Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Patah Penyu Tak Tumbuh Seribu

Tak banyak yang tahu dahsyatnya dampak lingkungan bila penyu punah.

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seekor penyu adalah napas penyambung hidup Wayan Lusin. Setiap hari, warga Pulau Serangan ini?pulau kecil di selatan Denpasar, Bali?menjelajahi pantai dengan perahu kecilnya. Sesekali matanya waspada melihat ke laut, tangannya menegang, lalu? huup? tombak dia ayunkan ke penyu yang sedang sial bertemu dengan Lusin. Jika beruntung, Lusin bisa membawa 150 ekor penyu dalam sehari. Hasil yang lumayan besar, karena berarti dia bakal mengantongi uang Rp 50 ribu-Rp 70 ribu.

Tapi itu dulu, tahun 1980-an, ketika pulau berpenduduk 770 orang itu masih menjadi surga penyu dan para pemburunya. Kini Lusin sudah pensiun. Ia hanya bisa mengingat masa-masa kejayaan itu dengan getir. "Dulu, begitu mudah mencari penyu. Hampir tiap sudut pulau ini menjadi tempat penyu bertelur," ujarnya mengenang.

Kini, di pulau yang rimbun dengan hutan bakau itu, sulit sekali penyu bertelur. "Paling kalau ada satu-dua," kata I.B. Windia Adnyana, Manajer Konservasi Penyu Laut World Wild Fund (WWF) Indonesia. Surga penyu itu sudah hilang dalam hitungan tahun.

Serangan cuma satu contoh kecil. Di Indonesia ada ribuan rookeries (kawasan favorit untuk penyu bertelur; satu rookeries bisa terdiri atas beberapa pulau kecil) yang bernasib segawat Serangan. Dari pengamatan WWF di beberapa tempat peneluran utama seperti di Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur), Alas Purwo dan Meru Betiri (Jember, Jawa Timur), Pangumbahan (Sukabumi, Jawa Barat), Laut Jawa, ternyata dalam sepuluh tahun ini populasi penyu turun drastis. "Hingga 70 persen. Benar-benar gila," kata Windia.

Rapor buruk itu sangat menyesakkan dada Windia. Selama ini, Indonesia adalah rumah penyu laut terbesar di dunia. Dari tujuh spesies penyu di dunia, enam spesies berkumpul di negeri ini. Mereka adalah penyu hijau, sisik, belimbing, tempayan, pipih, dan sisik semu. Jumlahnya dulu puluhan ribu, tapi kini hampir saja tinggal kenangan.

Manusia memang tak terlalu merasakan dampak berkurangnya makhluk bulat berbatok keras itu. Tapi, bagi alam, kata Windia, inilah awal datangnya bencana besar. Tak banyak yang tahu, penyu adalah bagian dari rantai makanan yang sangat penting. Penyu hijau, contohnya, yang punya hobi menyimpan makanan di temboloknya, sangat berjasa untuk kehidupan ikan-ikan kecil. Bila penyu ini memamah kembali makanannya, ikan-ikan kecil ikut berpesta menikmati remah-remahnya. Ceceran makanan itu juga menyuburkan terumbu karang. Bila musim kawin tiba, kehadiran penyu-penyu seperti memupuk laut yang miskin nutrisi.

Penyu juga amat vital untuk mengendalikan populasi alga atau fitoplankton. Alga memang menu favorit penyu. Bila jumlah penyu menyusut, pertumbuhan alga di lautan bisa meledak (algae bloom). Ledakan ini bisa sangat gawat bila yang membengkak populasinya adalah alga merah karena racunnya bisa membuat ribuan ikan mati.

Dampak berkurangnya penyu saat ini sudah mulai terasa. Menurut catatan Program Lingkungan PBB (UNEP), jumlah zona yang rawan ledakan alga di seluruh dunia kini telah meningkat dua kali lipat menjadi 150 zona dibandingkan dengan tahun 1990. Bahkan saat ini sudah terbentuk zona alga "abadi" yang luasnya hingga 70 ribu kilometer persegi. Inilah yang bikin waswas banyak negara.

Pemerintah Indonesia sebenarnya paham persoalan ini. Pada 1999, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 yang melarang penangkapan dan perdagangan penyu. Tapi 360 juta hektare lautan Indonesia kelewat luas untuk diawasi sebuah peraturan. Buktinya, banyak pengusaha yang masih bisa memanen jutaan telur penyu?yang mitosnya bisa membuat greng pria dewasa, meski faktanya gizinya tak berbeda dengan telur ayam?tanpa kena sanksi hukum.

Bila jutaan telur penyu diambil, bisa dibayangkan betapa cepat ludesnya penyu yang ada. Seekor penyu baru bisa bertelur setelah berumur 20-30 tahun. Itu pun cuma menghasilkan 40-80 butir telur. Tak semua telur itu bakal bisa berkembang menjadi penyu dewasa. Dan tidak seperti peribahasa patah satu tumbuh seribu, karena banyaknya pemangsa dan pemburu, dari 1.000 tukik (anak penyu) rata-rata cuma 2 ekor yang bisa mencapai umur produktif 20 tahun. Kalaupun sukses sampai seumur itu, saat bertelur, penyu-penyu itu dengan mudah ditangkap para pemburu.

Runyamnya nasib penyu ini sudah lama dipikirkan kalangan aktivis lingkungan hidup. Mereka sudah belasan tahun berkampanye menyerukan penghentian perburuan penyu. Beberapa kapal penyelundup penyu juga acap kali ditangkap. Namun usaha itu tak kunjung menunjukkan hasil nyata. "Supermarket" penyu di Tanjung Benoa, Bali, tetap ramai. Di Serangan juga. Kampanye itu rupanya kalah dengan daya tarik magnet uang. Seekor penyu bisa menjadi sate yang mak nyus atau hiasan yang cantik yang bernilai Rp 500 ribu.

Karena gagal dengan aneka macam kampanye itulah WWF setahun ini memakai strategi lain, yakni membangun program ekowisata penyu, paket yang mengawinkan bisnis wisata dan penjagaan alam. Di Bali, misalnya, program ini dibangun di Serangan. Targetnya adalah menghentikan perdagangan penyu hingga ke titik nol.

Ini bukan pekerjaan enteng karena bukan cuma nelayan yang hidup dari penyu. Kas desa pun bersumber dari binatang lamban ini. Jadi, selalu saja terjadi tarik-menarik kepentingan demi uang. Bahkan kantor WWF beberapa kali kena demo.

Setelah melewati serangkaian diskusi dengan tetua adat dan para nelayan, akhirnya warga di Serangan terketuk hatinya. Mereka setuju ide pelestarian penyu. Tapi beberapa di antara mereka juga tak ingin kehilangan penghasilan sebagai nelayan pemburu penyu. Akhirnya muncullah jalan tengah membangun Turtle Center untuk mengakhiri perdagangan penyu.

Turtle Center adalah pusat wisata penyu yang akan dibangun di atas lahan 2,4 hektare. Di kawasan itu, para pelancong bisa belajar proses pengembangbiakan penyu dari telur sampai acara pelepasan penyu ke habitat aslinya.

Selain itu, dikemas beragam paket wisata seperti paket menyelam untuk melihat keindahan terumbu karang atau paket memancing. Puluhan kios suvenir, restoran, serta pusat riset penyu akan ada di sana. Harapannya, para pemburu dan pedagang penyu bisa beralih profesi. "Ratusan tenaga kerja bisa terserap di sini. Pokoknya, yang kami jual bukan daging penyu, melainkan roh atau semangat penyu," kata Lurah Serangan, I Wayan Dartha, senang.

Dalam cetak birunya, Serangan, yang akan mendapat kucuran dana Rp 1,8 miliar, juga bakal dijadikan gerbang pemikat wisatawan yang ingin melihat habitat asli sarang penyu seperti di daerah Derawan (habitat penyu hijau terbesar di Asia), Jamursba Medi (habitat penyu belimbing terbesar di Pasifik), serta Sukamade dan Alas Purwo di Jawa Timur (habitat beragam penyu).

Yang tergiur dengan tantangan melihat penyu bertelur bisa membeli paket wisata ke berbagai tempat terpencil tadi. Tapi ingat, ini jelas bukan paket jalan-jalan biasa. Sebab, setiap orang harus siap begadang untuk menanti kedatangan penyu-penyu dari laut dan bertelur di pasir pantai yang lembut.

Peserta acara pelesir ke "pabrik" telur penyu itu akan dibatasi. Cara ini sudah diterapkan dengan berhasil di pusat penyu di Malaysia. Di pulau penyu di wilayah Sabah, di dekat Nunukan, Kalimantan Timur, tiap rombongan wisatawan tak boleh lebih dari 38 orang. Meski paket semalam menengok telur ini dijual 590 ringgit atau sekitar Rp 1,3 juta, paket ini sangat laris. "Di sana, para wisatawan rela antre dua tahun," tutur Windia, yang meraih gelar doktor di bidang penyu dari James Cook University, Australia.

Yang tak mau susah payah menonton penyu bertelur bisa juga menjadi orang tua angkat tukik. Ini yang sudah dirintis di gugusan pulau Derawan. Biaya adopsi tukik ini US$ 25 per sarang. Uang itu akan digunakan untuk merawat anak-anak penyu yang lucu selama sekitar tiga hari hingga mereka mencebur ke laut bebas. Berminat?

Burhan Sholihin, Raden Rachmadi (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus