SIDANG kabinet Italia ditunda demi Stava. Dusun kecil di kaki Pegunungan Alpen ini tertimbun "bola lumpur raksasa", begitulah bunyi laporan yang diterima di Roma, Jumat lalu. Tidak syak lagi, sebuah bencana telah terjadi pada saat masyarakat Italia belum pulih benar dari tragedi sepak bola yang terjadi di Brussels, Mei silam. Mala petaka kali ini berasal dari sebuah waduk buatan yang jebol tiba-tiba. "Saya menyaksikan kiamat," ujar seorang saksi mata. Ucapannya tidak berlebihan. Yang lain sempat mendengar suara gemuruh sebelum "bola maut itu menggelinding dan menelan apa saja yang dilandanya". Menurut saksi ini, yang tak lain adalah petugas Jawatan PU setempat, apa yang tampak kemudian masih menegakkan bulu-roma. "Pada akhirnya, hanya beberapa pohon pinus mencuat ke udara dari permukaan lumpur. Selain dari itu, hanya kesepian mengepung di mana-mana," ujarnya dramatis. Bencana yang melanda Desa Stava ini terjadi cepat sekali - tak lebih dari 20 detik. Tapi dalam tempo sesingkat itu sebuah hutan pinus lenyap, tiga hotel dan 20 rumah tertimbun lumpur, lalu, sebuah desa terbelah dua. Catatan resmi menunjukkan ada 196 korban jiwa, kesemuanya disembahyangkan dalam misa yang dipimpin presiden Italia Francesco Cossiga. Menurut perkiraan, dari 100 orang yang hilang, tidak akan ada yang ditemukan hidup. Sekalipun begitu, ternyata tujuh orang dapat diselamatkan dari runtuhan tembok atau genangan air. Terjadi sekitar Jumat tengah hari, waduk bencana yang jebol itu pecah, airnya membanjir ke sebuah waduk yang terletak agak ke bawah. Dan waduk kedua ini juga berantakan. Terbentuklah gelombang-lumpur ganas - tingginya mencapai 150 m, lebarnya 150 m. Dengan kekuatan amat besar, gelombang itu menyapu bersih kanan kiri. "Kedengarannya seperti ada gempa. Saya kira ada gunung runtuh," kata seorang penduduk lewat wawancara televisi. Pada umumnya, penduduk setempat menyesalkan pemerintah karena dianggap lalai, padahal bencana itu semestinya bisa dicegah. Mereka bahkan sudah menyampaikan peringatan pada salah seorang dari dua bersaudara yang memiliki waduk dan tambang fluorite di dekatnya. Dibangun 20 tahun silam, waduk tersebut bertugas menampung air limbah dari tambang fluorite, sejenis lombang untuk bahan pembuatan kaca. Waduk itu juga sekaligus menyaring air limbah tadi, dan air ini disalurkan ke sebuah kolam yang terletak di bawahnya. Pada ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut, kedua waduk secara otomatis juga menampung air hujan yang belakangan acap kali turun amat deras. Curah hujan ternyata melampaui daya tampung normal kedua waduk hingga dinding-dindingnya jebol. Muntahan air menggasak dan mendobrak hingga terbentuklah empasan gelombang yang, konon, sama kuatnya dengan ledakan bom seberat 500 kg. Dan gelombang itu tampak hltam berbuih putih. SEGERA setelah kejadian, bala bantuan - segera didatangkan. Ratusan polisi, petugas kebakaran, dan tentara bergabung dalam satuan penyelamat. Namun, tak terlalu banyak yang bisa mereka kerjakan. Tentu saja, puluhan korban harus dikeluarkan dari timbunan lumpur, suatu pekerjaan yang rupanya tidak menyenangkan. Mengapa? Tak lain karena sebagian besar korban mengalami cedera berat. Umumnya, mereka kehilangan anggota badan, wajah dan sekujur tubuh terpenggal-penggal, hingga banyak sekali yang tidak bisa dikenal. Dan mereka terpaksa dikebumikan tanpa nama. Kebetulan sekali, orang-orang bernasib malang itu banyak berasal dari Milan, turis domestik yang datang ke sana untuk mendaki gunung dan memancing. Daerah bencana itu telah lama memang sudah ramai dikunjungi turis - baik asing maupun domestik. Mereka tertarik oleh pemandangan indah di kaki gunung yang banyak dikelilingi danau itu. Tapi apa yang tersisa kini adalah bentangan lumpur kelabu menghampar di seantero Lembah Fiemma dengan puing-puing berserakan dan satu dua batang pinus di kejauhan. Bencana ini bukanlah yang pertama, juga bukan yang terbesar. Sebuah waduk yang jebol pada Oktober 1963 di Longarone, 50 km dari lokasi bencana sekarang, telah menelan hampir 2.000 jiwa. Tapi musibah ini rupanya sudah dilupakan orang, hingga mereka dihajar bencana Jumat siang itu. Kardinal Carlo Maria Martini dari Milan menuntut pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap bobol waduk Desa Stava itu. Tapi seruan tersebut bagaimanapun sudah terlambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini