JIKA benar Rambo adalah suasana hati Amerika kini, kita perlu jeri, atau geli bergantung pada apa yang akan dilakukan orang di sana nanti. Mungkin Anda sudah menonton film itu. Sylvester Stallone muncul di hutan belantara Vietnam. Rambutnya berjurai ke tengkuk. Geraknya gesit. Ototnya besar bagaikan singkong mukibat. Dan dia datang, dia berjuang, dia menang, dengan catatan: semuanya dilakukan secara seru, tapi tak amat sulit. Tentu,James Bond dan Indiana Jones juga seperti itu: laki-laki yang tak terkalahkan dalam tiap pergulatan. Tetapi Rambo sedikit lain. Dan yang "sedikit" itu justru penting. Dalam film-film James Bond, seperti juga dalam film Indiana Jones, ada nada dasar yang cepat terasa: humor. Ada sikap main-main, bahkan ada parodi pada diri sendiri. Dalam Rambo, senyum itu absen. Dengan wajah tampan yang mengesankan rasa asam dalam keringat, sang jagoan - entah kenapa terus-menerus serius. Bagi saya, ia bahkan lebih dari sekadar serius. Ia fanatik. James Bond, mata-mata dari Kerajaan Inggris itu, bisa (dengan sikapnya yang begitu mentereng dan sekaligus mencemooh) mengambil jarak dari keyakinan-keyakinannya sendiri, kalaupun ia punya keyakinan. Rambo tidak. Ia berani, ia ahli berkelahi. Tapi pada dasarnya ia sukarelawan yang berapi-api untuk bertarung nonstop, waspada nonstop, dan membawa prasangka-prasangka Amerika nonstop. Musuh James Bond, kecuali mungkin dalam From Russia with Love, adalah bandit-bandit yang mengancam seluruh dunia tanpa pandang kebangsaan dan ideologi. Musuh Rambo, sebaliknya, dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka musuh Amerika Serikat kini: pasukan Vietnam, tentara Soviet. Dan bila bandit-bandit James Bond biasanya sempat menjelaskan ambisi-nya, yang umumnya begitu besar dan tak masuk akal (hingga kita tahu, kita sedang menyaksikan dongeng yang lucu), musuh Rambo sebaliknya tak berbicara tentang alasan-alasannya. Mereka hanya keji. Rambo, dengan kata lain, adalah khas sebuah cerita propaganda politik. Baginya dunia menjadi bersahaja, dalam permusuhan. Film Rambo bahkan membenci keruwetan dengan keras (dan, sekali lagi, dengan fanatik). Di akhir- film, Sylvester Stallone membidikkan senjata semiotomatiknya, yang ia angkut dengan lengannya yang liat menggelegak, ke arah komputer. Teknologi penyimpan informasi itu pun hancur. Untuk berbuat, seakan-akan begitulah statemennya, manusia tak memerlukan informasi. Tahu lebih banyak bisa menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks - dan jawaban-jawaban yang tidak satu, tidak mudah. Rambo tak mau itu. Maka, jika benar Rambo adalah suasana hati Amerika kini, kita perlu awas - atau berdoa bahwa semuanya itu semoga tidak betul. Sebab, Rambo adalah sebuah jiwa Amerika yang sakit oleh sebuah luka. Adapun luka itu disangka datang dari luar, padahal barangkali ia datang dari diri sendiri. Adegan awal: Rambo sedang bekerja sebagai orang hukuman, seorang bekas anggota pasukan Baret Hijau yang tersingkir setelah Perang Vietnam. Muncul bekas komandannya. Ia meminta Rambo bertugas ke Vietnam lagi. Tujuan: menyelidiki ada tidaknya sisa-sisa prajurit Amerika yang masih ditahan di negeri Asia Tenggara itu. Rambo diam, lalu bertanya: "Kali ini, kita harus menang?" Persepsi Rambo, tampaknya, ialah bahwa dalam Perang Vietnam Yang lalu itu Amerika Serikat telah kalah. Ia, seperti banyak sekali orang Amerika, lupa bahwa perang telah berakhir dengan tanpa sepotong wilayah Amerika pun jatuh. Perdamaian diteken di Paris dan menteri luar negeri Amerika, bersama menteri luar negeri Vietnam, dapat Hadiah Nobel. Maka, jika ada yang benar-benar kalah, itu hanya sebuah republik yang dulu pernah ada, sebuah negeri dengan ibu kota Saigon. Negeri itu kini telah diambil alih dan diduduki. Washington D.C. tidak, dan orang-orang Amerika seperti Sylvester Stallone tak harus lari sebagai orang perahu. Memang, Amerika telah gagal di sana. Ia tidak menang. Tapi siapa bilang kegagalan, Juga ketidakmenangan, dengan sendirinya berarti kekalahan? Kegagalan, seperti yang terjadi di Asia Tenggara satu dasawarsa yang lalu itu, bahkan sesuatu yang wajar: dunia toh sudah terlampau ruwet untuk dijangkau oleh satu dan dua tangan, biarpun tangan itu made in USA sekalipun. Tapi siapa akan menyalahkan Rambo, patriot yang tampak dungu itu, bila ia tak memahami hal itu? Bagaimanapun juga, ia warga dari sebuah negeri, yang begitu luas, begitu bermacam-macam penduduknya, begitu mencengangkan - sebuah negeri yang begitu besar hingga tiap hari harus sibuk berjuang dengan kebesarannya sendiri. Dengan kata lain, sebuah negeri yang mungkin sebenarnya tak punya waktu untuk memahami dunia di luarnya yang jauh, dan boleh jadi karena itu merasa asing, terkepung, dan tak habis-habisnya bingung. Maka, ketika dalam Rambo, gadis Vietnam yang jadi teman di hutan itu mati (sesuatu yang sudah bisa diduga), kita segera tahu betapa pas hal itu bagi dunia Sylvester Stallone. Ia akhirnya sendiri. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini