Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Apa Gunanya Kebebasan Pers?

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amartya Sen Pemenang penghargaan Nobel di bidang ekonomi pada 1998.

Tak selalu mudah mencintai media. Pers dapat melukai dan menjengkelkan melalui laporan yang dipelintir, dan dapat menghancurkan martabat dengan menginvasi dan menargetkan privasi seseorang. Kemampuan untuk melakukan kebajikan besar jarang hadir tanpa risiko merusak, dan kebebasan pers bukanlah kekecualian terhadap hukum umum ini. Kalangan pers sepatutnya meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan itu semampunya (mawas diri akan membantu, demikian pula kompetisi yang sehat), namun kita semua harus pula mencoba memahami dengan jelas mengapa dan bagaimana kebebasan pers dapat memperkaya kehidupan manusia, memperbaiki keadilan masyarakat, dan bahkan membantu pembangunan ekonomi dan sosial.

Kebebasan pers itu penting untuk beberapa alasan yang berbeda, dan sungguh bermanfaat untuk memilah manfaat yang dihasilkannya.

Manfaat pertama—dan mungkin yang paling mendasar—adalah kontribusi langsung kebebasan berpendapat secara umum dan kemerdekaan pers secara khusus terhadap kualitas kehidupan kita. Kita punya cukup alasan untuk berkomunikasi dan lebih memahami dunia tempat kita berada.

Manfaat kedua, kemerdekaan pers berperan penting dalam menyalurkan suara kalangan yang termarginalisasi dan papa, yang merupakan kontribusi besar terhadap keamanan manusia (human security). Para penguasa sebuah negara acap kali hidup terinsulasi dari penderitaan orang awam. Mereka dapat melewati bencana alam nasional seperti kelaparan tanpa turut merasakan penderitaan para korbannya. Namun, jika mereka harus menghadapi kritik publik di media dan menjalani pemilihan umum yang diliput pers yang bebas, para penguasa itu terpaksa ikut terkena dampaknya. Ini memberikan insentif kuat pada mereka untuk melakukan tindakan penangkalan terhadap kemungkinan terjadinya bencana.

Itulah sebabnya sungguh wajar jika tak pernah terjadi bencana kelaparan yang besar di negara independen yang mempunyai pemerintahan demokratis dan pers yang cukup bebas. Bencana kelaparan hanya terjadi pada pemerintahan kolonial yang otoriter (seperti kolonial Inggris di India), rezim militer yang represif (seperti di Etiopia atau Sudan pada dekade terakhir ini), dan di negara dengan satu partai (seperti di Uni Soviet pada 1930-an, di RRC pada 1958-1961, di Kamboja pada 1970-an, atau di Korea Utara belakangan ini).

Bencana kelaparan di Bengal tahun 1943, yang saya saksikan ketika masih anak-anak, terjadi tak hanya karena tidak demokratisnya pemerintahan kolonial di India, namun juga karena kerasnya pembungkaman terhadap pers India, yang bahkan berhasil mengisolasi parlemen Inggris dari berita ini.

Tragedi ini baru mendapat perhatian politik setelah Ian Stephen, redaktur bernyali tinggi harian The Statesman of Calcutta (yang saat itu dimiliki orang Inggris) membelot dengan mempublikasikan cerita mengiris dan tajuk yang tajam tentang bencana ini pada 14 dan 16 Oktober 1943. Pemberitaan ini memicu keresahan di kalangan pemerintahan Inggris di India dan memercikkan debat panas di gedung parlemen Westminster serta bermuara pada upaya penanggulangan bencana. Dan bencana kelaparan ini memang akhirnya teratasi, pada saat jutaan orang telah binasa.

Manfaat ketiga pers yang bebas adalah perannya yang besar dalam menyebarluaskan pengetahuan dan dalam memfasilitasi pengawasan yang kritis. Selain itu, jurnalisme investigasi dapat menyembulkan informasi yang tersembunyi dan luput dari perhatian sehari-hari.

Fungsi informasi pers ini punya peran dalam menangkal terjadinya bencana kelaparan. Simaklah apa yang terjadi saat kelaparan di RRC pada 1958-1961, yang menewaskan 23 sampai 30 juta orang. Walaupun pemerintah RRC memiliki komitmen yang tinggi dalam membasmi kelaparan, kebijakannya yang keliru (yang diasosiasikan dengan kebijakan "lompatan jauh ke depan") tak dikoreksi selama tiga tahun terjadinya bencana.

Karena ketiadaan pers yang tak disensor dan modus lain komunikasi publik, berita menjadi komoditas langka, dan para pejabat di seluruh penjuru Cina menyangka keadaan daerah di luar kekuasaannya bebas dari bencana yang menyerang wilayah mereka. Ini menimbulkan insentif pada setiap unit lokal untuk menyulap data produksi pertanian mereka agar terlihat sama baiknya dengan yang lain. Walhasil, pada saat bencana kelaparan sedang di titik puncak, pemerintah pusat RRC menyangka memiliki cadangan pangan 100 juta ton di atas yang sebenarnya. Hilangnya informasi akibat penyensoran terhadap pers tak hanya menipu orang ramai, tetapi juga secara telak mengelabui para pejabat pemerintah.

Yang terakhir, pembentukan nilai berdasarkan pengetahuan membutuhkan keterbukaan dalam komunikasi perdebatan pendapat. Standar dan prioritas baru (misalnya norma keluarga kecil dengan jangka kelahiran yang lebih jarang, atau pengakuan terhadap kesetaraan gender) lahir dari wacana masyarakat, dan lagi-lagi berbagai debat publik melalui pers yang menyebarluaskan gagasan baru ini ke segala penjuru.

"Manusia bukan sebuah pulau yang keseluruhannya hanyalah dirinya," kata John Donne. Namun politik penyensoran adalah upaya mengisolasi masing-masing dari yang lain. Isolasi ini merendahkan kualitas hidup kita, merendahkan pengetahuan kita, mengungkung kemanusiaan kita, dan menghalangi kemampuan kita untuk belajar dari yang lain.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan itu kita perlu kebebasan berkomunikasi, termasuk kemerdekaan pers. Apa lagi yang lebih penting?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus