Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sertifikat buat lembeh

Petani pulau lembe, sul-ut, yang semula hanya sebagai penggarap, akhirnya memperoleh sertifikat prona. terlambatnya penanganan uupa karena banyak keturunan xaverius dotulong menjadi pejabat penting.(nas)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Lembeh akhirnya tersentuh juga oleh UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Pekan lalu, dalam suatu upacara - yang juga dihadiri gubernur Sulawesi Utara C.J. Rantung - Dirjen Agraria Moh. Isa menyerahkan 200 sertifikat Prona (Proyek Nasional Agraria) kepada 200 orang petani Pulau Lembeh. Semula, status mereka hanya sebagai penggarap. Setiap kepala keluarga menerima "kapling" 2 ha tanah. "Mereka telah lama menggarap di situ, dan berdiam di situ. Jadi, mereka memang berhak," kata Isa. Kepastian tentang penguasaan tanah di Pulau Lembeh, yang terletak di ujung "belalai" Sul-Ut itu, muncul dengan keluarnya Surat Keputusan Mendagri - yang ditandatangani Dirjen Agraria - tahun lalu. Dirjen Agraria kemudian menegaskan lagi SK itu lewat suatu surat pada 31 Mei lalu. "Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanah tersebut langsung dikuasai negara," ujar Dirjen Isa. Pulau Lembeh termasuk kasus alot dalam sejarah UUPA, hingga baru terselesaikan 25 tahun setelah undang-undang landreform itu lahir. Pulau seluas 5.040 ha ini termasuk dalam wilayah Kota Administratif Bitung, dan bisa dicapai 15 menit dengan perahu motor dari pelabuhan Bitung. Hingga pekan lalu, tak seorang pun dari sekitar 18 ribu penduduk pulau ini memiliki sertifikat tanah. Pihak Agraria setempat selama ini memang membiarkan status pulau ini mengambang dengan tidak mengeluarkan sepucuk pun sertifikat. Alasannya: untuk menghindari gejolak, agar tidak ada yang mengangkat peda (golok). Menurut cerita Benny Lengkong, ketua Persatuan Keluarga Keturunan Xaverius Dotulong, pulau itu dulu menjadi tanah perburuan yang dikuasai kakek Xaverius. Pada 1679, gubernur Maluku Cloeck memberi surat tugas yang isinya menyerahkan tanggung jawab keamanan pulau itu pada Runtukahu, ayah Xaverius Dotulong. Gubernur Ternate, hampir seratus tahun kemudian, memberi kuasa pada Xaverius untuk mengambil hasil Pulau Lembeh, terutama sarang burung. Menurut Benny Lengkong, pada 1897 residen Manado mengakui bahwa Pulau Lembeh sebagai milik Xaverius Dotulong dan keturunannya. Namun, banyak penggarap - sebagian ada yang menetap di pulau itu sejak awal 1900-an - menolak klaim Xaverius Dotulong itu. Bentrokan pernah terjadi, tapi tanpa pertumpahan darah. Keturunan Xaverius Dotulong, yang jumlahnya sekitar 10 ribu, pernah menyatakan bersedia menyerahkan pulau tersebut pada negara, asal mendapat ganti rugi. Pada 1957, ganti rugi yang diminta Rp 50 per m2, atau seluruhnya Rp 2,5 milyar. Meski UUPA kemudian berlaku, Lembeh tetap tak terjamah. Penyelesaiannya yang berlarut-larut itu tampaknya juga disebabkan banyak keturunan Xaverius Dotulong yang menjadi pejabat penting di Sul-Ut. Bekas gubernur H.V. Worang termasuk di antaranya. Toh, akhirnya keputusan turun juga. Menurut pelacakan Badan Pertimbangan Panitia Landreform (BP2L) Sul-Ut bersama BP2L Kabupaten Minahasa dan Universitas Sam Ratulangi, Xaverius Dotulong hanya pernah mendapat hak kuasa untuk mengambil sarang burung di Lembeh. "Namun, sejauh ini tak pernah ada bukti autentik tentang pengalihan hak kuasa itu menjadi milik eigen bezit," kata Dirjen Isa pada Putut Tri Husodo dari TEMPO, Senin pekan ini. Berdasarkan "pertimbangan historis", Dirjen Agraria kemudian memutuskan bahwa keluarga Dotulong memperoleh 300 ha tanah. Pembagian lain: 1.000 ha dijadikan hutan lindung, 300 ha untuk permukiman dan sarana umum, 200 ha untuk penyangga tanah kritis, 500 ha untuk perluasan kota Bitung, dan 2.740 ha di-landreform-kan. "Anggota keluarga Dotulong yang bermukim di luar negeri tak diperkenankan memiliki tanah itu," kata Isa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus