bertenaga nuklir Australia pada 2030 membawa kenyataan bahwa berbicara saja tidaklah cukup. Sudah saatnya ASEAN memiliki peta strategi perwujudan perdamaian yang konkret dengan didukung komitmen yang konsisten dan sumber daya yang cukup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo