Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengunci perlawanan pembangkang... mengunci perlawanan pembangkang ...

4 orang tokoh kulit hitam terbunuh dalam rentetan kerusuhan yang kian menjadi. orang kulit hitam yang tergabung ke dalam anc & partai komunis semakin garang, presiden botha memaklumkan darurat perang. (ln)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Pieter W. Botha telah mengambil keputusan bersejarah di Johannesburg, Sabtu lalu. Ia memberlakukan keadaan darurat terhadap 36 distrik di Afrika Selatan, daerah rawan yang tak putus dilanda kerusuhan sejak 10 bulan berselang. Sesudah peristiwa Uitenhange, Maret 1985, yang menewaskan 19 orang hitam, pertumpahan darah kian sering terjadi. Pekan lalu, lagi empat tokoh kulit hitam terbunuh dalam sebuah huru-hara. Oleh pengikutnya mereka dinyatakan sebagai martir, lalu dimakamkan dalam upacara paling provokatif - yang dihadiri tidak kurang dari 35.000 warga hitam. Surat kabar The New York Times melaporkan, empat martir itu adalah pemimpin lokal yang ditemukan tewas sesudah mobil mereka dirampas. Jasad korban menunjukkan tanda-tanda dibakar dan dianiaya. Lebih mengerikan lagi, tubuh yang mulai membusuk itu dipurukkan ke bukit-bukit pasir di tepi pantai Samudra Hindia. Massa rakyat dan Front Persatuan Demokratik - kelompok oposisi terbesar di luar parlemen mempersalahkan polisi untuk pembunuhan itu. Lagu-lagu protes pun dinyanyikan di saat penguburan. Pedang Bangsa, lagu populer dari sayap militer Kongres Nasional Afrika (ANC) - sebuah partai terlarang - berkumandang lepas. ANC adalah kelompok terkemuka yang menentang apartheid, politik perbedaan warna kulit, yang menggerogoti stabilitas politik Afrika Selatan sejak republik itu berdiri pada 1960. Sentimen permusuhan tampak meruncing manakala panji-panji ANC dan Partai Komunis Afrika Selatan dikibarkan. Pengibaran bendera berlatar merah dengan hiasan palu arit kuning seperti itu bukan saja terlalu mencolok, tapi jelas-jelas melanggar hukum. Apa maksudnya? Beberapa pengamat menafsirkan, kaum perusuh kulit hitam memang sengaja memancing kemarahan polisi. Mereka secara tak langsung sudah menyatakan perang terhadap pemerintahan minoritas kulit putih. Sebelumnya, mereka sudah memboikot toko-toko milik orang putih, satu provokasi terencana yang dampaknya kian luas. Di samping itu, mereka bertindak keras terhadap sesama warga hitam yang terbukti bekerja sama dengan pemerintah. Maki Skonasa contohnya. Wanita hitam ini dianiaya sampai mati karena, kata mereka, ia bertindak sebagai informan polisi. Lebih mencolok lagi, eksekusi Skonasa dilakukan persis sesudah upacara penguburan empat martir selesai. Memang, dari jarak tertentu polisi berjaga-jaga, tapi tampaknya mereka tidak ambil peduli. Polisi juga tidak bertindak ketika massa yang sedang berkabung itu menyanyikan lagu sindiran. "Orang orang Boer itu anjing, mereka mesti mati,"begitu liriknya. Boer adalah nenek moyang kulit putih Afrika Selatan, kaum emigran asal Belanda yang mencari peruntungan di negeri ini pada abad ke-18. Minoritas kulit putih - keturunan Boer - kini semakin didesak pribumi mayoritas hitam. Yang terakhir ini kabarnya mulai tukar haluan, beralih dari perjuangan politik ke perjuangan militer. Ada kesan, perpecahan di kalangan pribumi, yang selama ini melemahkan perjuangan mereka, tahap demi tahap mulai bisa diatasi. Bahwa mereka berani bilang "anjing" itu saja sudah serius. Kebetulan sekali, beberapa jam sesudah penguburan selesai - tepatnya menjelang Sabtu tengah malam - Presiden Botha memaklumkan keadaan darurat perang. Pengumuman Botha disusul tindakan pengamanan oleh polisi. Mereka memasang barikade di semua jalan yang menuju daerah permukiman orang hitam. Pejalan kaki dan pengendara motor kulit hitam mulai digeledah. Hanya beberapa jam saja sesudah pengumuman Botha, 113 orang hitam ditangkap di Johannesburg. Pada hari-hari berikutnya berbagai tindakan drastis bisa saja terjadi. Banyak orang - hitam ataupun putih yang tidak setuju pemberlakuan keadaan darurat. Mereka khawatir, wewenang penuh di pihak polisi dan tentara akan dengan mudah tergelincir pada tindakan sewenang-wenang, khususnya terhadap kaum oposisi. Pada gilirannya, bukan ketertiban, malah permusuhan yang semakin tajam. Kekhawatiran ini memang sangat beralasan. Soalnya, dengan UU Darurat, petugas keamanan berhak memberlakukan jam malam (di permukiman hitam), memenjarakan orang tanpa proses pengadilan, menyensor media massa, dan menggeledah rumah atau kantor mana saja. Tidak cuma itu. Penduduk bisa ditangkap tanpa pemberitahuan lebih dulu, sementara orang yang ditahan tidak bisa dihubungi bahkan oleh pengacara sekalipun. Lebih gawat lagi, penduduk bisa saja dipindah-pindahkan permukimannya, suatu hal yang juga pernah terjadi sebelum ini. Jika penduduk menolak, mereka akan ditindak keras. Petugas juga berhak menutup berbagai usaha bisnis dan industri jika usaha itu dianggap mengancam ketertiban. Dan semua ml dlanggap perlu oleh Botha karena "kekacauan di daerah permukiman hitam sudah tidak bisa ditolerir lebih lama". Anehnya, para analis dan korps diplomatik tidak begitu terkejut dengan keputusan Botha. Soalnya, dari mula mereka sudah melihat sikap , sang presiden yang serba setengah-setengah dalam melancarkan pembaruan sosial politik. Dia pun dianggap gagal menggalang kerja sama dengan tokoh hitam moderat. Sementara itu, Botha sama sekali tidak peduli pada pemimpin hitam radikal. Sikapnya meragukan karena, walaupun berusaha melonggarkan belenggu apartheid, ia juga membiarkan tentara menyabot kebijaksanaan itu. Celakanya, dari sejumlah pemimpin kulit hitam yang menonjol, tidak satu pun kini mau berunding dengan Botha. Presiden Afrika Selatan itu akhirnya terbentur jalan buntu. "Apa yang berlaku sekarang adalah pemerintahan totaliter," kata Prof. Es'kia Mphahlele. "Keadaan begini akan berlangsung terus sampai pemerintah terpaksa berunding dengan pemimpin rakyat yang sebenarnya, bukan pemimpin boneka." Surat kabar warga hitam langsung protes seraya membiarkan kolom tajuk kosong melompong. Beyers Naude, sekjen Dewan Gereja Afrika Selatan, memastikan. "Keadaan darurat itu mencerminkan adanya krisis. Pertumpahan darah mengerikan, yang sejak dulu diramalkan, cepat atau lambat akan terjadi juga." Naude tampaknya terlalu pesimistis. Yang pasti, keadaan darurat akan menghambat pembaruan dan menciutkan penanaman modal asing. Dan inilah keadaan darurat kedua dalam tempo 25 tahun. Yang pertama terjadi pada tahun 1960, tak lama sesudah polisi menembak mati 69 pembangkang hitam di Sharpeville, selatan Johannesburg. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor Berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus